Sudah tiga hari Satria memikirkan masalahnya sendiri. Masalah yang ia buat sendiri sekarang menjadi semakin rumit. Selvi hamil, dan siap tidak siap dia harus bertanggung jawab atas kehamilan Selvi.
Satu tahun lamanya, dia menjalin hubungan dengan Selvi. Tidak tahu apa yang ada di benaknya saat itu. Saat dirinya kembali bertemu dengan Selvi. Dipertemukan oleh Rani, putri dari Selvi dengan mendiang suaminya. Tapat tiga bula setelah melamar Ica, Satria bertemu dengan Rani, sore hari saat akan pulang dari lokasi proyek. Ya, hari pertama Satria di Bandung, dia bertemu dengan Rani yang sedang bermanin di taman dekat dengan lokasi proyek.
Flashback On.
Braakk...!!! Bunda ....!!!
Teriakan anak kecil itu membuta Satria menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah taman tempat di mana banyak sekali anak-anak bermain di taman. Satria dengan reflek berlari mendekati anak yang terjatuh di tepi jalan taman, dan ternyata dia baru saja terserempet sepeda motor yang melewati jalan tersebut.
“Sakit ....” rintih gadis kecil berambut panjang itu.
“Hei, kenapa, Dik? Kok bisa ke jalan sini? Ada yang sakit?” tanya Satria dengan berjongkok dan menolong anak gadis kecil tersebut.
“Tadi Rani mau ke sana, terus mau turun ke jalan tidak melihat ada sepeda motor, Om?” jawabnya.
“Kamu di sini sendirian? Enggak di temani bunda?” tanya Satria.
“Sama embak, tapi mbaknya lagi beliin minuman, Rani mau nyusul ke sana, soalnya Rani sudah haus, Om,” jawabnya.
“Rumah kamu dekat dari sini?”
“Iya, itu rumah Rani kelihatan dari sini kok?”
“Ya sudah sini sambil nungguin mbaknya datang beliin minuman, sini om obatin dulu. Yuk duduk di sana?” ajak Satria.
“Om orang baik, kan? Bukan orang jahat?” tanyanya dengan wajah polos dan menggemasakan, yang membuat Satria terkikik melihatnya.
“Om bukan orang jahat, Sayang? Om kerja di sana, tuh kan ada banyak oran bekerja di sana, om jadi pengawas di sana,” jawab Satria.
“Oh, opa juga sering ke situ?”
“Opa kamu ke situ mau apa? Kerja di sana?”
“Iya katanya kantor opa sedang ada pekerjaan di situ,” jawabnya.
“Oh, gitu? Yuk sekarang duduk di sana,” ajak Satria. “Bisa jalan?” tanya Satria dan hanya menggeleng pelan sambil wajahnya memelas, karena menahan kakinya yang terluka.
“Oke, sini om gendong kamu. Ayo!” Satria menepikan sepeda milik Rani lalu menggendong Rani dan duduk di bangku yang ada di sisi taman.
Satria menelfon seorang pekerja proyek, dan meminta membawakan kotak P3K ke taman. Sambil menunggu orang yang mengambilkan kotak P3K, Satria mengajak Rani mengobrol.
“Eh nama kamu tadi siapa, Dik?” tanya Satria.
“Rani, Om,” jawab Rani. “Kalau om?” tanya Rani.
“Om, namanya Om Satria,” jawab Satria.
Satria menerima kotak P3K dari pekerja proyek, lalu mengobati luka kecil yang ada di lutut Rani.
“Ran, om obati, ya?”
“Sakit enggak, Om?”
“Enggak sih, Cuma perih sedikit.”
Satria mengobati luka kecil di lutut Rani sambil mengajak Rani mengobrol agar Rani tidak merasakan perih. Setelah selesai mengobati Rani, pengasuh Rani datang dengan membawa air mineral yang tadi di belinya. Dia terkejut melihat Rani yang lututnya terluka.
“Enggak apa-apa, Mbak. Rani udah enggak sakit, kan udah diobati Om Satria, om yang nolongin Rani jatuh tadi. Lagian mbak lama sekali beli minumnya,” ucap Rani.
“Maaf ya, Sayang. Duh, mbak pasti dimarahin bunda ini?”
“Udah, enggak apa-apa, Mbak. Rani enggak nangis, kok. Enggak sakit, udah sembuh. Ya kan, Om Satria?”
“Iya, kan Rani anak pintar. Sudah enggak sakit, kan?”
“Udah enggak,” jawabnya.
“Pulang yuk, Neng? Udah sore ini, nanti bunda nyariin lho?” ajak pengasuh Rani.
“Iya, tapi mau enggak Om Satria antar pulang Rani?” tanya Rani.
“Mau di antar om?”
“Iya.” Jawabnya dengan semangat mengangguk.
“Oke, om antar kamu pulang,” jawab Satria.
“Tapi, Pak? Nanti kami merepotkan bapak, nanti bunda juga marah, karena kan kami belum mengenal bapak?” ucap pengasuh Rani.
“Kan tadi udah kenalan? Saya orang baik-baik, Mbak. Mari saya antar, lagian apa Mbak bisa gendong Rani sambil bawa sepeda Rani?”
“Eng—enggak, sih? Ya sudah enggak apa-apa,” ucapnya agak ragu.
Satria berjalan sambil menggendong Rani. Rumah Rani tidak jauh dari taman bermain. Pun rumah yang Satria sewa untuk istirahat sementara saat mengurus proyeknya.
“Ini rumah kamu?” tanya Satria.
“Iya, Om. Ini rumah Rani, Rani di sini tinggal sama bunda saja?”
“Ehm ... sama bunda saja? Memang ayahnya Rani?”
“Kalau bapak tinggal di mana?” pengasuh Rani memotong pembicaraan Satria dan Rani, karena melihat wajah Rani yang meredup saat Satria bertanya ayahnya Rani.
“Itu sebelah, saya di sini Cuma ngontrak, soalnya kan untuk persinggahan sementara kalau pas lagi ngecek proyek di sini, Mbak. Daripada di hotel, mending sewa rumah, sampai proyek di sini selesai,” jawab Satria.
“Oh iya ya, Pak. Silakan masuk, Pak.” Mbak Yani, pengasuh Rani mempersilakan Satria masuk ke dalam.
Rumah yang begitu mewah, dan kata Rani hanya ditempati dengan bundanya saja, dan dengan asisten rumah tangganya.
“Astaga, Rani ... kamu lama sekali mainnya? Kamu dari mana sih?” omel perempuan dari dalam, saat melihat Yani menaruh sepeda Rani. Perempuan yang baru saja selesai mandi, hanya memakai bathrobe warna biru muda, dengan handuk yang melilit di kepalanya keluar menemui Rani yang sedang digendong Satria.
“Rani kamu sama sia....?”
“Selvi?”
“Sat—Satria?”
“Bunda dan Om Satria kenal?” tanya Rani yang masih berada digendongan Satria.
“I—iya, bunda kenal dengan Om Satria,” jawab Selvi.
“Om juga kenal bunda kamu, kami teman lama,” jawab Satria.
“Yeay ... jadi bunda ada temannya dong, enggak sendiri lagi, iya kan, Bunda?” ucap Rani dengan bahagia.
“Teman bunda juga kan banyak, Nak,” ucap Selvi.
“Kata siapa? Bunda itu hobbinya di rumah, enggak punya teman, sukanya sama Rani saja, Om. Di rumah, kadang jalan-jalan juga sama Rani saja, enggak seperti oma, yang suka kumpul-kumpul sama temannya,” ucap Rani dengan polosnya.
“Rani....? Mandi sama Mbak Yani, gih! Ini kamu kenapa kakinya?” tanya Selvi.
“Tadi jatuh, terus Om Satria yang menolong dan mengobati luka Rani,” jawab Rani.
“Enggak apa-apa kan, Sayang?” tanya Selvi dengan khawatir.
“Enggak, Bunda? Udah sembuh kok, ini saja Rani mau mandi. Tapi, Om Satria jangan pulang dulu, tunggu Rani selesai mandi. Mau, kan, Om?”
“Ran ... udah sore, Sayang? Biar Om Satria pulang, ya?” ucap Slevi.
“Ih, Bunda ....” Rani sedikit ngambek bundanya menyuruh Satria pulang saja.
“Ya sudah om tungguin kamu mandi, kan rumah kita deketan, Ran. Sana mandi, sudah sore, biar enggak terlalu dingin, pakai air hangat, ya?” ucap Satria, menyuruh Rani mandi.
Rani berlari ke belakang, dan mulutnya enggak diam memanggil Mbak Yani. Satria menatap Selvi yang dari tadi pun Selvi memandanginya.
“Ehm ... silakan duduk, Sat.” Selvi mempersilakan Satria untuk duduk, dan dia pun ikut duduk di depan Satria.
“Sel, ganti baju dulu, gih! Kamu mau menemani aku ngobrol memakai baju gitu?”
“Eh, maaf. I—iya, aku ganti baju dulu.” Selvi bergegas pergi ke kamarnya untuk berganti baju.
Tak lama kemudian, Selvi sudah rapi dengan dress batik lengan pendek, dengan panjang selutut. Rambutnya yang masih basah tergerai rapi, dan wajah putihnya terlihat berseri. Selvi kembali duduk di depan Satria.
“Bagaimana kamu bisa ketemu Rani?” tanya Selvi.
“Tadi dia jatuh, Sel. Pas Mbak Yani lagi cari minum, ya aku tolongin, ternyata Rani anak kamu?”
“Iya, putri keduaku, Sat,” jawab Selvi.
“Yang pertama?” tanya Satria.
“Sudah damai dengan ayahnya, di Surga,” jawabnya.
“Ayahnya?”
“Ya, suamiku meninggal tepat di hari ulang tahun Rani yang ke tiga. Sudah hampir dua tahun dia pergi, meninggalkan aku dan Rani,” jawab Selvi.
“Lalu anak pertama kamu?”
“Dia lahir prematur, dan hanya dua bulan saja dia menghirup udara di dunia ini,” jawab Selvi.
“Sorry, aku jadi buat kamu melow gini, Sel.”
“Santai saja, Sat. Mungkin ini sudah takdir dan jalan hidupku. Gimana, kamu sudah menikah?” tanya Selvi.
“Belum, baru tunangan, mungkin tahun ini, kami sudah tunangan satu tahun, dan rencana tahun ini kami akan menikah,” jawab Satria.
Satria semakin asik berbincang dengan Selvi, sambil menunggu Rani selesai mandi. Satria tidak menyangka dirinya akan bertemu dengan Selvi lagi setelah bertahun-tahun dia tidak tahu kabarnya lagi.
Mereka semakin akrab, karena Rani sering minta main dengan Satria saat Satria kembali ke Bandung mengurus proyeknya. Begitu pun Satria, dia semakin jatuh cinta dengan gadis kecil yang lucu dan menggemaskan itu. Selvi melihat Rani seperti punya semangat lagi setelah ada Satria. Setelah ada Satria, Rani pun sudah jarang tanya soal ayah dan kakanya lagi yang sudah pergi selamanya.
Satria semakin sering main ke rumah Selvi setelah pertemuan pertamanya dengan Rani. Mereka juga semakin akrab, dan Satria perlahan lupa dengan statusnya sebagai tunangan Ica. Dia dekat dengan Selvi, ke mana pun Selvi pergi, Satria yang mengantarnya, bahkan Satria sering antar jemput Rani sekolah. Dia benar-benar melupakan mimpi yang ia rancang sendiri untuk hidup dengan Ica.
Hingga suatu hari, Satria benar-benar melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya, dia berani memulai hubungan dengan Selvi, dan mereka sadar, sadar dengan status mereka masing-masing. Satria sadar dirinya sudah bertunangan dan akan menikah dengan Ica, Selvi pun sadar dengan statusnya yang janda, dan butuh perhatian dari laki-laki.
Hubungan mereka semakin dekat, hingga diketahui kedua orang tua Selvi. Dan, ternyata papanya Selvi adalah investor terbesar di dalam proyek yang sedang Satria tangani. Memang Selvi dari keluarga yang berada, tidak heran dia memiliki rumah semewah sekarang yang saat ini ditinggali dengan Rani saja.
Kedua orang tua Selvi merespon baik hubungan mereka, meski kedua orang tua Selvi tahu kalau Satria sudah bertunangan dan akan menikah. Papa dan mamanya Selvi memang sudah suka dengan Satria sejak dulu, sejak Selvi dan Satria di jodohkan, tapi Selvi malah mengecewakan kedua orang tuanya, dan membuat malu kedua orang tuanya, karena hamil dengan kekasihnya. Sekarang kedua orang tua Selvi tidak ingin melepaskan Satria begitu saja yang sudah membuat cucu kesayangannya bahagia, dan membuat Selvi bangkit dari keterpurukan setelah ditinggalkan suaminya.
Hubungan gelap itu semakin merajai diri Satria. Lupa akan statusnya, lupa pula akan janjinya pada Ica. Janji untuk menikahi Ica di tahun ini, bahkan Satria juga sudah enggan jika diajak bicara soal hari pernikahannya. Dia hanya ingin Selvi, yang sudah memberikan apa yang ia butuhkan selama satu tahun bersama. Dengan Selvi, Satria menjadi laki-laki yang sebenarnya, dia menemukan titik bahagia tersendiri pada diri Selvi, dan Satria pun tidak mengerti, kenapa dia nyaman, dan bisa jatuh cinta dengan Selvi, hingga melupakan cintanya pada Ica, yang ia kejar bertahun-tahun, hingga dia bersaing dengan Devan. Setelah mendapatkan Ica, bukannya dia menjaga cintanya pada Ica, tapi dia malah mengkhianati Ica.
Flashback Off