Hampir satu bulan, Ica sama sekali tidak tahu kabar Satria bagaimana. Bahkan yang mengejutkan, Leo baru saja menerima surat pengunduran diri dari Satria. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba Satria mengirimkan email soal pengunduran dirinya dari perusahaan Leo. Leo juga menerima surat secara tertulisnya dari sekretarisnya. Katanya semalam Satria menemui Sekretaris Leo, dan menitipkan surat resign.
Benar-benar tidak masuk akal, Leo semakin geram dengan perbuatan Satria yang berubah seperti itu. Leo sudah menghubungi Satria, tapi tidak ada jawaban darinya, bahkan sudah mendatangi rumah Satria, tapi baik Satria maupun ibunya tidak ada di rumah. Entah ke mana mereka pergi, dan kenapa kedua orang itu susah sekali dihubungi.
Ica sudah menyerah, apalagi terakhir dia berkomunikasi dengan Satria saat ada anak kecil memanggil Satria dan bilang, kalau Satria akan jadi ayahnya. Ica tidak bisa menghubungi Satria dan ibunya. Kedua seakan menghilang ditelan bumi. Bingung, Ica benar-benar bingung harus berbuat apa. Harusnya sekarang sudah ditentukan tanggal pernikahannya, tapi tidak ada kejelasan dari Satria. Satria malah sering menghilang tanpa kabar, dan tiba-tiba sudah ada di Bandung. Yang membuat Ica semakin bingung, ibunya pun turut menghilang tanpa kabar.
Ica duduk di depan kedua orang tuanya, bersama Leo dan Rana juga. Mendengar kabar kalau Satria resign dari kantor Leo, membuat Ica dan kedua orang tunya tercengang. Pun, Rana. Dia tidak mengerti kenapa Satria yang sudah ia anggap orang yang sangat baik, tapi tiba-tiba menjadi seperti penjahat. Ya, penjahat yang sudah menyakiti Ica.
“Kemarin, saat Kak Satria menghubungi Ica yang terakhir, Ica dengar ada anak kecil, itu sangat jelas terdengar. Namanya Rani, dan dia maunya tidur dengan Satria. Dia ribut sama bundanya, maunya tidur sama Satria, dan katanya sebentar lagi Satria akan jadi ayahnya. Setelah itu, Kak Satria langsung menyudahi percakapan kami, dan memutuskan telefonnya sepihak,” jelas Ica dengan suara yang parau.
Rana merangkul Ica, mengusap bahunya. Mencoba menenangkan Ica dengan keadaan yang seperti sekarang ini.
“Mama sudah menghubungi Leli?” tanya Pak Akbar.
“Sama sekali tidak bisa dihubungi, Pa. Sepertinya dia kan masih di Jogja, masih ada acara dengan ibu-ibu sosialita yang enggak penting itu,” jawab Bu Anjani.
“Bukan teman SMA, Ma?”
“Bukan, Pa. Kalau reuni SMA ya pasti mama datang dong? Itu lho pa, teman arisan dia? Papa tahu sendiri Leli seperti apa orangnya, kan?” jelas Bu Anjani.
“Papa benar-benar kecewa sekali dengan Satria! Maunya apa dia? Dia sendiri yang terus memohon pada kita, untuk mendekati Ica, pun Leli. Tapi, sekarang? Mereka entah ke mana tidak tahu, dihubungi juga tidak tahu di mana mereka? Ini sudah hampir satu bulan! Kalau masih satu atau dua hari, atau mungkin seminggu, papa bisa maklumi ini, Ma! Tapi, ini sudah keterlaluan mereka! Setiap papa bicara baik-baik soal kapan menentukan tanggal pernikahan, Satria menghindar, Leli pun ditanya selalu jawabnya itu urusan Satria. Mereka maunya apa coba?” Pak Akbar sudah sangat kecewa. Dadanya kembang kempis menahan amarah, Pak Akbar sudah tersulut emosi saat ini.
“Pa, sudah, jangan gini. Mama pun sangat kecewa dengan mereka, tapi kita mau cari ke mana lagi? Mama juga kehilangan kontak Leli. Semua aku sosial medianya pun ia tutup. Benar-benar seperti tidak ingin diketahui keberadaannya,” ucap Bu Anjani.
“Pa, Ma, sudah. Kalau pun sampai berbulan-bulan Kak Satria tidak ada kabar, Ica sudah pasrah, untuk apa Ica mencari orang yang sudah ingin pergi dari hidup Ica? Untuk apa, Pa? Ica sudah tidak butuh kejelasan, semua sudah jelas, saat terakhir Kak Satria telefon aku,” ucap Ica.
“Enggak gitu dong, Ca? Harus cari kejelasan dan titik terangnya?” ujar Rana.
“Untuk apa? Kalau sudah ingin pergi, ya sudah pergi saja? Ica capek, Kak. Ica sudah berusaha menerima Kak Satria, berusaha mencintainya, sekarang cinta itu sudah ada, harusnya setelah aku di sini, cinta itu semakin tumbuh subur, karena Kak Satria merabuknya dengan baik, tapi apa, Kak? Dia malah sibuk sendiri, dia sering menghilang, sering tiba-tiba sudah berada di Bandung, dan terakhir, suara anak kecil itu yang nyata terdengar, bukan hanya halusianasi, Kak. Sudah jelas dan terang, apa harus di kasih penjelasan dan keterangan lagi?” ucap Ica dengan penuh kekecewaan. Air matanya terus mengalir dari sudut matanya.
“Benar kata Rana, Ca. Kita juga butuh kejelasan, dari Satria atau ibunya. Enggak bisa gini dong, Ca? Kamu tunangan Satria, calon istrinya. Sekarang calon suami kamu, dan calon mertua kamu menghilang begitu saja dari depan kamu dan kedua orang tuamu, lalu kamu mau diam gitu saja? Kamu juga harus tahu, ada apa sebenarnya? Kenapa dia pergi, dan siapa anak kecil itu, lalu siapa bundanya? Kamu harus tahu soal itu, Ca! Dan, ini, ini yang benar-benar tidak ku sangka, Satria semalam menitipkan surat resign nya pada Sekretarisku, lalu paginya dia mengirim email. Berarti dia di sini, kan? Harusnya dia menemui kamu dan mama papamu, Ca? Juga menemuiku, menjelaskan kenapa dia resign begitu saja!” ujar Leo.
“Benar kata kamu, Le. Kita harus cari tahu mereka di mana, dan meminta kejelasan soal ini. Memangnya apa? Dia setiap hari memohon dan meminta putriku satu-satunya padaku, tapi setelah dapat, dia menghilang gitu saja. Apa maksudnya?” ucap Pak Akbar.
“Om jangan khawatir, aku sudah suruh orang-orangku untuk mencari Satria dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Aku juga perlu kejelasan soal ini, kenapa dia tiba-tiba mengirimkan surat resign tanpa menghadapku dan bicara baik-baik denganku!” ucap Leo.
Ica tidak memedulikan papanya dan Leo yang tetap ingin mencari kejelasan kenapa Satria menghilang begitu saja. Ica sudah pasrah dengan hubungannya. Toh kalau pun Satria ada dan meminta maaf, serta menjelaskan semuanya pada dirinya, Satria akan tetap seperti itu, menghilang, dan menghilang lagi.
“Mungkin aku yang salah. Aku yang tidak bisa mengimbangi apa mau Kak Satria. Harusnya dia tahu, dan harus mengimbangiku, di juga harus tahu, kalau aku butuh sekali sosoknya setiap hari untuk menumbuhkan rasa cintaku padanya, bukan malah menghilang begitu saja. Setalah malam itu, ya malam itu saat aku baru satu bulan di sini, Kak Satria meminta lebih dari sekadar menciumku, wajahnya yang penuh nafsu ingin menerkamku saat aku berada di rumahnya, dan tidak ada Tante Leli di rumah. Sejak malam itu, Kak Satria sangat berubah, apalagi kalau aku menolak intim dengannya. Bagaimana aku akan seperti itu? Aku tahu diri, aku perempuan, meski dengan tunanganku, aku tidak mau melakukan hal sebodoh itu,” gumam Ica.
Satria memang sering meminta Ica lebih dari sekadar ciuman. Ica tahu, Satria memang sudah butuh itu. Tapi, Ica sebisa mungkin tidak ingin memberikannya lebih meski Satria tunangannya, apalagi Ica belum benar-benar sempurna mencintai Satria, jadi dia tidak mau kalah dengan ego dan nafsunya yang merajai saat berhadapan dengan Satria yang semakin agresif.
Sekarang Ica tahu, mungkin Satria memilih untuk bersama wanita lain, yang lebih tahu kebutuhan Satria yang semakin ke sini semakin Ica tahu sifatnya dan agresifnya Satria. Ica berpikir kalau wanita yang disebut bundanya Rani itu adalah wanita yang saat ini sudah menjadi wanita idaman lain Satria.
“Benar kata Kak Rana, aku harus cari tahu semua ini, meski aku tidak ingin tahu kenapa Kak Satria sampai setega ini padaku. Dia menghilang begitu saja hampir satu bulan. Resign dari kantor juga, dan Rani, juga bundanya, mungkin kedua manusia itu yang sekarang sedang bersama Kak Satria, lalu Tante Leli? Kenapa beliau ikut menghilang?” gumam Ica.
^^^
Sudah lebih dari satu bulan, baik Ica dan kedua orang tuanya tidak sama sekali belum tahu kabar Satria, dan kabar Bu Leli juga. Pun Leo, dia juga belum bisa menemukan di mana Satria sekarang, karena semua orang yang Leo suruh belum berhasil menemukan Satria sampai saat ini.
Ica memberanikan diri ikut ke Bandung bersama Leo dan papanya untuk mencari Satria. Leo tahu di mana Satria tinggal, karena saat itu Leo yang memberikan fasilitas tempat tinggal di sana. Tapi, rumah yang Leo sewakan untuk Satria itu sudah kosong setengah tahun, bahkan saat proyek belum selesai pun, kata pemilik rumahnya Satria sudah tidak menempati rumah yang Leo sewakan itu. Lebih mengejutkan lagi, pekerja yang tahu Satria, Satria sekarang sudah menikah dengan seorang janda yang memiliki satu anak, dan rumahnya tepat di sebelah rumah yang Leo sewakan untuk tempat tinggal Satria sementara saat mengurus pekerjaannya di Bandung.
“Ini maksud bapak gimana, ya?” tanya Leo pada tukang kebun di rumah yang Leo sewakan untuk Satria.
“Pak Satria itu sepertinya sudah menikah dengan yang punya rumah ini, Pak. Soalnya saya sering melihat Pak Satria di rumah ini. Saya juga kadang di suruh kerja di situ, Pak. Membersihkan halamannya, dan memangkas ranting tanaman di sana,” terang tukang kebun tersebut.
“Nama perempuannya siapa?” tanya Leo.
“Bu Selvi, Pak. Anaknya Pak Adam, yang katanya pemilik hotel yang baru itu, Pak,” jawabnya.
“Adam Adiwijaya?” tanya Leo.
“Iya, benar,” jawabnya.
“Siapa, Le?” tanya Pak Akbar.
“Dia itu pengusaha kaya raya, Om. Investor terbesar di proyek yang kemarin Leo kerjakan di sini,” jawab Leo.
“Lalu anaknya yang namanya Selvi itu?” tanya Pak Akbar lagi.
“Itu, ehhmm ... itu, mantan tunangannya Satria dulu,” jawab Leo.
“Sudah aku duga, pasti ada hubungannya dengan wanita di masa lalu Kak Satria, Pa. Semua sudah jelas, kita pulang saja. Kalau keluarga Kak Satria punya itikad baik sama Ica, mama, dan papa, pasti mereka datang dan meminta maaf serta menjelaskannya. Kalau tidak, berarti Kak Satria dan Tante Leli yang selama ini aku kenal baik, ternyata jauh dari kata baik, bahkan buruk sekali, sangat buruk!” ucap Ica dengan mata berkaca-kaca, dan kedua telapak tangannya mengepal karena sudah sangat kecewa.
“Ayo pa, Kak Leo, kita pulang saja. Enggak usah cari dia lagi, itu malah akan membuat aku sakit. Biarlah terserah dia mau apa. Semua selesai, sudah selesai, tidak ada lagi rencana pernikahan antara aku dan Kak Satria,” ucap Ica.
Ica dirangkul papanya. Beliau membawa Ica dalam pelukannya. Ica tidak bisa lagi menahan rasa sakitnya, dan dia menangis di pelukan papanya setelah mendengar kabar kalau Satria katanya sudah menikahi wanita yang berstatus janda bernama Selvi. Ica menangis, dan memeluk erat papanya. Pak Akbar juga mengeratkan pelukannya pada Ica. Pelukan yang selalu menenangkan Ica. Kali keduanya Ica terluka karena laki-laki yang disebut sebagai calon suaminya. Kali ini lebih menyakitkan daripada apa yang dulu Arkan perbuat. Perselingkuhan lebih tepatnya, bukan karena masih mencintai masa lalu, tapi karena Satria butuh sosok yang bisa memuaskan dirinya di atas ranjang. Itu yang ada di pikiran Ica saat setelah mendengar kabar bahwa Satria baru saja menikahi janda yang tak lain tunangannya dulu, yang kata Rana tidak Satria cintai.
“Iya, aku paham. Kak Satria butuh itu, mungkin dengan perempuan itu, Kak Satria bisa mendapatkan apa yang Kak Satria butuhkan. Tapi, kenapa harus diam-diam, dan tidak mau menjelaskan?” gumam Ica.