Bab 24 - Pengecut!!!

1865 Kata
Ica sudah pasrah, entah mau dibawa ke mana hubungannya dengan Satria. Yang jelas, Ica akan memutuskan semuanya, dia akan menyudahi hubungan yang setiap hari semakin tidak jelas. Sebenarya sudah jelas, tapi sebelum Satria menjelaskan semuanya di depan Ica, semua masih abu-abu. Ica ingin kepastian, ingin penjelasan dari Satria, kenapa Satria dengan mudah berpaling darinya, dan tidak pernah mengingat bagaimana susahnya mendapatkan hatinya. Kedua kalinya gagal menikah, membuat Ica tidak menyerah dan tidak terpuruk untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Meski belum ada kepastian, Ica sudah menganggap semuanya tentang Satria sudah berakhir. Entah kapan Satria akan menemuinya dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, karena sudah tiga bulan lamanya dia menghilang, tidak ada kabar sama sekali. Pun dengan Bu Leli, beliau ikut menghilang. Kemungkinan besar Bu Leli sudah tahu tentang hubungannya Satria dengan Selvi. “Aku kira, orang seperti Kak Satria adalah orang yang sangat bertanggung jawab dan tidak pengecut. Ternyata apa yang aku sangka selama ini salah,” gumam Ica dengan menyunggingkan senyum di depan cermin meja riasnya. Ica kembali menata rambutnya. Meski masih terluka hatinya, dia tetap berusaha mengobati lukanya sendiri. Ica bersiap untuk kembali ke kantor. Dia harus ke kantor, menyelesaikan pekerjaannya, karena sudah menjadi tanggung jawab besarnya. Tidak peduli hatinya yang sakit, dan mulai hari ini, Ica sudah tidak mau lagi mengenal apa itu cinta. “Oke, lupakan semuanya, Ca. Belum terlambat untuk mengubur semua tentang Satria. Kamu bisa melupakan Arkan, masa kamu enggak bisa melupakan Satria?” ucap Ica dengan senyum merekah, menyemangati dirinya sendiri. Ica keluar dari kamarnya. Dia langsung menuju ke meja makan untuk sarapan bersama kedua orang tuanya. “Pagi, Ma, Pa,” sapa Ica dengan mencium pipi mama dan papanya bergantian. “Pagi, Sayang ... anak mama kelihatannya fresh sekali pagi ini?” ucap Bu Anjani. “Masa sih?” “Iya, kelihatan fresh, tidak seperti kemarin. Gitu dong, semangat!” ucap Pak Akbar. “Harus dong, Pa ... Ica sudah menganggap semuanya selesai, Pa. Satu bulan Ica nunggu setelah dari Bandung, tapi tidak ada titik terangnya, kan? Ya sudah Ica anggap semua sudah berakhir. Untuk apa masih mengharapkan orang yang gak bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya? Sampai kapan juga Ica harus nunggu, Pa? Perempuan butuh kepastian, kan?” ucap Ica. “Iya. Kalau kamu lega dengan menganggap semuanya sudah selesai. Papa dukung apa yang kamu mau, papa selalu berada di samping kamu, begitu juga dengan mama. Kamu masih punya kami berdua, jangan terpuruk lagi,” ucap Pak Akbar. “Perasaan Ica enggak terpuruk banget, Pa? Waktu di tinggal Arkan, Ica malah kuliah, enggak mengurung diri di kamar, berhari-hari bahkan berbulan-bulan, untuk meratapi nasib Ica. Ya memang terpuruk, tapi Ica jadikan keterpurukan Ica ini sesuatu yang bermanfaat. Ica bisa menyelesaikan S2 Ica, karena tidak jadi menikah, dan mungkin sekarang Ica akan menjadi wanita karier yang hebat setelah ini? Iya, kan?” ucap Ica. “Aamiin ... semoga kamu menjadi wanita yang hebat seperti mama kamu. Menjadi wanita karier yang sukses, dan mendapatkan jodoh yang baik.” Pak Akbar memeluk Ica, dan mencium kepalnya. “Aamiin, Pa ... Do’akan Ica selalu ya, Ma, Pa?” “Itu pasti, Sayang ....” Jawab mereka bersama. “Sudah sarapan dulu, ini mama sudah masakin kesukaan kamu,” ucap Bu Anjani. “Yakin ini yang masak mama? Bukan Mbok Wati?” tanya Ica. “Ya, dibantuin Mbok Wati sih?” jawab Bu Anjani dengan malu. “Ma, ajarin Ica masak dong?” ledek Ica. “Enggak usah ngledek, Ca!” tukas Bu Anjani. “Pa, papa kok enggak protes kalau mama gak bisa masak?” tanya Ica. “Karena papa mencari istri, bukan koki atau ART,” jawab Pak Akbar. “Mama kamu enggak bisa masak, ya bisa tapi ya itu-itu saja, hanya yang bisa. Tapi, mama kamu hebat, selalu siap menemani ke mana papa pergi untuk mengembangkan bisnisnya. Jarang perempuan seperti mama kamu,” puji Pak Akbar. “Masa sih?” ucap Bu Anjani. “Iya, buktinya sekarang? Sampai saat ini, mama masih berperan di samping papa, apa yang papa lakukan untuk perusahaan, mama selalu mendukungnya? Iya, kan?” ucap Pak Akbar. “Ica juga salut dengan mama dan papa, yang selalu setia, dan enggak pernah aku melihat mama dan papa bertengkar atau apa gitu? Dari Ica kecil mama dan papa selalu kompak. Dan, terima kasih sudah menjadi orang tua yang hebat untuk putrimu ini, yang selalu gagal dalam urusan percintaan,” ucap Ica dengan menahan tangisnya. Ica dipeluk mama dan papanya. Lagi-lagi hanya mereka yang membuat Ica tetap kuat. Ica tahu mereka pun sakit melihat dirinya yang selalu gagal dalam urusan percintaan. Ica tahu, mereka juga pastinya akan menanggung malu lagi, karena kedua kalinya dia gagal menikah. Beruntung, jauh-jauh hari sebelum semuanya siap, Satria sudah lebih dulu kabur, coba kalau seperti Arkan dulu, sudah satu langkah lagi menuju sah, semua gagal karena salah menyebut nama calon mempelai wanita. “Sudah, semua sudah selesai, meski belum ada kepastian dari Satria. Kamu ada mama, ada papa, jadi lanjutkan perjuangan kamu untuk membangun mimpi kamu dengan perusahaan yang sudah kamu dirikan, lalu kamu tinggalkan, jangan ditinggal lagi, kamu harus lihat jalan di depan kamu masih panjang, dan urusan jodoh, semua sudah diatur Allah, kamu serahkan semuanya pada Allah,” tutur Pak Akbar. “Iya, Pa.” Ica memeluk papanya, hanya papa dan mamanya yang selalu mengerti dirinya selama ini. Selesai sarapan, Ica mengambil beberapa dokumen yang akan dibawa ke kantor. Dia mengambil tas, dan memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ica mengecek dulu ponselnya barangkali ada pesan atau telefon dari Satria, tapi sama sekali tidak ada. Hanya operator yang selalu setia mengirimkan pesan. Ica tersenyum lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ica menuruni anak tangga, lalu menemui papa dan mamanya yang masih duduk santai di teras sambil ngobrol. “Ma, Pa, Ica berangkat, ya? Papa enggak ke kantor?” pamit Ica. “Papa siangan, kamu hati-hati, ya?” ucap Pak Akbar. “Oke, Pa.” “Ca, ingat enggak usah mikir apa-apa lagi, fokus dengan pekerjaan kamu, semua akan baik-baik saja, dengan atau tanpa Satria,” ucap Bu Anjani. “Iya, Ma. Tenang saja, Ica sudah kebal masalah itu. Ica pamit, ya?” “Eh sebentar, Ca. Kamu tahu kabar Dev?” tanya Pak Akbar. “Papa kok tanya Dev? Aku dengar terakhir saat chat sama dia, ya sudah tiga bulanan, Pa. Dia sekarang ada di Malang, buka restoran di sana. Memang kenapa, Pa?” jawab Ica. “Kangen saja sama dia, lama sekali tidak dapat kabarnya.” “Oh Ica kira ada apa. Ya sudah Ica berangkat, ya?” pamit Ica. Lalu mencium pipi mama dan papanya. Ica melambaikan tangannya dan masuk ke dalam mobil, lalu melajukan mobilnya ke kantor. Pak Akbar masih duduk di kursi teras bersama dengan istrinya. Pak Akbar mengembuskan napasnya dengan sedikit berat. Papa mana yang tidak sedih, tidak sakit hati, melihat putrinya yang sangat dicintai selalu gagal menikah. Itu yang Pak Akbar rasakan saat ini. “Pa, sudah ya? Enggak usah mikirin Satria lagi. Mama juga sangat kecewa, tapi mau bagaimana lagi?” ucap Anjani. “Papa tidak menyangka, Satria akan seperti itu. Padahal yang papa kenal, dia orangnya sangat bertanggung jawab, disiplin, dan sangat bisa dipercaya. Tapi ternyata? Malah menyakiti putri semata wayang kita,” ucap Akbar. “Mama pun demikian, Pa. Mama kira Satria laki-laki yang baik untuk Ica, yang bisa menjaga Ica, mencintai Ica, tapi nyatanya? Kegigihannya untuk mendapatkan Ica, untuk meluluhkan hati Ica, ternyata hanya drama semata. Setelahnya? Dia main kabur, menikah dengan mantan tunangannya dulu, dan sudah tiga bulan tidak ada kejelasan sama sekali. Mama sudah tanya semua teman mama, teman Leli, tapi semuanya tidak ada yang tahu Leli ke mana, dan sama sekali tidak ada yang tahu soal kontaknya,” ucap Anjani. “Sudah, jangan cari-cari dia lagi atau Satria. Semua sudah papa anggap selesai. Tidak ada lagi hubungan antara Ica dan Satria. Cukup sampai di sini. Ica pun sepertinya sudah ingin melupakan, dan yang harus kita lakukan adalah, mendukung Ica, bagaimana Ica ke depannya,” tutur Pak Akbar. “Mama sebenarnya dari awal sudah tidak suka Ica lebih memilih Satria daripada Dev. Mama tahunya Ica bakal jatuh cinta sama Devan, karena setiap hari merek selalu bareng, apa-apa sama Dev, tapi malah dia milih Satria? Padahal sudah jelas, kelebihannya ada pada Dev semua, dari fisik, dari semuanya, bahkan mama lihat Dev tulus sekali mencintai Ica,” ucap Anjani. “Ya, papa pun melihatnya seperti itu. Papa juga sempat bingung, kenapa milih Satria daripada Dev? Tapi, ya sudahlah, mungkin juga Dev sudah memiliki pasangan?” “Kalau belum?” tanya Anjani. “Jodohin saja sama Ica, mau enggak mau, Ica harus mau! Papa sudah tidak percaya lagi selain dengan Dev, Ma! Tapi, dia menghilang entah ke mana? Kata papanya masih di Jepang, kata Ica tadi dia sekarang di Malang?’ “Jangan asal jodohin, Pa? Biar mereka dekat lagi sendiri,” ujar Anjani. “Papa pengin jodohin mereka, Ma. Papa yakin, hanya Devan yang terbaik untuk Ica. Ya, tapi enggak sekarang-sekarang ini, tunggu hati Ica stabil, satu tahun lagi mungkin, sambil menunggu itikad baiknya Satria gimana dengan kita,” ucap Akbar. “Iya juga sih, Devan itu baik. Sudah mama anggap anak laki-laki mama, tapi kembali lagi pada Icanya, Pa. Enggak salah papa ingin jodohin Dev sama Ica. Tapi ya nanti, nunggu Leli sama Satria bagaimana.” “Iya, kan papa bilang nanti, Ma? Sudah, bahas ininya nanti. Nanti papa coba tanya sama Andre, kalau ketemu dia. Pasti dia tahu lah Dev sebenarnya di mana? Dia kan papanya?” “Iya, semoga saja Dev belum punya calon ya, Pa?” “Tapi Aiko?” “Ya, enggak tahu, kalau jodohnya sama Ica mau gimana? Berdoa saja yang terbaik buat Ica sama Dev, Pa?” ujar Anjani. “Iya, semoga saja, Devan yang kelak akan mendampingi putri semata wayang kita, Ma,” ucap Akbar. Akbar memang dari dulu sudah respect dengan Dev. Dia sudah menganggap Dev seperti anaknnya sendiri, dan satu-satunya orang yang bisa mengerti Ica adalah Devan menurut Akbar. Bukan lainnya. “Aku harus tahu di mana Devan sekarang. Aku yakin, Devan mengasingkan diri karena ingin menghindar dari Ica, dan sedang berusaha melupakan Ica,” gumam Akbar. ^^^ Ica sudah sampai di kantornya. Sudah tiga bulan, tidak ada lagi bunga, cokelat, cupcake, dan ucapan romantis dari Satria di meja kerjanya. Semuanya sudah benar-benar musnah, tidak ada lagi jejak tentang Satria, dan Ica membiarkan semua itu pergi. Bahkan dia ingin segera menuntaskan semuanya kalau nantinya Satria kembali dan menjelaskan semuanya. “Pengecut!!! Satu kata yang tepat untuk kamu, Kak Satria. Aku kira kamu adalah pria yang baik, tapi nyatanya? Kamu lebih buruk dari semua laki-laki yang sudah aku kenal, dan pernah singgah di hidupku. Arkan memang menyakitiku, tapi dia menyakitiku karena cinta sejatinya. Sedang kamu? Kamu menyakitiku karena nafsu, iya karena kamu butuh seperti itu, hal yang menjijikan yang tidak mungkin aku lakukan sebelum menikah!” gumam Ica. Ica membereskan semua barang yang ada hubungannya dengan Satria. Membuang semua bunga yang Satria kirimkan pada dirinya, dan semua yang berhubungan dengan Satria, Ica buang semuanya. “Sudah saatnya aku melupakan kamu! Meski belum ada penjelasana apa pun dari kamu. Cukup aku mengenal kamu, semuanya sudah aku anggap berakhir sampai di sini, Satria!” ucap Ica dengan tangannya tidak berhenti memasukkan barang yang berhubungan dengan Satria ke dalam tempat sampah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN