*P.O.V Ica*
Kemarin senang, bahagia, sampai saling panggil sayang. Sekarang sudah lenyap tiada kabar. Aku sadar, ternyata aku adalah sebuah percobaan untuk Satria. Ya, aku sudah tidak sudi memanggilnya dengan sebutan, Kak Satria. Sebuah percobaan untuk jatuh cinta, mungkin itu lebih tepatnya. Sedang aku, aku menganggap Satria yang tulus meminta hatiku, namun ternyata aku salah. Dia yang memintanya dengan tergesa, dan mematahkannya secara sengaja. Satria yang meminta sebuah komitmen, kemudian dengan seenaknya dia menepikan semua janjinya padaku.
Tenang saja, Sat. Silakan kamu bahagia, biar saja luka itu ada dibagianku. Aku tidak butuh seorang pengkhianat, yang mulutnya berbusa oleh kebohongan. Satria ... Satria ... aku kira kamu sosok yang lebih dari apa pun, tapi ternyata kamu adalah orang yang jauh lebih buruk dari seorang penjahat. Sakit hati, itu pasti. Tapi, aku menikmatinya, agar aku semakin mengerti, bahwa merelakan jauh lebih baik daripada bertahhan dalam kesakitan!
Aku tidak mengerti kenapa dia begitu menginginkanku, tapi setelah mendapatkan aku, dengan mudahnya dia pergi tanpa kabar? Kenapa sebelum nyaman itu hadir, dia tidak memastikan apa dia benar-benar jatuh cinta padaku? Apa dia hanya penasaran saja? Bagaimana sih rasanya punya pasangan yang umurnya terpaut jauh? Iyakah seperti itu?
Lucu! Dia yang memulai, dia juga yang menyudahi tanpa pamit!
Aku sudah kebal. Iya kebal dengan namanya sakit hati dengan sosok yang disebut laki-laki. Tapi, kali ini lebih parah, lebih sakit namun tak berdarah. Iya lebih sakit, karena dia mengkhianatiku dengan perempuan lain, melupakan janjinya yang sering ia ucapkan padaku. Satria lebih buruk daripada Arkan! Itu yang aku rasakan.
Arkan memang menyakitiku, tapi aku yang bodoh. Aku mencintai laki-laki yang tidak pernah mencintaiku, dia hanya kasihan padaku. Hatinya masih utuh untuk Thalia. Dia sudah berusaha mempertahankan aku, tapi nyatanya hatinya masih berpihak pada Thalia, cinta di masa lalunya. Sedangkan Satria? Dia selingkuh. Iya, aku langsung menyimpulkan dia selingkuh. Kalau enggak selingkuh lantas aku harus bilang dia terpakssa menikahi perempuan itu?
Hah ... rasanya sangat lucu hidupku ini. Dipermainkan oleh cinta. Sudah berjuang melupakan Arkan, dan berjuang untuk mencintai Satria, ujungnya setelah aku berhasil menata hatiku kembali dan berhasil mencintai Satria malah menjadi seperti ini. Hancur lagi. Memang benar, hal yang paling sulit dalam mencintai adalah memulainya. Terutama membuka hati setelah membereskan yang lama. Seperti aku yang sudah berhasil membereskan nama Arkan, dan dengan susah payah berhasil mengganti nama Satria di hatiku, tapi nyatanya aku mendapatkan luka lagi. Entah, aku bisa membereskan hatiku lagi atau tidak setelah ini?
Tidak terlalu hancur untuk yang sekarang sih. Karena level cintaku pada Satria belum setinggi level cintaku pada Arkan dulu. Tapi, aku tetap merasakan sakit, perih, dan kalau aku tidak melihat perusahaan yang aku bangun dengan susah payah ini, mungkin aku akan mengasingkan diriku lagi? Tapi, aku ingat semua yang sudah aku bangun dengan susah payah, dan aku masih punya mama dan papa yang selalu support aku.
Aku pun sadar, aku harus perlahan menjauh dari semua ini. Ya, semua tentang Satria. Walau aku masih berkutat di dalam belenggu cinta Satria. Hingga aku menemukan persimpangan antara melaju kencang untuk menghindar, atau menikmati perpisahan secara perlahan. Dan, aku memilih opsi kedua. Menikmati perpisahan secara perlahan, hingga Satria muncul, dan meminta maaf pada kedua orang tuaku, juga denganku.
Mungkin ini adalah jawaban dari Tuhan atas doa yang aku panjatkan sebelum aku memilih Satria. Tidak ada hal tentang Satria saat itu, tapi aku tidak tahu, kenapa aku memilih dia dan menerima lamaran dia. Padahal sedikit pun aku belum tahu jawaban atas doaku. Doa yang setiap malam aku panjatkan, meminta petunjuk apa Satria laki-laki yang pantas untuk aku? Ternyata baru sekarang aku tahu jawabannya. Satria. Nama yang selalu aku bicarakan dengan Tuhan dalam setiap bait doaku. Akhirnya aku sadar, satu huruf terucap dalam doaku pun tak pernah kamu dengar, Sat.
Ada denyut sesak saat mengingat siang itu, kala aku tahu dari seseorang kalau kamu sudah menikahi perempuan yang bernama Selvi. Seorang janda beranak satu, yang mengalihkan duniamu dariku. Entah pernikahan kamu digelar di mana aku tidak tahu, karena sampai detik ini aku tidak tahu di mana kamu sekarang, bahkan ibumu yang terlalu memaksaku untuk menerimamu pun ikut menghilang. Aku yakin ibumu sudah tahu semua ini, dan beliau malu dengan aku dan kedua orang tuaku? Tapi, apa tidak lebih baik kamu bicarakan terlebih dulu dengan aku sebelum kamu ingin pergi dariku, dan menikahi wanita itu? Kalau itu mau kamu, aku akan melepaskanmu.
Isi kepalaku masih saja tentangmu, namun mimpiku tentangmu telah berubah. Cinta yang hanya menawarkan bahagia adalah kebohongan besar yang terencana. Sebab, hati kadang perlu patah agar lebih bijak menentukan arah.
Sekarang, bersenang-senanglah dengan dia yang kau pilih untuk menemanimu sampai hari tua. Hingga suatu hari nanti, ketika kamu mendengar namaku akan membuatmu terbunuh tepat di d**a. Penyesalan akan menggerogoti perasaanmu, ucapan maaf mungkin akan kau teriakkan dalam setiap doa, dan tangisan akan menyelimuti setiap malammu penuh nelangsa. Semua itu akan sia-sia belaka, Satria. Karena, di hari itu rasaku padamu telah tiada. Sebab aku sudah memutuskan untuk pergi, karena aku sadar, hatiku terlalu mulia untuk kau tinggali. Dan, bila nantinya hatimu diselimuti kerinduan, menangislah, karena kamu telah aku lupakan selamanya.
***
Aku menutup kardus yang berisi barang-barang yang berkaitan dengan Satria. Aku akan menguburnnya, karena aku tidak memerlukan itu lagi. Mengubur semua kenangan dengan Satria. Dua tahun aku di Jepang, dan aku berhasil menata ulang kepingan hatiku yang dipatahkan Arkan. Setelah nyaris utuh, aku kembali menemukan seseorang yang membuat hatiku sempurna lagi, kini kembali hancur hanya sebuah rasa sesaat yang dibutuhkan untuk melampiaskan hasrat.
Ternyata aku sadar, mencintai orang yang lebih dewasa dariku lebih sulit daripada mencintai orang yang seumuran denganku. Satria membutuhkan itu, sedang aku malah asik dengan keromantisan Satria tanpa tahu apa yang sebenarnya Satria butuhkan. Aku tahu, tapi aku tidak mau mempertaruhkan kehormatanku hanya untuk hal yang sesaat, jika Satria sungguh-sungguh menginginkanku, dia tidak akan marah saat aku menolaknya, dan tidak akan meminta dengan perempuan lain untuk menuntaskan hasratnya? Tapi, ya sudahlah, toh dia yang memulai, bukan aku.
Hari ini aku benar-benar fokus dengan penataan hatiku kembali. Bukan hati saja yang aku tata kembali, tapi semuanya. Aku butuh suasana baru lagi. Butuh hal yang tidak berhubungan dengan Satria. Ruang kerjaku di kantor, tadi pagi sudah aku bereskan semua. Aku meminta OB membantuku menata ulang kembali ruang kerjaku, hingga sore hari aku menyelesaikan itu sendiri dengan bantuan mas-mas OB yang untungnya mau membantuku.
Sekarang, kamar ini. Aku ingin membuang semua kenangan yang berhubungan dengan Satria. Untung saja masih sedikit, karena aku tidak terlalu sering bertemu Satria. Jadi barang-barang yang ada hubungannya dengan Satria tidak terlalu banyak.
Aku meminta Mbok Wati membantuku membawa kardus-kardus yang isinya semua tentang Satria ke halaman belakang rumah, karana aku akan membakar semua yang berkaitan dengan Satria. Mama hanya memerhatikan aku dari tadi yang sedang sibuk menata ulang kamarku. Aku tahu mama sedih melihat putrinya yang gagal menikah lagi. Aku pun sedih, sakit, bahkan aku menyerah. Tapi, aku ingat kata papa, masa depanku masih panjang, dan aku tidak mau menyia-nyiakan itu.
“Ma, bantuin dong? Mama dari tadi Cuma lihatin aja ih?” ucapku.
Bukannya membantu aku membereskan semuanya, mama malah memelukku, dan manangis dengan memelukku erat.
“Ma, Ica masih sanggup kok. Ica kuat, Ica bisa ngadepin ini. Mama jangan gini dong? Jangan buat Ica tamah terbebani dengan semua ini?” ucapku.
“Maafin mama, Ca.”
“Jangan minta maaf, Ma. Mama enggak salah, kok?”
“Kalau mama tidak menanggapi ucapan Leli, dan tidak merespon Satria, mungkin kamu tidak seperti ini.”
“Ma, sudah dong, jangan nyalahin diri mama? Semua ini sudah digariskan Tuhan, Ma. Ica lega, ternyata Ica ditunjukkan sama Allah, kalau Satria bukan orang baik seperti yang Ica kira. Sudah ya, Ma? Kita sama-sama melupakan semua tentang ini. Anggap saja aku dan Satria itu tidak pernah ada hubungan apa-apa. Biar dia yang merasa sangat berdosa tentang apa yang dia perbuat pada kita. Kita gak usah nyari dia, dan meminta penjelasan dari dia. Ica sudah yakin, dia pergi dan menikahi wanita itu. Meski berita itu masih mengambang, belum jelas benar atau tidaknya. Mama jangan nangis, Ica kuat, Ica enggak apa-apa kok. Kata mama Ica harus semangat? Kok malah mama yang gini?”
“Mama tahu perasaan kamu, Sayang. Kamu sekarang ini sedang hancur, dan mencoba tidak terpuruk oleh keadaan yang sedang menerpamu. Kalau kamu ingin menangis, menangislah, teriak sekencang mungkin untuk melepaskan bebanmu.”
“Enggak perlu teriak, Ma, untuk membuat hati lega dan melepaskan beban. Ica punya Tuhan. Ica punya Allah, untuk tempat Ica berkeluh kesah. Kapan lagi sih, Ma? Kita minta ke tanah dengan bersujud dan berdoa, tapi yang mendengar langit? Allah punya cara sendiri untuk menguji umatnya, Ma. Mungkin Ica diuji dengan hal seperti ini. Ya, gagal menikah dua kali. Tapi, Ica yakin, Allah memberikan ujian ini, karena Ica mampu melewatinya, Ma. Mama jangan gini, ya? Ica bisa kok, melupakan semua ini, dan melewati semua ini.”
Mama mengeratkan pelukannya padaku. Ingin rasanya aku menangis, tapi air mataku sudah terlampau kering. Aku tidak mau menangisi orang yang berkhianat. Untuk apa ditangisi? Dia yang salah, dia yang berulah, aku malah menangisinya? Enggak, itu adalah hal bodoh.
Satria. Namanya saja seperti seorang Satria. Nama yang artinya sangat bagus, seorang prajurit yang pemberani, gagah, tapi sayang, dia adalah pengecut! Bukan pemberani. Dia beraninya main api di belakang, dan pergi begitu saja.
Mama mengurai pelukannya. Mama memandangi wajahku, mengusap pipiku dan mencium keningku.
“Mama bangga dengan kamu, Sayang. Mama bangga punya anak yang sangat sabar, kuat, dan lemah lembut seperti kamu. Semoga kamu mendapatkan jodoh yang lebih baik, Nak. Mama ingin lihat kamu bahagia dengan orang yang sangat menyayangi dan mencintai kamu dengan tulus, seperti mama dan papa yang sangat tulus menyayangi dan mencintai kamu.”
“Do’akan saja ya, Ma. Ica hanya butuh do’a dari mama dan papa. Juga support kalian berdua. Kita bisa kok menghadapi semua ini. Mama enggak malu, kan? Kalau aku gagak menikah lagi?”
“Untuk apa mama malu? Lagian pertunangan kamu dan Satria kan tidak di publikasikan? Mama sudah melupakan kejadian Arkan dulu, mama dan papa tidak pernah malu, kalau kamu gagal menikah. Sekarang pun mama tidak malu, kamu gagal menikah dengan Satria, tapi mama lebih malu, kalau anak mama gagal dalam berumah tangga. Mama tidak mau itu terjadi. Siapa pun nanti laki-laki yang akan mendampingi kamu, mama harap laki-laki itu adalah laki-laki yang paling setia. Hanya kamu di hidupnya, dan hanya kamu wanita yang dia cintai.”
“Aamiin ... do’akan ya, Ma?”
“Iya, selalu, Sayang.”
Mama kembali mengeratkan pelukannya padaku. Rasanya lega, mama sudah bisa menerima kenyataan ini. Aku memang sakit hati, hancur, malu, dan masih banyak lagi rasa yang tidak enak singgah di hatiku. Namun, bukan hanya aku saja yang sakit hati, yang hancur, dan malu. Mama dan papa juga pasti merasakan semua itu. Tidak ada orang tua yang tidak hancur hatinya, dan tidak malu melihat anak perempuannya dua kali gagal menikah untuk yang kedua kalinya. Benar kata mama, gagal dalam berumah tangga lebih memalukan, daripada gagal menikah. Karena, gagal menikah tidak merubah statusku, sedangkan gagal menikah, akan merubah statusku.