Sudah enam bulan, artinya sudah setengah tahun Satria menghilang tanpa kabar. Sekarang dia duduk di depan kami semua, di depan mama, papa, dan aku, bersama wanita yang perutnya sudah membuncit, ditemani oleh Tante Leli. Ini yang aku tunggu, aku menunggu status tunanganku lepas. Ya, meskipun aku sudah memutuskan tidak ada status lagi setelah tahu kabar Satria menikah lagi. Status tunangan Satria.
“Sebelumnya saya pribadi minta maaf. Ini memang kesalahanku, aku sadar melakukan kesalahan ini. Maafkan Satria, Om, Tante. Maafin Kak Satria, Ca,” ucap Satria.
“Maaf, Sat? Kamu enggak mikir bagaimana susahnya kamu membujuk hati Ica, kami pun membujuk Ica dengan susah agar mau menerima kamu, sekarang kamu dengan mudahnya meminta maaf? Setelah hilang tanpa kabar dalam enam bulan, dan kami hanya tahu kamu menikah lagi dari tukang kebun di rumah perempuan ini! Kamu sadar tidak, kamu sudah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupmu! Dan, tante sangat yakin, semua ini akan kamu rasakan akibatnya, karena kamu sudah menyakiti anak semata wayangku, yang sudah aku ikhlaskan menerima hatimu, menerima kamu untuk jadi calon istrinya!” Mama mungkin sudah terlampau marah, beliau mengeluarkan semua amarahnya yang mungkin sudah mama tahan sejak lama.
“Iya, tante, Satria tahu, Satria salah. Maaf pun tidak cukup untuk menebus semua ini. Lalu Satria harus bagaimana selain meminta maaf, Tante? Semua sudah terjadi, dan Satria tidak mungkin menikahi Ica.”
“Dan aku, tidak butuh pria seperti kamu, Satria! Terima kasih, sudah mengajarkanku untuk melupakan Arkan, terima kasih sudah membantu menyempurnakan kehidupanku lagi setelah aku terpuruk karena cinta. Meski akhirnya aku pun harus terluka karena kamu. Aku beruntung ternyata Tuhan masih sayang sama aku, dan menunjukkan siapa kamu sebenarnya. Selesai. Semua sudah selesai, sejak satu bulan kamu menghilang.”
Aku yang tadinya hanya diam, aku beranikan diri membuka mulut. Aku mengambil kotak yang ada di sampingku, yang memang dari tadi aku bawa dari kamarku. Kotak yang isinya barang dari Satria. Dari cincin pertunangan, hadiah ulang tahun, dan sebagainya. Perintilan kecil yang mungkin berharga, yang dulu Satria berikan padaku.
“Terima kasih, Satria. Aku kembalikan semuanya, dan sudah jangan pernah muncul lagi di depanku!” Aku memberikan kotak itu pada Satria.
“Ca, aku tidak minta ini dikembalikan padaku, ini sudah milik kamu, Ca. Yang aku minta adalah kamu memaafkan aku. Aku minta maaf.”
“Ini bukan milikku. Aku memiliki ini, tapi kamu milik orang lain. Orang yang masuk ke dalam hubungan kita, orang yang sudah sengaja mencuri tunangan orang. Apa masih pantas kamu bilang semua ini milikku? Soal maaf, aku memaafkan kamu, Tuhan saja Maha Pemaaf, kenapa aku tidak bisa memaafkan kamu?”
Iya, Maaf. Iya, aku memaafkannya.
Maaf, kata sederhana yang selalu menjadi juara. Begitu mudah diberikan, begitu cepat dilupakan. Berikut semua penjelasan tanpa henti. Kemudian lupa akan lupa, dan hilang akan benci.
“Oh iya, dan Tante! Tante ke mana saja? Jangan ikut jadi pengecut dong! Tante itu seorang ibu, orang tua dari Satria. Harusnya tante tidak usah ikut kabur, ikut menghilang! Pantas seorang ibu seperti itu? Oh, atau mungkin Satria jadi pengecut, karena memang dari orang tuanya sendiri yang mengajari jadi pengecut?”
Boleh dibilang saat ini aku benar-benar sudah muak dengan tiga orang yang berada di depan aku. Aku benar-benar tidak bisa mengontrol emosiku. Aku memang sudah menahan amarahku ini sejak lama. Kecewa ini aku redam sendiri, hingga saat ini, saat aku melihat orang-orang yang menyakitiku aku sampai berkata kasar dan tidak kata yang tidak pantas di depannya.
“Dan untuk kamu, siapa namamu? Oh janda kaya raya saja lebih pantas kali, ya? Iya, kaya raya, kalau enggak kaya, mana mungkin seorang Tante Leli menolak anaknya menikah dengan janda dari anak konglomerat?”
“Ica, jaga ucapan kamu!” tukas Satria.
“Jaga ucapan? Aku hanya tidak bisa menjaga ucapanku, Sat! Tapi, aku masih bisa menjaga harga diriku dan martabatku sebagai perempuan! Sedang wanita ini? Hanya perusak hubungan orang! Mempertaruhkan harga dirinya demi memuasakan kamu, dan kepuasan dirinya!”
“Ica, Stop! Aku juga tidak tahu akan seperti ini. Aku tahu kamu marah, tapi jaga ucapan kamu!”
“Satria, kamu sadar kamu sedang bicara dengan siapa? Aku Ica, perempuan yang sudah kamu sakiti! Aku bicara sesuai kenyataan, Sat! Kenapa kamu marah, kalau semua itu nyata? “ ucapku dengan tersenyum sinis di depan mereka.
“Ica, Satria, cukup! Sudah cukup penjelasan kamu sekarang, Satria. Sekarang pergi dari rumah ini!” usir papa.
“Om, sekali lagi Satria minta maaf.”
“Iya, sekarang lebih baik kalian pulang. Sudah jangan menampakkan diri lagi!” tegas papa.
“Anjani, aku minta maaf, aku memang salah, harusnya aku pun ....”
“Sudah jangan bicara lagi. Pergi dari sini, kami memaafkan kalian. Dan, cukup, kami tidak butuh lagi orang-orang seperti kalian. Pergi!” Mama menukas ucapan Tante Leli dan menyuruhnya untuk pergi.
Mereka pergi, ada sedikit lega di hatiku. Aku menunggu semua ini, dan akhirnya hari ini, tepat di bulan kelahiranku, aku melepaskan Satia. Iya, benar-benar lepas, dan aku tidak memiliki beban lagi soal Satria. Ini adalah kado paling menyakitkan mungkin. Tapi, untuk apa sakit melepaskan seorang pengkhianat. Semua sudah selesai. Lepas genggaman, cinta akan terbunuh pelan-pelan. Iya, pasti akan hilang dengan pelan-pelan tapi pasti, cinta yang masih tersisa untuk Satria, dan luka yang Satria goreskan di hatiku.
Melukai perasaan dengan mengatas namakan cinta dan kekhilafan. Satria ternyata pandai sekali berkilah. Cintaku memang sangat sederhana untuk Satria, tapi Satria sendiri yang memperumit cintanya, cinta untuk diriku, dan sisanya untuk perempuan itu. Hah ... sungguh sangat lucu. Kenapa harus ada laki-laki yang seperti itu?
Mama dan papa memelukku. Ya, aku masih bisa merasakan kasih sayang mereka di saat aku terpuruk karena luka. Mereka yang selalu mensupportku, dan biasanya juga ada Devan. Tapi, entah ke mana lagi orang itu, hanya sekali saja menghubungiku, dan selama ini aku benar-benar kehilangan jejaknya lagi. Semua kontaknya sudah tidak bisa aku hubungi lagi. Mungkin dia benar-benar sedang mencari ketenangan hatinya, karena aku sudah terlalu membuat hatinya sakit, karena menunggu aku membalas cintanya.
Aku tidak bisa membalas perasaannya. Entah kenapa itu bisa terjadi, padahal saat di Jepang, tiada hari tanpa Dev, tapi aku malah memilih Satria. Dengan Dev, aku menemukan kenyamanan tersendiri, dan aku yakin bukan cinta. Namun, entahlah, aku pun tidak mengerti rasa nyamanku dengan Dev itu rasa nyaman yang seperti apa.
Mama dan papa masih belum melepaskan pelukannya padaku. Aku tahu, mama dan papa khawatir aku akan terpuruk lebih lama lagi setelah ini. Aku merasa sekarang hidupku tidak ada beban lagi setelah semuanya jelas. Satria sudah menjelaskan semuanya, meski tadi aku tersulut emosi.
“Ma, Pa, jangan khawatir sama Ica. Ica enggak apa-apa, kok. Ica baik-baik saja. Semua sudah jelas, Ma, Pa. Status Ica sudah jelas, sekarang Ica bukan tunangan orang lagi. Mama dan papa jangan gini dong, ntar malah Ica nangis.”
“Mama tahu perasaan kamu, Ca. Mama tahu hati kamu sakit, kalau mau nangis mama akan memelukmu, sampai kamu lega.”
“Enggak, Ma. Untuk apa menangisi laki-laki seperti Satria? Tidak ada gunanya air mata ini jatuh karenanya, Ma. Sudah, ini bukan acara sedih-sedih. Ini acara di mana Ica sekarang sudah bebas dari laki-laki pengecut dan pengkhianat seperti Satria.”
“Papa bangga memiliki kamu, Ca. Kamu wanita yang kuat, papa tahu hati kamu sakit, hati kamu terluka, tapi kamu masih bisa bicara seperti itu di depan kami. Papa mengerti apa yang Ica rasakan saat ini.”
“Iya, Ica kecewa, marah, sakit, tapi apa harus Ica menunjukkan dengan tangisan, dan terpuruk karena sakit? Enggak, Pa. Mungkin sakit ini belum seberapa seperti saat tidak jadi menikah dengan Arkan. Itu semua karena aku masih dalam tahap belajar mencintai Satria. Sudah, Pa, Ma, sekarang sudah selesai, Ica sudah lega.”
Memang aku sudah lega saat ini. Aku sudah tidak ada beban, dan tidak lagi menunggu kejelasan hubunganku dengan Satria. Meski sudah jelas dari awal aku mendengar Satria menikah, tapi alangkah baiknnya Satria menghadapku, dan menjelaskan semuanya. Dan sekarang, Satria sudah melakukan itu. Artinya bebanku sudah berkurang.
^^^
Dua minggu sudah berlalu, setelah Satria datang ke rumah bersama ibunya, dan perempuan itu. Sekarang, aku malah merasa aneh dengan diriku. Iya, aneh sekali, karena baru pertama kalinya di bulan kelahiranku, aku merayakan ulang tahunku tanpa Devan. Dari SMP hingga aku kuliah di Jepang, bahkan saat aku masih dengan Arkan pun Dev selalu memberikan kejutan kecil untukku.
Ini tahun pertama di bulan kelahiranku tanpa Devan. Ya, rasanya benar-benar ada yang kurang. Meski dia bukan kekasihku, bukan orang yang aku cintai, tapi rasanya setelah aku memutuskan untuk bersama Satria, Devan perlahan menjauh. Sekarang aku baru merasakannya di bulan kelahiranku tanpa Devan.
Mama dan papa mengajakku makan malam, katanya sih teman lamanya mengajak makan malam. Entah siapa teman lama papa dan mama itu aku tidak tahu, aku nurut saja, lagian besok malam aku tidak ada acara.
Mama mengajakku ke salon yang biasa mama kunjungi. Mama benar-benar antusias sekali dengan mengajak aku makan malam berasama teman lamanya, yang aku sendiri tidak tahu siapa teman lama mama itu.
“Ma, tumben-tumbennya besok sore mama mengajak aku ke Salon?”
“Ya, kita kan udah jarang nyalon bareng, lagian kamu kan mau mama ajak makan malam dengan teman lama mama dan papa. Biar kelihatan fresh dong?” jawab Mama.
“Ini mama sama papa lagi gak mau jodohin Ica sama anak teman papa dan mama, kan?” selidikku.
“Ehm ... enggak, eng—enggak kan, Pa? Kita mau ajak Ica saja, makan malam biasa?”
“Iya, enggak, Cuma makan malam biasa kok. Lagian mau jodohin kamu dengan siapa?”
“Ya, kali saja. Tapi, kok mama sama papa gugup bicaranya?”
“Gugup kenapa? Enggak gugup kok. Pokoknya mama mau, kamu harus ikut makan malam dengan kami. Kan sudah lama juga mama enggak ajak kamu makan malam dengan rekan kerja mama dan papa, atau teman mama dan papa? Iya, kan?”
“Iya juga sih, ya sudah Ica ikut. Lagian kalau gak ikut, Ica sama siapa? Mbok Wati lagi pulang kampung sama suaminya juga?”
“Nah makanya ikut saja,” ujar papa.
“Iya deh Ica ikut,” jawabku.
Entah mereka mau mengajak aku makan malam dengan temannya yang mana, aku tidak tahu. Tapi, mama dan papa kelihatan prepare banget dan antusias banget mau ngajakin aku makan malam dengan temannya.