Mama dan papa kelihatannya semangat sekali pagi ini, dan mereka selalu mengingatkanku soal nanti malam. Ya, makan malam dengan teman lama papa dan mama. Sebentar, teman lama? Apa mungkin Om Andre dan Tante Anita? Ah mana mungkin mereka berdua? Sepertinya mereka kan jarang di Jakarta, selalu di luar kota, atau di luar negeri? Masa iya mama dan papanya Devan? Cuma pikiran aku saja mungkin, karena aku juga kangen sama mereka, kangen sama Devan juga sih?
Tahun ini aku benar-benar kehilangan sosok teman yang paling mengerti hidup aku. Aku kehilangan sosok teman sekaligus kakak dalam hidupku. Dan, lebih sepinya lagi, di bulan kelahiranku ini, dia sama sekali tidak memberikan ucapan apa-apa, atau kejutan kecil untuk aku. Dia malah menghilang tanpa kabar setelah lima atau enam bulan yang lalu menghubungiku.
Aku meletakkan sendok dan garpu di atas piring setelah selesai sarapan. Aku masih melihat raut wajah papa yang sumringah, dan tengah berbalas chat dengan seseorang, entah itu siapa. Pun mama, mama juga asik dengan ponselnya sendiri. Padahal kalau habis sarapan kita ngobrol bareng beberapa menit sebelum aku, papa, dan mama siap-siap ke kantor, malah mereka sibuk dengan ponselnya.
“Pa, ma, kok senyum-senyum sendiri sih? Pada sibuk sama ponselnya? Ica di cuekin, nih? Ya udah ya, Ica berangkat?” ucapku.
“Ini balasan dari teman mama, lucu dia,” jawab Mama.
“Biasa, Ca. Papa sedang chat sama teman lama papa,” jawab Papa.
“Jangan bilang kalian sedang jatuh cinta sama orang lain?” tukasku.
Mama dan papa saling menatap, dan akhirnya mereka tekekeh karena mendengar ucapanku.
“Kamu takut kami selingkuh?” tanya mereka.
“Habis gitu, asik banget dengan ponselnya sendiri-sendiri,” jawabku.
“Papa sedang chat sama teman papa yang nanti malam ngajakin makan malam,” ucap papa.
“Kalau mama, di grup SMA rame sekali lagi ghibahin Leli,” jawab mama dengan terkekeh.
“Tante Leli maksudnya? Ibunya Satria?” tanyaku.
“Iya lah, siapa lagi kalau bukan orang itu? Semua yang ada di grup, gak nyangka saja sih Leli bisa bersikap seperti itu?” jawab mama.
“Ya udahlah, Ma? Lagian udah selesai semua kok, kasihan jangan dighibahin, nanti keplesek orangnya, kasihan beliau kan punya darah tinggi?” ucapku asal-asalan karena masih kesal dengan apa yang Tante Leli lakukan padaku juga pada mama dan papa.
“Kamu itu kalau bicara?” ucap mama dengan terkekeh.
“Ih, tapi Ica bicara kan sesuai fakta banget, Ma? Gak nyangka ya, Ma, Pa? Mereka kok gitu banget kelakuannya pada kita?” ucapku.
“Ya, mau gimana lagi, Ca? Kan mending kita tahu lebih awal, daripada nanti pas kamu sudah nikah dengan dia? Urusannya kan beda, statusmu di mana-mana juga pasti akan bedan nantinya. Ya, amit-amit anak papa nanti akan janda?” ucap Papa.
“Iya, Pa. Ada baiknya juga sih, kita diberitahu lebih awal, dan tepat di bulan kelahiranku ini, aku diberi kado spesial dari Tuhan, perjalanan hiudup yang begitu berharga. Kali ini juga ada yang aneh di bulan ini, Ma, Pa. Ica ngerasa Ica itu sudah jatuh ketimpa tangga juga,” ucapku.
“Why?” tanya mama.
“Tepat di bulan kelahiranku ini, aku dapat hadiah, yang mungkin itu bisa jadi hadiah yang baik dari Tuhan karena sudah membuka jalan terang hubunganku dengan Satria, itu hadiah spesial di tahun ini untuk Ica, Ma, Pa. Dan, satu lagi, di tahun ini, tepat di bulan kelahiranku, aku kehilangan sosok yang sejak aku SMP dia tidak pernah berhenti, tidak pernah melewati satu kali pun momen di bulan lahirku untuk memberikan sebuah kejutan kecil, sekarang enggak ada, Ma, Pa? Pantas gak sih, Ica kehilangan sosok tersebut, setelah Ica menyakitinya karena enggak bisa menerima cintanya? Ya, Ica menyimpulkan dia enggak beri Ica kejutan lagi, karena dia tahunya aku mau menikah dengan Satria.”
“Jadi ceritanya ini, kamu sedih karena ditinggalin Satria menikah, atau sedih karena enggak ada Devan? Karena, Devan gak ngasih kejutan kamu untuk yang pertama kalinya?” tanya Mama.
“Lebih ke kehilangan sosok Dev, Ma. Ica gak tahu kenapa, sejak awal Ica balik ke Jakarta, Ica benar-benar kesepian enggak ada Dev, ya meski ada Kak Satria. Dev kali ini aneh, Ma. Dulu waktu aku sama Arkan, dia gak ngejauh banget, meski tahu aku sangat mencintai Arkan saat itu, aku jalan dengan Arkan, aku tunangan dengan Arkan, dan aku mau menikah sama Arkan, dia masih tetap care sama aku, dia masih beri aku kejutan kecil di ulang tahunku, meski hanya tiup lilin di atas donat kecil. Sekarang? Setelah aku di Jakarta hampir satu tahun, dia hanya sekali menghubungiku, Ma, Pa? Itu pun saat aku enggak sengaja mau cari kontak Dev, dia kelihatan sedang mau mengetik pesan ke aku, dan aku langsung tanyain dia, intinya aku yang mulai tanya dulu,” jelasku.
“Kamu kenal Dev saat kamu masih SMP, wajar sih kalau kamu kehilangan sosok Devan yang dari dulu banget selalu ada untuk kamu. Mama pun sama, mama seperti kehilangan sosok anak laki-laki mama,” ucap Mama.
“Nanti papa tanyakan sama Andre, bagaimana kabar Devan, papa juga kangen dia, sekarang dia itu seperti ingin melupakan kamu, tapi dengan cara dia menyibukkan diri dengan sesuatu yang positif. Ya, papa tahu bagaimana perasaan Dev, papa laki-laki, papa paham dengan apa yang Dev rasakan. Sakit, itu yang Dev rasakan, saat kamu terus menolak dia, padahal dia baik lho? Ya memang dulu dia itu sikapnya arogan sekali, tapi papa lihat sejak ada Keenan sepupunya yang sekarang di asuh mama dan papanya Devan, dia semakin hari semakin berubah. Kata Andre sih dia lebih sayang dan perhatian lagi sama Andre dan Anita, setelah om dan tantenya meninggal, dan Keenan jadi sebatangkara,” jelas papa.
“Salah gak sih, Pa, Ma? Ica punya perasaan seperti ini sama Dev? Rasanya Ica itu aneh, kek kehilangan, ngrasa bersalah, dan Ica ngerasa sepi banget enggak ada dia. Tapi, ini bukan cinta lho ya? Sama sekali enggak, tapi Ica ngerasa kehilangan sosok penyemangat Ica, Pa, Ma. Setelah Ica memutuskan memilih Satria. Dan, ternyata lagi-lagi Ica milih orang yang salah?” ucapku.
“Ya gak salah kamu ngrasa seperti itu, mama pun sama. Dev selalu menjauh, dan mama kangen, karena dia itu nurut banget anaknya, mau kalau mama ajak ke mana-mana. Nemenin mama belanja, bahkan dia gak risih antar mama ke salon,” ucap Mama.
“Udah ah, Ica jadi gak enak hati, sedih, melow, kalau lagi bahas dan ingat Dev. Ica jahat gak sih sama Dev, Ma, Pa?”
“Ya gak, karena kamu kan juga berhak memilih, menentukan mana yang terbaik dalam hidupmu, Sayang?” jawab papa.
“Kamu gak salah, sama sekali gak salah. Nanti mama juga akan coba menghubungi Anita, kali saja tahu kabar Dev? Atau mau enggak mama jodohkan kamu sama Devan?”
“Ma ... apaan sih? Kok main jodoh-jodohan gitu? Janganlah, Ma? Nanti dulu, Ma, Ica belum mau serius, kasih ruang Ica untuk menikmati waktu yang Ica buang karena Satria. Ica Cuma pengin ketemu Dev saja sih, Ma? Pengin tahu kabar dia, jangan bilang jodoh-jodohin lagi ah! Dev juga belum tentu masih sendiri? Mungkin dia udah bisa move on dan punya pacar? Atau bagaimana lah! Pokoknya jangan jodoh-jodohin ya, Ma?”
“Yang papa tahu, dia hanya suka dan cinta pada satu wanita, yaitu kamu,” ucap Papa.
“Itu sih Ica tahu dari dulu, Pa?”
“Ya kalau kamu tahu, ngapain kamo nolak kalau mama dan papa mau jodohin kamu sama Dev? Kalau dengan dia, papa sudah enggak ragu lagi? Papa sudah yakin kalau Dev itu hanya cinta kamu, tidak ada wanita lain selain kamu di hati Dev, sejak dia mengenal kamu,” ucap papa.
“Iya, sih, tapi ...?”
“Tapi, apa? Kamu lihat sendiri, Ziva teman kamu, yang terang-terangan bilang suka sama Dev saja ngalah, kan? Nyerah dia, karena hati Dev gak akan pernah berubah, hatinya hanya untuk kamu, cintanya hanya untuk kamu, Ca?”
“Pa, sudah jangan bahas ini, ya? Nanti malah buat Ica tambah merasa bersalah sama Dev, Pa. Sudah, ya? Ica pamit ke kantor, nanti sore Ica pulang dulu ke rumah, atau langsung dari kantor, Ma?”
“Langsung saja, mama jemput kamu di kantor. Nanti mama juga bawain baju ganti buat kamu, kamu sekalian mandi di kantor saja, nanti habis dari salon, kita berangkat langsung ke restoran, gitu kan, Pa?”
“Iya gitu, nanti papa jemput kalian di Salon.”
“Oke, nanti ica tunggu saja. Sudah, Ica ke kantor, ya?”
“Iya, hati-hati, Sayang.
Aku mengambil tas dan kunci mobil di dalam kamar. Aku melihat ponselku, ada panggilan tak terjawab dari nomor yang enggak aku kenal. Aku pikir itu Devan, tapi saat aku hubungi lagi, nomornya sudah tidak aktif. Devan atau bukan aku enggak tahu.
Demi apa aku benar-benar kangen Devan. Dia yang biasanya menemani aku saat aku ada masalah, saat aku terpuruk. Sekarang enggak ada dia lagi, dan entah di mana dia aku tidak tahu sama sekali keberadaannya setelah beberapa bulan yang lalu dia memberi kabar kalau dia di Malang. Mungkin aku tergolong wanita yang sangat bodoh, meski aku sebenarnya pintar. Ya, bodoh sekali karena sudah menyia-nyiakan orang yang sangat menicntaiku.
Berkali-kali aku menolak Devan demi aku yang mencintai sosok lain yang baru aku kenal. Dari Arkan, hingga Satria. Aku menolaknya dua kali, karena dua sosok laki-laki yang akhirnya menorehkan luka di hatiku. Semua ini sudah rencana Tuhan mungkin? Atau ini adalah karmaku karena menolak Dev berkali-kali sejak dari aku SMP.
Aku melajukan mobilku ke kantor. Pikiranku masih saja tertuju pada Devan. Bukan pada Satria. Entah kenapa Satria sudah benar-benar hilang dari pikiranku, dari hatiku, dan mungkin hilang dari ragaku juga. Setelah dia menghilang tanpa kabar, sejak itulah aku mulai perlahan melepas Satria, hingga akhirnya hilang dengan sendirinya dari hidupku.
Ponselku berdering, aku lupa tidak membawa earphone, dan akhirnya aku memilih menepikan mobilku, melihat siapa yang menelefonku. Aku mengambil ponselku di dalam tas, dan ternyata Kak Leo yang menghubungiku. Paling dia akan membicarakan Satria. Aku menggeser tombol hijau di layar ponselku, menerima panggilan dari Kak Leo.
“Iya, Kak?”
“Bisa ketemu, Ca?”
“Di mana?”
“Kantor kamu, Ca. Kakak sama Kak Rana Otewe ke sana.”
“Oke Ica tunggu. Ica juga baru otewe ke kantor.”
“Siang sekali kamu berangkat, Ca?”
“Biasa ngobrol dulu sama mama, sama papa.”
“Oke, sampai ketemu di kantor kamu, Ca.”
Aku meletakkan ponselku lagi ke dalam tas, dan melajukan lagi mobilku ke kantor. Aku yakin Kak Leo pasti mau bicara soal Satria, siapa lagi kalau bukan dia?