Aku masih menunggu Kak Leo dan Kak Rana datang ke kantor. Katanya sudah dalam perjalanan, tapi malah aku sampai lebih dulu di kantor. Suasana kantor sudah berubah drastis. Ruangan yang semula Satria tata, aku tata ulang lagi. Pokoknya semua tentang Satria aku sudah tidak ingin mengingatnya, apa pun tentang Satria.
Melupakan Satria memang sangat mudah bagiku, kisahku dengan dia begitu singkat, kebersamaanku dengan dia pun sangat singkat sekali. Bertemu pun jarang, hanya banyak dilalui di sosial media. Pertunangan aku dan Satria pun dilaksanakan di Jepang, hanya beberapa kerabat dekat yang tahu, karena memang baik aku dan Satria ingin acara itu sederhana saja.
Berbeda saat aku melupakan Arkan. Sampai sekarang pun aku masih menyimpan rasa itu untuk Arkan. Ya, masih ada sedikit sisa cinta untuk Arkan yang harusnya Satrialah yang nantinya akan bisa menghilangkan rasa itu. Tapi, nyatanya tidak. Dia malah mengkhianati aku. Dan, mulai sekarang, di usiaku yang bertambah satu di bulan ini, aku akan melupakan semuanya. Melupakan cinta yang pernah singgah di hidupku. Baik cinta untuk Arkan atau cinta untu Satria. Semua harus aku angkut rasa itu, dan membuangnya jauh.
Mengosongkan hati dari cinta yang menyakitkan itu perlu. Meski mencintai orang tidak ada salahnya, tapi kalau cinta itu menyakitkan untuk apa? Nantinya malah aku tidak bisa mencintai diriku sendiri karena aku masih mencintai orang-orang yang menyakitiku.
Pintu ruanganku terbuka, mungkin itu Kak Leo dan Kak Rana sudah datang.
“Bu, ada Pak Leo sama Bu Rana,” ucap Tari, sekretarisku.
“Oh suruh masuk saja, Tar. Aku sudah nunggu dari tadi kok,” jawabku.
Tak lama kemudian, Kak Leo dan Kak Rana masuk setelah Tari memperisilakan mereka masuk. Entah mau bicara apa denganku, mungkin ini soal Satria.
“Silakan, Bu.” Tari mempersilakan mereka duduk.
“Minta tolong buatkan minuman untuk Kak Rana dan Kak Leo ya, Tar?” pintaku.
“Iya, Bu,” jawabnya.
Kak Rana langsung memelukku erat. Mengusap rambutku dan mencium pipiku.
“Kakak tidak menyangka Satria akan seperti itu, Ca,” ucap Kak Rana.
“Huhh ... sudah, Kak. Aku juga tidak menyangka. Seorang Satria yang kelihatannya setia, yang kelihatannya dia itu perfect, tapi nyatanya seperti ini?” jawabku.
“Kak Leo juga kaget saat dia datang ke rumah, terus meminta maaf dengan kakak, karena sudah meninggalkan kantor secara sepihak. Kakak tidak masalah soal kantor, kakak hanya tidak menyangka dia menikahi wanita yang dulu ia tolak mentah-mentah, Ca?” ucap Kak Leo.
“Memangnya kapan dia datang?” tanyaku.
“Dua hari yang lalu,” jawab Kak Leo.
“Berarti dia masih di sini?”
“Entah.”
“Kamu baik-baik saja kan, Ca?” tanya Kak Rana.
“Baik, aku sudah tidak peduli dan tidak mau memikirkan itu, Kak. Apalagi aku dan Satria kan tidak terlalu dekat sekali, jadi untuk melupakannya, aku tidak butuh waktu yang lama. Seperti saat dengan .... Ah sudah lupakan, diminum tehnya, Kak.”
“Dengan Arkan maksudnya?”
“Ya gitu, Kak. Sudah, aku pun sudah melupakan dia, apalagi dia sudah bahagia, sudah punya anak yang menggemaskan juga, kan? Siapa namanya? Zhafran kalau enggak salah,” ucapku.
“Ini kamu kok tahu? Kau masih suka buka akun sosial medianya Arkan?” tanya Kak Rana.
“Ih enggak, Kak! Aku pernah ketemu sama Zhafran di kedai soto yang dekat sama bengkel Arkan, ya saat awal aku pulang ke sini, Satria ajak aku makan di situ, eh ketemu sama Om Arsyad dan Tante Nisa, terus mereka ngajakin Zhafran,” jawabku.
“Ketemu sama siapa tadi? Om Arsyad?”
“Iya Om Arsyad, sama Tante Nisa? Kenapa, Kak?”
“Bukan abah sama bunda lagi?”
“Kak Rana ... aku sudah tidak mau memanggil beliau yang mungkin panggilan itu tidak pantas untukku. Om Arsyad memang kelihatannya juga kecewa saat aku manggilnya berubah Om. Tapi, memang ini sudah keputusanku, Kak,” jawabku.
“Iya juga sih, ya sudah apa pun panggilan kamu ke Pakdeku itu, yang penting jaga sikap saja saat ketemu dengan beliau. Bagaimana pun, dia juga masih sayang sama kamu, Ca. Sering kok Pakde tanyain kamu. Dan, Pakde juga tahu soal kamu sama Satria. Karena bagaimana pun Pakde masih merasa bersalah dengan sikap Arkan yang pada saat itu ....”
“Sudah ya, Kak? Jangan bahas itu, yang sudah ya sudah, aku sudah buang semua kekecewaanku, sedihku, dan semua hal yang menyakitiku di masa lalu, terutama hal percintaan, yang selalu gagal di tengah jalan saat tinggal selangkah lagi. Aku sudah ingin melupakan semua itu, ya untuk apa ingat itu kak?” ucapku.
“Iya, maaf kakak sudah mengingatkan itu. Oh iya, selamat ulang tahun, sorry kakak baru ngucapin, yang penting masih di bulan kelahiranmu, kan? Semoga dengan bertambahnya usia kamu, semua sedihmu usai, dan berganti dengan kebahagiaan. Cepat dapat jodoh, ya?” ucap Kak Rana.
“Makasih, Kak. Aamiin ... tapi kalau soal jodoh. Ica belum memikirkan itu, Ica tidak mau fokus dengan hati dulu, biarlah kosong untuk sementara,” ucapku.
“Yakin? Kalau Devan?” tanya Kak Leo.
“Dia gak tahu ke mana, Kak. Terakhir komunikasi ya lima atau enam bulan yang lalu, Kak,” jawabku.
“Masa enggak hubungi kamu lagi?”
“Enggak, Kak, ya aku benar-benar kehilang dia sih, biasanya dia gak pernah absen ngucapin selamat ulang tahun, terus ngasih kejutan-kejutan kecil untuk aku, dari aku SMP selalu tidak pernah absen memberi kejutan untukku, tapi sekarang sama sekali enggak. Ya, aku paham sih, aku paham dengan perasaannya. Kakak tahu sendiri, kan?”
“Iya kakak tahu, tapi kalau Devan sekarang di sini?” tanya Kak Leo.
“Enggak mungkin kayaknya sih, Kak?” jawabku. “Ya, kalau di sini aku senang, karena aku kangen dia sih,” imbuhku.
“Itu di depan pintu siapa, Ca?” Kak Rana menunjukkan siapa yang datang dan masuk ke dalam ruangan.
Aku langsung menoleh ke arah pintu. Mataku membola melihat siapa yang datang, dan seketika menyipit karena aku tidak bisa menahan tangisku. Aku tidak percaya Dev datang ke kantorku, dan aku yakin ini semua rencana Kak Leo dan Kak Rana.
“Dev? Benar kamu itu, Dev?” ucapku tidak percaya.
“Ya, siapa lagi kalau bukan Devan, Ica?” ucap Kak Rana.
“Gak percaya ini aku? Sini dong, ada temannya datang malah gitu? Ssambut kek, apa kek?” ucap Devan.
“Kamu ke mana saja sih, Dev?” Ucapku sambil beranjak dari tempat dudukku dan mendekati Devan.
“Aku sedang merangkai masa depanku, Ca. Sorry telat, aku sibuk banget soalnya. Masih di bulan kelahiranmu, kan? Meski telat? Selamat ulang tahun ya, Ca?” ucap Devan.
“Ya, makasih, Dev,” ucapku.
“Tiup dong lilinnya. Berdoa dulu, lalu tiup lilinnya,” ucap Dev.
Aku memejamkan mataku, dan aku merangkai doa dan harapanku di tahun ini. Entah kenapa aku meminta pada Tuhan, agar membuat Dev tidak menghilang lagi. Itu yang pertama aku minta. Karena, aku benar-benar kehilangan sosok yang sangat bisa membuat aku bangkit, dari keterpurakan di hidupku yang dikarekan cinta.
“Sudah, boleh aku tiup?” ucapku.
“Ya, silakan.”
Aku meniup lilin yang berada di atas kue ulang tahun yang mungil. Bahagia. Mungkin ini yang aku rasakan sekarang. Aku bisa bertemu lagi dengan Devan, dan dia tidak lupa dengan hari bahagiaku, meski sudah terlambat.
“Boleh peluk?” pintaku.
“Yakin mau meluk aku di depan mereka?” tanya Dev dengan menunjuk ke arah Kak Leo dan Kak Rana.
“Kenapa maunya berduaan gitu meluknya? Ogah, ntar ada setan di antara kita,” ucapku.
“Jadi kamu anggap kita setan dong, Ca?” ucap Kak Rana.
“Enggaklah, maksudku kan mumpung ada kakak, jadi boleh minta peluknya?” ucapku.
“Ya, sini.” Devan memelukku, dan aku merasa ini adalah pelukan seorang teman yang paling nyaman. Entah kenapa pelukan Dev selalu membuat aku nyaman, apa karena aku sudah lama merindukan dia?
“Miss you, Dev.”
“Miss you too.”
“Dih, kita dijadiin obat nyamuk nih, Bund? Pulang yuk? Bunda mau ke sekolahan Alif dan Alzam, kan?” ucap Kak Leo.
“Ih jangan gitu dong, Kak. Namanya juga hampir satu tahun baru ketemu? Kan kangen, Kak?” ucapku.
“Iya kakak tahu itu, makanya kakak enggak mau ganggu kamu, Ca,” ucap Kak Leo.
“Lagian kakak mau ke sekolahannya Alif juga, Ca,” imbuh Kak Rana.
“Terus? Kalian mau pulang? Ini jelasin dulu dong? Kenapa tiba-tiba ada Devan?” tanyaku.
“Ehm ... ceritanya panjang, nanti biar Dev saja yang menjelaskan, kalian juga pasti pengin kangen-kangenan dulu, kan? Kak Leo ada urusan di kantor, dan Kak Rana juga ada urusan di Sekolahan Alif dan Alzam, jadi tanyakan saja pada Devan, kenapa dia ikut ke sini, oke?” ucap Kak Leo.
“Kalian itu curang, ya?” ucapku.
“Ya kan kita tujuannya memang ngasih kejutan buat kamu, Ca? Selain itu ya mau bicara soal tadi. Sudah kakak pamit, ya?” ucap Kak Rana dengan memelukku.
“Oke, hati-hati, salam buat Nadia,” ucapku.
“Oh iya, Ca. Nadia minta ketemu sama kamu,” ucap Kak Rana.
“Ehm ... besok aku main ke rumah kakak,” ucapku.
“Oke, kakak tunggu,” jawab Kak Rana.
“Kak Leo pamit ya, Ca? Udah sana kalian kangen-kangenan dulu. Kakak balik ya, Dev?” pamit Kak Leo.
Mereka pulang, dan tinggalah aku dengan Devan di dalam ruang kerjaku. Masih tidak menyangka ada Devan di depanku saat ini. Sudah hampir satu tahun aku tidak melihat dia, rasanya kerinduan ini sudah terobati. Ya memang aku akui, aku kangen banget sama Devan.
“Kenapa lihat aku gitu?” tanya Devan.
“Kangen ....” Aku kembali memeluk Devan, ya aku kangen sama dia, kangen candaannya, kangen perhatian kecilnya, dan aku merasa aneh saja dengan diriku, karena aku tidak mencintainya.
“Gak nyuruh aku duduk nih? Masa mau berdiri terus, Ca?” ucap Devan.
“Oh iya, silakan duduk Pak Devan?” ucapku dengan mempersilakan duduk Devan.
“Terima kasih, Bu?” jawabnya dengan terkekeh.
“Dasar! Sukanya ngilang!” tukasku.
“Aku kan bilang, aku sedang melanglang buana, mencari jati diriku. Jadi ya gini. Ini saja aku pulang karena mama dan papa yang maksa aku pulang, entah mereka mau bicarain apa, Ca? Tiba-tiba aku itu disuruh pulang,” ucap Devan.
“Lagian kamu kejam, masa ada orang tua enggak pernah dijenguk, Dev?” ucapku.
“Iya sih, aku kadang-kadang saja pulang, Cuma semalam saja di rumah, lalu pergi lagi. Kan mama dan papa juga sekarang ada Keenan yang menemani, Ca. Jadi mereka enggak kesepian,” ucap Devan.
“Tapi gak gitu juga, Dev?”
“Iya aku tahu.”
“Mau minum apa, Dev?”
“Makan siang di luar saja mau? Aku traktir kamu deh!” ucap Devan.
“Ehm ... gimana, ya?”
“Mau gak? Atau kamu takut dimarahin Kak Satria?”
“Bu—bukan itu. Iya aku mau, jangan bahas dia ya, Dev?” ucapku.
“Kenapa, ada apa dengan Kak Satria?” tanya Devan.
“Sudah nanti aku jelaskan, jadi mau traktir aku, kan?”
“Oke, nanti atau sekarang?”
“Sekarang saja, ya? Mumpung ada kesempatan waktu lama ngobrol sama kamu, paling besok kamu sudah menghilang lagi?”
“Ya gak tahu juga sih? Urusan sama papa mama juga belum kelar, entah mereka mau apa sih? Ngomong saja ditunda terus?”
“Ya sabar, Dev? Yuk berangkat sekarang,” ajakku.
“Kayaknya senang banget mau jalan sama aku?” ledek Devan.
“Sudah jangan banyak bicara!” Aku menarik tangan Devan, dan mengajaknya keluar.
Aku pamit dengan Tari. Untung saja hari ini aku free sampai sore, jadi aku bisa bebas seharian dengan Devan untuk melepas rinduku. Dan, aku rasa mumpung ada kesempatan ketemu dengan Dev, karena besok tidak mungkin lagi ketemu, pasti dia menghilang lagi.