Bab 29 - Kecewa

1856 Kata
“Pakai mobilku saja, ya?” ucap Devan. “Oke.” Aku berjalan bersisian dengan Devan, menuju ke tempat parkir. Ada sedikit bahagia bisa bertemu lagi dengan Devan. Entah aku bisa merasakan sebahagia ini, padahal dia hanya temanku, bisa dibilang sahabat, karena hanya dia yang ada di dekatku saat aku terjatuh, hingga aku menganggap seperti kakakku sendiri. Sekarang, dia pulang, tapi sepertinya dia belum tahu aku ada masalah dengan Satria, dan aku sudah selesai dengan Satria. “Silakan masuk, Tuan Putri ....” Devan membukakan pintu mobilnya. Aku terkikik geli, dia seperti itu. “Terima kasih, Tuan Dev.” Aku berkata dengan terkekeh, apalagi melihat ekspresi Dev saat tersenyum. “Mau ke mana dulu, Nih?” tanya Dev. “Terserah kamu, Dev. Belum jam makan siang, kan? Kita cari tempat yang enak untuk ngobrol saja atau gimana? Terserah kamu sih?” ucapku. “Mau ke pantai?” tawar Dev. “Boleh.” “Oke, kita ke sana.” Devan menghidupkan mesin mobilnya, dan langsung melajukan ke pantai. Mungkin ini saatnya aku menceritakan semua dengan Dev. Apalagi yang harus aku tutupi lagi? Semua sudah selesai, tidak mungkin juga aku membiarkan Devan yang tahunya aku masih dengan Satria. “Bagaimana dengan Satria? Kamu sudah pamit dia kalau mau pergi sama aku, kan?” tanya Devan. “Untuk apa pamit, Dev?” jawabku. “Eh kok jawabnya gitu? Ntar salah paham lagi, dia itu kek anak kecil tau, umur udah tua, tapi kalau aku dekat sama kamu, dia itu marahnya seperti itu,” ucap Dev. “Memang pernah dia marah sama kamu? Marahnya seperti apa?” tanyaku. “Ya seperti enggak percaya aku hanya sebatas teman kamu. Memang aku suka, aku cinta sama kamu, tapi aku kan sadar kamu milik dia, kamu tunangan dia, lagian aku sama kamu ya gini-gini aja kalau ketemu? Tapi, dia marahnya berlebihan,” jawab Dev. “Sekarang sudah gak ada yang marah lagi, pamit atau tidak pamit dengan Satria. Tenang saja, gak ada yang marahin kamu, Dev,” ucapku. “Why? Ada apa sih kamu? Kok bilangnnya seperti itu?” “Udah selesai, Dev,” jawabku singkat. “Selesai? Maksud kamu?” tanya Devan. “Lihat jari manisku, apa masih ada cincin tersemat di situ?” ucapku. “Ini maksud kamu gimana?” “Aku sudah selesai dengan Satria, Dev,” jawabku. “Selsai gimana? Udah putus gitu?” Aku hanya menganggukkan kepalaku saja. Aku memang harus cerita dengan Dev. Aku tidak mau menutupi semuanya dari Devan. Temanku sekarang hanya Devan, tidak ada lagi. Lantas apa aku harus menutupi ini dari Devan? Toh aku selalu nunggu dia untuk aku mencurahkan semua rasa sakit ini. Mungkin aku adalah sosok yang jahat untuk dia, karena aku selalu merepotkan dia, aku selalu menjadikan dia tempat untuk meleburkan rasa sakitku karena laki-laki lain yang aku pilih. Sedang dia, masih menerima aku yang tersakiti ini, dan memperbaiki hatiku lagi, meski aku tidak pernah menerima hatinya, aku selalu menghiraukan cintanya. Tapi, dia selalu setia denganku, menemani aku yang terpuruk karena laki-laki lain. “Ca, jawab dong? Jangan diam? Kamu benar sudah putus dengan Satria?” tanya Devan lagi. “Iya, Dev. Dia menikahi perempuan lain, mantan tunangannya, dan katanya sih sudah hamil duluan. Tiga bulan setelah melamarku, dia berkhianat, dia bersama wanita lain di Bandung, ya sampai seperti itu. Aku salah gak sih, Dev? Kalau aku nolak berhubungan badan meski udah jadi tunangan dia?” ucapku. “Maksud kamu, Satria ngajakin kamu gituan?” tanya Devan. “Iya, dan aku selalu menolak. Aku belum menikah, Dev, mana mungkin aku mau seperti itu. Aku tahu dia dewasa, tapi harusnya dia menghormati aku dong, Dev? Aku saja susah buat menerima cintanya, gimana bisa aku melakukannya? Jangankan tidak pakai cinta, pakai cinta pun aku tidak mau?” jawabku. “Jadi, dia selalu minta seperti itu, terus dia melampiaskannya dengan perempuan itu?” “Iya mungkin sih, Dev? Atau mungkin dia itu udah berkali-kali sama dia, terus pas di sini itu kepengin dan ngajakin aku, ujungnya dia diam, lalu paginya pamit ke Bandung. Dan, aku baru sadar kemarin, ternyata di Bandung ada yang bisa memuaskan dia. Tapi, sudahlah, semua sudah selesai, aku tidak mau mengorek luka di hatiku lagi yang sudah cukup mengering,” ucapku. “Oke, kita lanjutkan ceritanya nanti. Biar enak sambil minum kelapa muda, sama nyemil apa gitu,” ucap Dev. “Oke.” Mobil Dev memasuki area pantai, Dev memarkirkan mobilnya, dan mengajak aku turun, lalu memilih duduk di bangku. Dev memesan dua kelapa muda, dan cemilan. Kami duduk saling menghadap. “Sejak kapan kamu tahu Satria seperti itu?” tanya Dev. “Tahunya setelah tiga bulan dia enggak pulang ke Jakarta. Dan, lebih mengagetkan lagi dia resign dari kantor Kak Leo hanya lewat email, dan surat resign nya di titipkan sekretarisnya Kak Leo. Lalu ....” “Lalu apa?” “Aku, papa, dan Kak Leo ke Bandung, nyari Kak Satria, karena kami merasa dia sedang tidak beres. Kami ke sana tidak bertemu dengan Satria, kami hanya bertemu dengan tukang kebun yang biasa kerja di komplek situ, katanya Satria menikah dengan wanita janda, pemilik rumah mewah itu, tapi acaranya hanya akad saja, terus gak tahu resepsinya di mana, dua hari setelah akad mereka meninggalkan rumah itu. Aku tidak menyangka Satria akan sejahat itu denganku. Kalau dia bilang aku terima kok, dia mau menikahi wanita itu dan menyudahi aku, tapi jangan menghilang seperti itu. Hingga tiga bulan setelah aku ke Bandung, artinya sudah enam bulan dia menghilang, dia baru datang, minta maaf, dengan membawa perempuan itu ke hadapan aku, papa, dan mama. Yang bikin kami marah, ibunya Satria ikut menghilang, dan ternyata sudah tahu semua itu,” jelasku. “Aku juga tidak menyangka, ternyata Satria seperti itu. Aku tahunya dia pria dewasa yang bisa mengayomi kamu, yang bisa selalu jagain kamu, tapi ternyata dia berbuat seperti itu,” ucap Devan. “Ca, boleh aku cerita? Tapi, aku takut kamu marah,” ucap Dev. “Cerita apa, Dev?” tanyaku. “A—aku, ehm ... a—aku sebenarnya sudah tahu semuanya,” ucap Devan. “Tahu apa maksud kamu, Dev?” tanyaku. “Tahu kalau Satria seperti itu,” jawab Dev dengan menatapku. “Maksud kamu? Kamu tahu Satria seperti itu, tapi kamu enggak cerita sama aku?” “Iya, Ca. Aku tahu sudah lama, sejak aku chat malam-malam dengan kamu, dan aku bilang di Malang. Itu aku di Bandung, dan rumahku bersebelahan dengan rumah perempuan itu. Aku tahu karena saat aku telefonan sama Aiko, aku lihat perempuan dan laki-laki bercinta di balkon, dan aku iseng dekati, ternyata dia Satria dan perempuan itu. Ini, kan perempuannya? Aku coba video mereka. Sorry aku baru cerita, Ca. Aku gak berani tiba-tiba langsung ceritain sama kamu, gak tahu aku tidak berani nunjukin semua ini sama kamu dan orang tua kamu. Ada rekaman pembicaraanku sama Satria juga,” jawab Devan. “Kamu tau itu, tapi kamu membiarkannya begitu saja, sampai aku menunggu kabar Satria bagaimana? Kok kamu tega sih? Dan, kamu juga punya bukti lho, Dev? Kenapa, Dev? Kenapa kamu malah menghindar?” “Ca, bukan gitu, sebentar aku cerita dulu,” ucap Dev. “Bukan gitu gimana? Ini jelas-jelas kamu sudah punya bukti, tapi kamu malah menghilang seolah gak tahu! Aku kecewa sama kamu, Dev!” ucapku kesal. Bagaimana aku tidak kesal, dan tidak marah? Dia tahu soal Satria, dia chat dengan aku, tanya kabarku, tapi ternyata dia tahu kalau hubungan aku dengan Satria tidak baik-baik saja? Tidak bisa aku bayangkan Devan setega itu, dia tahu aku sedang disakiti, tapi dia membiarkan itu, hingga aku menunggu dan mencari tahu sendiri soal Satria yang menghilang. Dan, aku tahu dari orang lain yang gak aku kenal! Dia yang tahu malah diam, dan menghilang gitu aja! Bahkan dia juga punya bukti kuat perselingkuhan Satria yang tadi dia tunjukkan padaku! “Ca, oke aku salah. Aku minta maaf. Aku melakukan ini karena aku tidak mau kamu menuduh aku yang enggak-enggak. Menuduh aku terlalu ikut campur dengan masalah kamu, atau bagaimana gitu? Aku hanya menghindari dari apa yang terjadi dulu antara kamu dan Arkan, kalau dia membuat kamu nangis, aku memang paling depan untuk membuat Arkan babak belur, tapi ini beda. Ini perselingkuhan, dan aku enggak mau melibatkan diriku, yang nantinya aku akan jadi sesuatu yang membuat pertengkaran kamu memanjang. Aku Cuma menghindari itu saja, biar kamu selsaikan sendiri, dan aku cukup tahu ini,” jelas Devan. “Kenapa kamu tega banget sih? Kamu tahu Satria berulah, dan kamu malah diam lalu menghilang? Sampai aku tahu dari orang yang enggak aku kenal sama sekali! Ini yang namanya teman, Dev? Ini yang namanya sahabat yang katanya akan selalu ada? Kamu ngilang, sedang kamu tahu apa yang sedang aku alami, karena kamu tahu soal Satria! Aku gak nyangka kamu setega itu sama aku. Apa salahnya kamu bilang sih, Dev? Kamu cerita semuanya sama aku?! Susah? Menemui aku susah gitu?” “Kan aku sudah jelaskan tadi, aku tidak mau menambah masalah, dengan datangnya aku, membawa semua bukti ini. Aku tidak mau ada kesalahpahaman yang lain lagi, Ca. Jadi aku biarkan kamu tahu sendiri, atau cari tahu sendiri,” ucap Devan. “Aku kecewa sama kamu, Dev! Jahat tau! Kamu sudah tahu aku bagaimana, kamu sudah tahu Satria berulah, tapi kamu diam, sedang aku, mama, dan papa kebingungan soal menghilangnya Satria berbulan-bulan. Dan, kamu yang tahu, tapi kamu diam, menghilang, seolah kamu enggak tahu tentang itu! Jahat kamu!” Aku pergi meninggalkan Devan. Ya, Aku benar-benar marah dengan Devan. Aku kecewa dengan dia. Aku tidak tahu, kenapa Devan seperti itu. Bukannya dia memberitahu aku soal Satria, tapi dia malah ikutan menghilang seakan dia tidak tahu dan menutupi semua dari aku. “Ca ... Ca ... tunggu dong, kamu mau ke mana? Hei, aku minta maaf.” Langkahku terhenti, karena Devan mecekal tanganku. “Lepaskan, aku mau pulang, aku kecewa sama kamu! Jangan temui aku lagi!” ucapku dengan menepiskan tangan Devan, tapi dia kembali memegang tanganku dengan kuat. “Oke, iya aku salah. Jangan gini dong, Ca! Aku minta maaf, aku minta maaf sedalam-dalamnya soal ini. Aku enggak bermaksud menyembunyikan masalah ini atau gimana, Ca? Aku hanya enggak mau ada salah paham lagi, kalau aku nunjukin semua itu, dan nantinya akan memperlarut masalah kamu dan Satria. Aku hanya takut, Satria berkilah saat aku menunjukkan semua ini pada kamu dan orang tuamua, yang nantinya akan memperpanjang masalah kamu, dan memperkeruh masalah kamu dan Satria. Oke, kamu boleh marah sama aku, kecewa sama aku, tapi jangan gini dong, jangan langsung pergi.” Devan meminta maaf padaku. Memang benar jika Dev langsung menunjukkan semua itu, keadaannya pasti tidak seperti ini. Keadaannya pasti berbeda, bisa jadi Satria malah bersilat lidah, dan malah menuduh Dev yang enggak-enggak karena terlalu ikut campur dengan hubunganku dan Satria. Tapi, tetap saja aku marah dengan dia, kecewa dengan Devan, kenapa dia malah ikutan menghilang? “Aku mau pulang, Dev.” “Oke, aku antar, kamu pergi sama aku, pulang harus sama aku. Mau aku antar kamu ke kantor apa ke rumah?” “Kantor.” Jawabku dengan singkat. Aku hanya diam di dalam mobil. Devan pun diam. Dia tahu apa yang sedang aku rasakan sekarang, jadi dia pun memilih diam. Ya, dia tahu aku sangat kecewa padanya saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN