Bab 30 - Makan Malam

2291 Kata
Devan tahu kalau Ica akan seperti ini, tapi bagaimana pun dia harus jujur soal apa yang dia lihat. Devan tidak peduli Ica akan marah dengan dirinya karena baru cerita soal Satria. Namun, Devan yakin kalau Ica hanya emosi sesaat saja. Dia tahu Ica. Ica gak pernah bisa marah lama dengan dirinya. “Mau aku antar ke dalam?” tawar Devan. “Gak usah, aku tahu kok jalan menuju ke ruangan kerjaku, gak akan tersesat, tenang saja. Makasih ya? Untuk kebohongan kamu selama ini,” ucap Ica. “Ca, aku minta maaf. Ini untuk kamu.” Devan memberikan kotak kecil untuk Ica sebelum Ica turun dari mobilnya. “Thanks, kamu hati-hati pulangnya,” ucap Ica. “Oke, ya sudah aku langsung balik, ya? Lagian besok juga aku harus ke luar kota. Aku pamit sekalian, ya?” “Hmmm ... take care.” “Oke, jaga diri baik-baik, ya? Jangan sedih terus, sekali lagi aku minta maaf.” “Iya. Aku turun, ya?” “Oke, mau aku bukakan pintu?” “Gak usah, Dev.” “Ya sudah, selamat bekerja.” “Hmm ... bye ....” Ica keluar dari mobil Devan, tapi dia menahan pintu mobilnya. Ica menoleh ke arah Devan yang masih melihat dirinya yang akan turun dari mobilnya. “Kenapa, Ca? Ada yang ketinggalan?” tanya Devan. “Eng—enggak, kok. Ya udah aku turun, ya? jawab Ica dengan gugup. “Ya udah turun.” “Iya, ini mau turun.” “Yakin gak mau meluk aku dulu? Aku besok ke luar kota lho? Iya, aku tahu kamu marah, tapi kamu gak akan bisa lama marah sama akunya. Aku tahu kamu, Ca.” “Devan ....” Ica mengurungkan niatnya untuk keluar dari mobil Devan, dia memeluk erat Devan. “Iya aku marah sama kamu, tapi apa gunanya aku marah, toh itu sudah kejadian, dan sekarang aku sudah tahu sendiri bagaimana Satria, tanpa kamu menjelaskan bagaimana sebelum aku tahu soal semua pengkhianatan Satria. Aku kecewa karena kamu enggak bilang sama aku, kamu malah menghilang dan menghindari aku.” Devan hanya tersenyum mendengarkan Ica bicara karena kesal dengan dirinya, sambil mengusap kepala Ica yang ada di dadanya. “Aku diam ‘kan karena aku gak mau ikut campur masalah ini. Coba kalau aku ikut-ikutan, urusannya bakal panjang, dan gak seperti ini, Ca? Aku saja enggak tahu Satria sampai selama itu kabur begitu saja dan menikahi wanita itu. Yang aku tahu setelah itu ya sudah dia akan ngomong baik-baik sama kamu, terus bilang masalah perempuan itu secara baik-baik. Demi Allah aku gak tahu itu, karena seminggu setelah kejadian itu, rumah itu memang sepi. Ya aku udah ngebiarin gitu saja, karena aku pikir dia akan langsung bicara baik-baik dengan kamu dan orang tua kamu. Tenyata aku salah, dia malah menghilang selama itu, Tante Leli pun ikut menghilang, dan bicara dengan kamu setelah sudah beberapa bulan menikahi wanita itu,” jelas Devan. “Aku juga gak ngerti Satria akan seperti itu. Aku kira dia orang yang dewasa, dia akan nyelesein apa yang terjadi dengan cara bijak. Tapi, nyatanya malah dia itu seorang pengecut, pengkhianat, dan entah sebutan apalagi yang pantas untuk seorang yang seperti Satria,” ucap Ica. “Sekarang, kamu jangan marah lagi, ya? Masa aku pulang sebentar malah didemin kamu, kan gak enak?” Ucap Devan dengan posisi yang sama sekali belum berubah. Masih memeluk Ica, dan mengusap kepalanya. “Jadi besok kamu beneran mau ke luar kota? Enggak pura-pura gitu supaya aku nahan kamu jangan pergi?” Ica mengurai pelukannya dan menatap wajah Devan dengan kesal. “Memang kamu ngiranya aku bohongan gitu? Aku memang ada acara di luar kota, Ca. Aku pulang karena mama dan papa yang ingin. Gak tahu sih mereka ingin bilang apa sama aku, tapi katanya entar malam saja, setelah selesai makan malam bicaranya. Aku itu baru sampai tadi jam tujuh pagi, belum sampai rumah lho aku, aku sempetin dulu ke kantor kamu. Mama sama papa ya tahunya aku sampainya nanti sore atau malam,” jelas Devan. “Memang kamu mau ke mana lagi sih, Dev?” “Lusa ada acara peresmian cafe dan restoranku di Bali. Jadi besok sore aku berangkat ke sana. Kamu mau ikut?” “Dev, itu bukan luar kota lagi, itu mah udah luar pulau, luar provinsi, Devan? Aku kira ke Malang, Surabaya, atau mana gitu? Malah ke Bali?” ucap Ica dengan kesal. “Iya, maksud aku mau ke Pulau Bali, mau ikut enggak?” ucap Devan. “Ikut? Memang boleh?” “Ya kalau kamu mau, sekalian refreshing gitu? Kamu sepertinya butuh holiday. Itu sih kalau kamu mau, Ca. Kalau enggak mau ya sudah.” “Aku pamit dulu sama mama sama papa. Kalau mereka ngebolehin, aku ikut kamu.” “Yakin, udah gak marah sama aku?” “Aku gak bisa lama-lama marah sama kamu.” “Apa aku bilang, paling kamu gak bisa marah lama sama aku. Sudah sana, kamu kerja dulu, nanti pulangnya pamit sama mama papa kamu, boleh gak kamu ikut aku ke Bali.” “Oke, nanti aku pamit. Kalau dibolehin, nanti besok jam makan siang antar aku ke rumah Kak Rana, ya? Aku sudah janji mau ketemu Nadia.” “Iya, besok aku antar kamu, aku juga kangen sama Nadia, lama sekali aku tidak lihat dia.” “Ya sudah, aku lanjut kerja dulu.” “Oke, aku pamit, ya? Jangan sedih terus, Ica itu harus selalu tersenyum kalau sama Devan. Aku gak akan pergi lagi kok, aku mau nemanin kamu, ya meski aku sekarang harus sering ke luar kota, tapi aku enggak akan ngilang lagi kok.” “Janji?” “Iya, janji. Sudah sana kerja, ini sudah jam kerja lagi, jangan mentang-mentang jadi bos, kamu seenaknya saja.” “Oke.” Ica turun dari mobil Devan, dan melambaikan tangannya pada Devan. Ica sadar, Devan diam meski dia tahu bagaimana Satria karena Devan tidak mau ikut campur soal hubungannya dengan Satria. Ada benarnya juga Ica tidak tahu dari Devan, yang mungkin nantinya akan membuat masalahnya semakin memanjang dan memanas. Bisa jadi kalau Devan ikut campur, Satria malah menuduh dirinya dengan Devan ada apa-apa, dan Satria tidak mau mengakui kesalahannya. “Kadang Devan ada benarnya juga. Aku rasa pemikiran dia semakin dewasa. Aku juga merasa dia seperti obat penenangku saat ini. Aku harus bisa melupakan Satria, aku harus bisa menata hati ini kembali, meski aku belum mau menjalin hubungan serius dengan laki-laki. Benar kata Devan, aku butuh refreshing, aku butuh holiday, untuk menenangkan pikiranku sejenak,” gumam Ica. ^^^ Malam harinya, Ica menepati janjinya untuk ikut makan malam dengan mama dan papanya. Entah siapa teman lamanya orang tua Ica, yang malam ini mau makan malam bersama. Ica hampir melupakan kado dari Devan. Dia memang belum sempat membukanya, karena dia harus menyelesaikan pekerjaannya karena besok niatnya mau ikut Devan ke Bali. Meski belum mendapat izin dari kedua orang tuanya, dan orang tua Ica juga belum tahu kalau Devan itu pulang, tapi Ica yakin mama dan papanya akan mengizinkan dia ikut Devan ke Bali. Padahal dari tadi Ica sudah bersama mamanya di salon yang sering mereka kunjungi, tapi Ica masih belum cerita dengan mamanya, sampai selsesai urusannya di salon, dan papanya Ica menjemputnya. Di dalam mobil, Ica membuka pita yang yang ada di kotak kecil, hadiah dari Devan. Ica tersenyum melihat hadiah dari Devan. Selalu saja Devan tahu apa selera Ica, dan tahu sekali kalau Ica sedang mengincar jam tangan keluaran terbaru, tapi dia belum sempat membelinya karena belum ada waktu yang tepat untuk belanja barang yang ia inginkan. “Tahu saja dia aku sedang cari jam tangan seperti ini.” Gumam Ica dengan melingkarkan jam tangan itu di tangannya. Anjani melirik anaknya yang sedang memakai jam tangan barunya sambil senyum-senyum sendiri. “Dapat hadiah dari siapa, Ca?” tanya Bu Anjani. “Ehm ... coba tebak dari siapa?” jawab Ica dengan tersenyum bahagia. “Kamu dapat kado, Ca?” tanya Pak Akbar. “Iya, ini dapat kado, jam tangan yang selama ini Ica inginkan, tapi Ica belum sempat membelinya, dan ternyata malah dikasih sama dia?” jawab Ica. “Dia siapa?” tanya Pak Akbar dan Bu Anjani. “Mama sama papa pasti tahu orangnya,” jawab Ica. “Bagaimana mama tahu, kalau kamu enggak ngasih tahu?” ucap Bu Anjani. “Iya, dari siapa itu?” tanya Pak Akbar. “Devan,” jawab Ica dengan senyum yang sumringah. “Devan? Kapan kamu ketemu dia?” tanya Pak Akbar. “Tadi pagi, Pa. Di Kantor. Terus keluar sama dia, tadinya mau makan siang, tapi enggak jadi, karena Ica keburu marah sama dia, tapi udah baikan lagi, sih?” jawab Ica. “Marah kenapa memangnya?” tanya Bu Anjani. “Devan ternyata sudah tahu lebih dulu soal Satria yang selingkuh, Ma, Pa. Bahkan Devan punya bukti perselingkuhan mereka, tapi dia malah diam, menghindar, dan menghilang gitu saja. Dia bilang, dia nggak mau ikut campur soal masalahku dengan Satria, takutnya malah jadi memanjang dan memanas masalahnya. Tapi, ya sudah, aku memang kecewa, tapi untuk apa kecewa? Toh pada kenyataanya Satria memang salah, dan aku sama Satria sudah selesai, kan? Dengan atau tidaknya Devan ngasih tahu, dah menunjukkan bukti perselingkuhan Satria,” jelas Ica. “Iya sih, benar Devan, lebih baik dia tidak ikut campur, apalagi kamu tahu sendiri, Devan kan suka dan mencintai kamu, kalau dia ikut campur yang ada malah nambahin masalah,” ucap Pak Akbar. “Ya sudah, yang sudah ya sudahlah. Lagian mama juga sudah lega, melihat kamu bisa cepat pulih, dan bisa kembali tersenyum bahagia seperti ini,” ucap Bu Anjani. “Ma, Pa, boleh enggak besok sore aku ikut Devan ke Bali. Ya sekalian aku liburan sih, Devan ada acara peresmian cafe dan restorannya di sana. Boleh, gak?” pamit Ica. “Ehm ... boleh, kamu juga sepertinya butuh liburan, butuh menenangkan pikiran kamu, dan papa yakin Devan bisa jagain kamu di sana. Iya, papa ngizinin kamu,” jawab Pak Akbar tanpa pikir panjang. Pak Akbar memang hanya percaya pada Devan yang bisa menjaga Ica. Tapi, beliau tidak mau memaksa Ica untuk memilih Devan, saat Ica dilema mana yang harus dia pilih, Devan atau Satria. “Mama juga izinin kamu, tapi kamu harus ingat, harus bisa jaga diri kamu baik-baik selama di sana,” ucap Bu Anjani. “Oke, terima kasih, Ma, Pa.” Ica memeluk mamanya. Akhirnya dia mendapat izin dari kedua orang tuanya untuk ikut Devan ke Bali. Mereka sudah sampai di Restoran. Pak Akbar langsung mengajak masuk istri dan anaknnya. Pak Akbar memang sudah jauh-jauh hari memesan private room untuk makan malam dengan teman lamanya. “Ini di sini, Pa?” “Iya.” Jawab Pak Akbar dengan singkat. “Kayaknya privat banget ya, Pa?” ucap Ica. “Ya namanya juga acara yang sedikit formal sih,” ucap Bu Anjani. “Maksud mama? Ini gak ada drama perjodohan, kan?” selidik Ica. “Enggak ada. Ayo duduk, sambil nunggu teman papa dan mama.” Pak Akbar mempersilakan Istri dan anaknya duduk, sambil menunggu temannya datang. Pramusaji langsung menyiapkan minuman dan menu makanan yang mungkin sudah jauh-jauh hari papanya Ica pesan. Tak lama kemudian, tamu yang ditunggu papanya Ica datang, bersama anak dan istrinya. “Sorry kita terlambat, kalian sudah menunggu lama?” tanya seseorang yang Ica kenal dengan suaranya. Ica langsung menoleh ke sumber suara. “Devan?” “Ica?” “Ini kok?” Ica dan Devan tidak menyangka papa dan mamanya merencanakan makan malam yang Devan dan Ica sendiri tidak tahu akan ada acara seperti ini. “Sudah ayo duduk dulu,” ucap Pak Akbar. “Papa, mama, om, tante, ini kenapa sih kalian?” tanya Devan. “Iya, papa sama mama aneh, bilang saja mau makan malam sama Om Andre dan Tante Nita. Bilangnya teman lama, aku kira teman lama siapa?” ucap Ica. “Ya, kan kejutan buat kalian?” ucap Andre. “Jadi papa sama mama suruh Devan pulang, Cuma buat acara makan malam ini? Yang katanya penting sekali? Tapi, it’s oke ... Devan suka dengan surprize dari kalian,” ucap Devan. “Dan, satu lagi yang kalian harus tahu,” ucap Andre sambil melirik Akbar, Anjani, dan istrinya. “Apa itu?” tanya Ica dan Devan. “Bagaimana, Bar, kita bicara sekarang atau makan dulu?” tanya Andre. “Ya, sekarang bisa, habis makan juga bisa?” jawab Pak Akbar. “Habis makan saja, ya? Aku sudah tidak tahan melihat menu makanannya soalnya. Maklum dari siang belum makan,” ucap Andre. “Sama, Om. Ica juga belum makan siang, mau makan siang ada yang buat Ica kesal, jadi udah gak mood mau makan,” ucap Ica sambil melirik Devan. “Siapa yang bikin kamu kesal?” tanya Andre. “Siapa lagi kalau bukan anaknya om?” jawab Ica. “Ca, udah dong? Katanya udah gak marah, udah maafin aku?” ucap Devan. “Udah sih, tapi kamu bikin aku kelaparan!” tukas Ica. “Ya salah sendiri, diajak makan enggak mau, malah ngambek,” jawab Devan. “Sudah, kalian jangan ribut, kita makan dulu, masih banyak yang harus kita bicarakan setelah ini,” ucap Pak Akbar. Mereka menikmati makan malam bersama. Ica masih bertanya-tanya soal apa yang akan papanya dan papanya Devan bicarakan. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa mereka tiba-tiba seperti itu. Devan pun sama, dia tidak mengerti kalau dia disuruh pulang hanya untuk acara makan malam dengan Ica dan kedua orang tuanya. “Jangan bilang papa dan mama mau jodohin aku sama Devan? Konyol sekali sih mereka? Sampai seperti ini?” gumam Ica. “Ini maksud mama sama papa apa sih? Jadi ini hal yang penting itu? Tapi, apa yang mau mereka bicarakan? Yang katanya sangat penting sekali? Aku kira makan malam di rumah, dan mau ngomong soal pekerjaan, malah gini? Aku penasaran, apa sih yang mau papa dan Om Akbar bicarakan? Sepertinya serius sekali?” gumam Devan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN