“Oke, mulai ke pembicaraan inti saja bagaimana? Bagaimana, Bar?” tanya Pak Andre.
“Ya, silakan. Aku dari tadi juga sudah tidak sabar mau membicarakan ini,” jawab Pak Akbar.
Devan dan Ica saling menatap. Melihat kedua orang tua mereka dengan wajah sumringah, membuat Ica dan Devan bingung dengan kedua orang tua mereka. Entah apa yang akan mereka bicarakan.
“Ini ada apa sih? Sepertinya mama, papa, om, tante, kok sumringah banget? Kenapa?” tanya Dev.
“Iya ada apa sih?” imbuh Ica.
“Gini, Dev, kamu sama Ica sudah mengenal lama, kalian sudah berteman lama, dan selama ini papa lihat kamu sama sekali belum pernah melirik perempuan lain selain Ica. Ya, papa tahu kamu suka sama Ica, papa tahu kamu hanya mencintai Ica, mungkin. Dan, sekarang kamu, Ca. Kamu dua kali gagal dengan laki-laki pilihan kamu, sedangkan Devan yang dari dulu di hadapan kamu, selalu support kamu, ada buat kamu, kamu hanya anggap teman saja. Padahal kamu sudah tahu Devan sangat mengharapkan kamu, dan mencintaimu. Di sini, saya sebagai papanya Devan, ingin sekali kalian bersatu. Bersatu di sini dalam arti menikah. Mungkin papa terlalu ikut campur dengan urusan kalian, tapi kalian apa tidak capek gini terus? Saling merasa kehilangan, saling kangen, tapi hanya sebatas teman. Jadi papa ingin kalian menikah,” jelas Pak Andre.
“Pa, ini kok papa jadi gini?” protes Devan.
“Ya, gak papa saja yang ingin kamu menikahi Ica. Kami memang sudah membicarakan ini jauh-jauh hari, setelah papa tahu bagaimana Satria berulah. Papa gak mau lihat kalian seperti ini, dekat, saling nyaman, saling rindu kalau jauh, papa gak mau lihat kamu seperti ini terus. Enggak ada pertemanan laki-laki dan perempuan akan murni hanya sebuah pertemenan, tidak termakan oleh perasaan.” Jelas Pak Andre lagi.
“Mama juga gak mau lihat kamu sakit hati dengan laki-laki lagi, Ca. Mama yakin, hanya Devan yang baik untuk kamu,” ujar Bu Anjani.
“Tapi, kenapa enggak dibicarakan jauh-jauh hari dengan Ica sama Devan, Ma?” ucap Ica.
“Iya, kenapa kalian gak bicarain ini dari jauh-jauh hari? Papa sama mama Cuma bilang, pulang sebentar, mama papa mau bicara sesuatu yang penting. Oke, Dev memang mencintai Ica, tapi kalian apa enggak tahu perasaan Ica sekarang? Sedangkan Dev, baru tahu apa yang terjadi dengan Ica dan Satria hari ini,” ucap Devan.
“Kami tahu bagaimana keadaan perasaan Ica sekarang, tapi mau sampai kapan? Mau sampai kapan sih kalian ke mana-mana berdua tapi statusnya teman? Kalian sudah sama-sama dewasa. Ayo dong, jangan seperti ini?” ujar Bu Anita.
“Aduh, ini kenapa jadi seperti ini sih? Oke, Ica sayang sama Devan, tapi Ica hanya menganggap dia teman Ica, kakak Ica, dan Ica gak tahu apa bisa Ica mencintai Devan, kalau papa, mama, om, dan tante ingin Ica menikah dengan Devan? Pernikahan juga butuh cinta, kan?” ucap Ica.
“Papa tahu, kamu tidak mencintai Devan. Ca, hidup kadang tidak harus sejalan dengan ego kita. Kita semua ingin menikah sama orang yang kita cintai dan mencintai kita, tapi kalau hanya omong kosong? Apa kamu akan menuruti ego kamu yang itu? Sedang di depan kamu, di dekat kamu ada orang yang tulus mencintai kamu tanpa omong kosong?” tutur Pak Akbar.
“Iya sih, Pa. Ica terlalu egois untuk itu. Ica sudah banyak belajar dari kegagalan Ica yang terjadi dua kali dalam hidup Ica. Tapi, kenapa harus seperti ini? Kenapa mama sama papa tidak bicara dulu sama Ica dan Devan, Pa?” ujar Ica.
“Ini kita kan sedang bicarain hal ini, Ca?” ujar Bu Anita.
“Tapi, tante ... enggak gini dong? Masa dadakan?”
“Semua yang dadakan pasti yang terbaik. Tante ingin sekali kamu jadi menantu kami, Ca. Menikah sama Devan, ya?” pinta Bu Anita.
“Ma ... mama minta menantu kek minta apa gitu? Mama tahu dong perasaan Ica, jangan paksa Ica, Ma. Lagian Dev nyaman dengan semua ini, kok. Dev, tahu Ica gak mencintai Dev, tapi Dev yakin suatu hari nanti Ica akan membuka hati untuk Dev kok. Enggak untuk sekarang. Sudah dong, Ma, Pa, jangan seperti ini? Dev kan butuh meyakinkan Ica lagi, Ma?”
“Dev? Kamu kok gitu?” ucap Ica.
“Iya, aku akan berjuang lagi untuk mendapatkan kamu. Sekarang sudah gak ada saingan, kan? Apa salah kalau aku ingin kamu, Ca? Aku berani lho bilang seperti ini di depan mama dan papa, juga mama papa kamu? Karena, aku memang mencintai kamu, tapi aku tahu kamu tidak. Jadi izinkan aku meyakinkan kamu sekali lagi, Ca,” ucap Devan.
“Seyakin apa kamu bisa membuat aku jatuh cinta?” tanya Ica.
“Seyakin perasaanku mencintai kamu,” jawab Devan singkat.
“Jadi kelanjutannya?” tanya Bu Anita.
“Kelanjutan apanya, Ma?” tanya Devan.
“Kamu sama Ica, dong?” jawab Bu Anita.
“Beri waktu kami, Tante. Ica juga butuh bukti dari Devan dong, kalau dia benar-benar mencintai Ica?” jawab Ica.
“Kamu butuh bukti yang bagaimana lagi, Ca? Apa belum cukup bukti?” tanya Devan.
“Sudah, sudah, kalian kok malah gini? Sekarang, ini adalah permintaan Tante, kalian memang butuh ruang untuk bersama, untuk saling mengenal lebih jauh, tapi tante mau, kamu terima cincin ini ya, Ca? Tante ingin sekali dari dulu ngasih ke kamu, karena hanya kamu, wanita yang Devan cintai, tapi tante selalu kalah dengan lainnya. Jadi tante simpan cincin ini, dan tante yakin kamu pasti akan jadi menantu tante. Tante yakin itu,” ucap Bu Anita dengan penuh harap.
“Tapi, Tante? Kenapa tante seyakin itu?” ucap Ica.
“Tante yakin kok, suatu hari nanti kamu bisa menerima Devan, kamu akan jadi istri Devan. Ca, kamu dan Devan sama-sama sudah dewasa, kapan mau menikah? Kamu sudah gagal dua kali, dan Devan pun sama sekali enggak mau dengan wanita lain? Sudah dong, Sayang, buang ego kalian, lihat perasaan kami yang selalu khawatir dengan hubungan pertemanan kamu? Lagian kalau kalian punya pasangan masing-masing, kalian masih temenan seperti ini, akan menyakiti persaan pasangan kalian, terus kamu pun pasti akan meresa enggak enak kalau saling menjauh. Kalian sudah dekat dan berteman sangat lama, tante yakin kalian bisa berteman lebih lama lagi setelah menikah, membangun komitmen setelah menikah. Ini harapan kami lho, Ca. Harapan mama dan papa kamu juga,” jelas Bu Anita.
“Benar kata Tante Nita, Ca. Mama sudah tidak ingin kamu disakiti laki-laki lagi, mama sudah tidak mau lihat kamu gagal menikah lagi, mama tidak mau melihat anak semata wayang mama disakiti laki-laki lagi,” ucap Bu Anjani.
Ica hanya diam, pun Devan. Devan yang memang menginginkan Ica dari dulu, dia hanya bisa diam, tidak bisa berkata-kata lagi. Apalagi keinginannya di dukung penuh kedua orang tuanya dan kedua orang tua Ica. Tapi, melihat Ica yang bingung dengan permintaan mamanya, Devan jadi merasa kasihan pada Ica, dan merasa sangat bersalah. Dia tidak mau Ica menganggap dirinya yang memaksa orang tuanya untuk melamar Ica.
“Ma, jangan paksa Ica dong? Jangan gitu, Devan enggak mau maksa Ica, Ma. Cukup ya, Ma? Jangan seperti ini? Devan tahu mama sama papa sayang Ica, tapi mama sama papa harus tahu dong, perasaan Ica gimana? Sudah, ya? Jangan paksa ica?” Devan menarik tangan mamanya, dia mengambil kotak cincin yang dipegang mamanya, dan menutupnya.
“Devan, ini permintaan mama pada Ica. Mama yakin kok, Ica pasti bisa mencintai kamu, mama ingin Ica jadi istri kamu, Cuma Ica yang mama yakin untuk mendampingi kamu,” ucap Bu Anita.
“Iya, tapi enggak gini dong, Ma?” ucap Devan.
“Tapi, Devan?”
“Sudah ya, Ma? Jangan gini,” ucap Devan.
Devan membuka kotak cincinnya kembali. Tersenyum melihat cincin yang masih tersemat di dalam kotak merah yang berbentuk hati. Ica melihat Devan yang sedang tersenyum mengamati cincin itu. Ada rasa sakit di hati Ica, karena dia mengecewakan kedua orang tua Devan yang sudah berharap penuh dengan dirinya. Sakit melihat Devan yang tersenyum, tapi senyumnya menyiratkan kesedihan mendalam dari hatinya.
“Apa aku bisa menerima Devan? Apa aku bisa mencintai Devan? Ada yang bilang kalau sudah nyaman dengan seseorang, itu berarti kita sudah bisa mencintai orang itu. Apa iya perasaan ini bukan hanya sekadar perasaan nyaman saja, tapi perasaan cinta pada Devan?” gumam Ica.
Ica masih menatap Devan yang juga masih melihat cincin yang ada di dalam kotak merah itu. Tidak sengaja tatapan mereka bertemu, Devan tersenyum ke arah Ica yang sedang menatapnya.
“Lihat, Ca. Cincinnya bagus, ya? Cantik sekali cincinnya, apalagi kalau cincin ini tersemat di jari manis kamu. Pasti sangat cantik sekali. Tapi, itu sepertinnya tidak mungkin untuk sekarang, tapi lain waktu mungkin bisa,” ucap Devan sambil menunjukkan cincin itu pada Ica.
“Ehm ... iya, cincinnya cantik, Dev,” jawab Ica gugup.
Baru pertaman kalinya Ica gugup di depan Devan. Jantungnya berdegub kencang, tidak seperti biasanya saat bersama dengan Devan.
“Ma, dapat dari mana cincin ini?” tanya Devan.
“Cincin ini, mama dapat dari Almarhumah eyang kamu,” jawab Bu Anita.
“Oh gitu? Cantik banget cincinnya,” ucap Devan.
“Cincin itu sangat bersejarah lho, Dev. Tanya saja sama mamamu,” ucap Pak Andre.
“Benar seperti itu, Ma?” tanya Devan.
“Jadi, sebelum papa kamu melamar mama, Bundanya papa kamu sudah ngasih ini duluan sama mama. Ya, karena mama yakin kalau mama akan jadi istri papa kamu, ya mama terima. Dan Eyang pesan sama mama sebelum eyang meninggal, kalau cincin ini akan menjadi milik cucu menantu eyang kamu yang pertama. Jadi mama kasihkan sama Ica, karena mama yakin Ica yang pantas memakai cincin yang sangat berharga ini,” jelas Bu Anita.
Devan kembali melihat cincin itu dan sesekali melirik Ica yang masih terdiam, dan duduk diapit kedua orang tuanya.
“Ca,” panggil Devan.
“Iya, Dev,” jawabnya.
“Kamu serius nolak pemberian dari mama?” tanya Devan.
“Ehm ... bu—bukan seperti itu, Dev? Tapi, ini kan?”
“Ini kenapa? Yakin kamu menolak? Gini, Ca, boleh aku bilang sesuatu sama kamu?”
“Iya, Dev, silakan.”
“Kita udah kenal lama, dan kamu udah tahu perasaan aku ke kamu. Benar sih kata mereka, kalau nanti aku sampai memiliki kekasih, kamu pun sama akan memiliki kekasih lagi, kita bakal jauh, Ca. Gak mungkin kita akan ketemu lagi tiap hari, bercanda lagi, apa kamu sudah siap itu? Kalau aku sendiri aku enggak siap, Ca,” ucap Devan.
“Ya, a—aku gak tahu, Dev. A—aku ... entahlah Dev,” jawab Ica gugup dan bingung.
“Kok gitu jawabnya. Sekarang aku mau kamu jawab jujur, kemarin aku menghilang hampir satu tahun, bagaimana perasaan kamu?” tanya Devan.
“Ya, kehilangan sih,” jawabnya.
“Mau gitu lagi?” tanya Dev.
Ica seperti terjebak dengan pertanyaan Devan saat ini. Dia memang kehilangan Devan saat itu. Dia bahkan lebih kehilangan sosok Devan daripada sosok Satria yang sudah menjadi tunangannya.
Ica masih terdiam. Dia tidak mau lagi kehilangan Devan, tapi dia tidak bisa mencintainya. Perasaan yang sangat aneh saat ini muncul di hati Ica.
“Kenapa diam? Kalau diam berati kamu gak mau gitu lagi,” ucap Devan.
“Dev, apaan sih?” tukas Ica.
“Aku ingin kamu memakai ini, meski aku enggak tahu ke depannya gimana, apa kamu akan menjadi istriku, atau hanya sekadar singgah sebentar saja. Semua menginginkan kita bersatu, Ca. Apa kamu tidak mau mengabulkan keinginan orang tua kita?” ucap Devan.
“Dev, tapi ini terlalu cepat,” ucap Ica.
“Tidak apa-apa, lebih cepat bukankah lebih baik? Pakai cincin ini, ya?” ucap Devan.
“Tapi, Dev? Aku belum bisa mencintai kamu,” ucap Ica.
“Aku tahu, tapi aku yakin, aku bisa membuat kamu mencintaiku,” jawab Devan.
“Pakai ya, Ca?” pinta Devan sekali lagi.
Ica melihat kedua orang tuanya. Mama dan papanya memberikan isyarat untuk menerima cincin yang diberikan Devan.
“Tapi, Ma, Pa?”
“Papa yakin kamu pasti bisa, kok?” ucap Pak Akbar.
“Mama pun sama. Ayo terima lamaran Devan,” ucap Bu Anjani.
“Lamaran?” ucap Ica.
“Iya, lamaran dadakan lebih tepatnya, karena aku pun tidak tahu akan seperti ini, ya aku ikuti saja alurnya, toh aku sangat mencintai kamu, Ca. Dan, aku yakin sauatu hari nanti kamu juga akan mencintaiku,” ucap Devan.
“Pa, Ma?” Ica meminta persetujuan pada kedua orang tuanya lagi.
“Ya, ayo terima,” jawab mereka.
“Iya, Dev,” ucap Ica lirih.
“Iya apa? Mau?” tanya Devan sekali lagi.
“Iya, Devan?” jawab Ica.
Dengan perasaan yang bahagia dan senyum merekah Devan menyematkan cincin dari eyangnya ke jari manis Ica.
“Nanti aku ganti dengan cincin dari aku, Ca. Kalau kamu sudah benar-benar siap dan mencintai aku,” ucap Devan. “Terima kasih ya, Ca?” imbuhnya.
“Sama-sama, Dev,” ucap Ica dengan tersenyum malu di hadapan Devan.
“Kalau gini kan papa lega ngelepas kamu ikut Devan ke Bali,” ucap Pak Akbar.
“Ke Bali?” tanya Pak Andre.
“Iya, besok Dev mau ke Bali, Pa. Mau ada peresmian Restoran sama Cafe baru Devan di sana,” jawab Devan.
“Kenapa kamu enggak bilang? Gak mau ajak papa sama mama juga?” ucap Bu Anita.
“Oke, besok kita berenam ke Bali, bagaimana? Om sama tante enggak sibuk, kan?” ajak Devan.
“Gimana, Bar?” tanya Andre.
“Ya, boleh. Biar mereka gak macam-macam juga sih? Tapi, aku percaya Devan tidak seperti itu,” ucap Akbar.
“Boleh nih papa sama mama ikut? Gak ganggu kalian?” tanya Pak Andre.
“Ya boleh lah, ganggu apaan sih? Lagian Devan kan mau ajak Ica refreshing saja. Ica itu sedang butuh suasana baru, Pa,” ucap Devan.
“Oke, besok kami ikut. Ya, itung-itung liburan bareng, kan?” ucap Pak Andre.
“Oke, nanti Dev carikan villa untuk kita,” jawab Devan.
Bahagia, mungkin sekarang Ica merasakan kebahagiaan itu. Meski belum bisa mencintai Devan, tapi dia begitu yakin kalau Devan akan membuatnya bahagia. Tidak disangka malam ini adalah malam pertunangannya dengan Devan. Lamaran yang dadakan, dan tidak pernah Ica dan Devan sangka sebelumnya akan seperti ini.