“Ca, kita bisa bicara berdua sebentar?” tanya Devan.
“Ehm ... bisa, ke depan saja, yuk?” ajak Ica.
“Ma, Pa, Om, Tante, Dev bicara dulu sama Ica,” pamit Devan pada kedua orang tuanya dan orang tua Ica.
“Iya, silakan,” jawab mereka.
Ica berjalan mengekori Devan keluar. Devan mencari tempat untuk mengobrol dengan Ica. Sebenarnya Devan tahu, Ica tidak nyaman dengan perlakuannya tadi, yang melamar Ica secara langsung, dan mendadak seperti itu. Dia hanya tidak ingin mengecewakan kedua orang tua Ica yang wajahnya menyiratkan harapan penuh pada Devan. Devan tahu perasaan kedua orang tua Ica, apalagi Ica sampai dua kali gagal menikah, dan selalu disakiti laki-laki. Hanya dengan melihat raut wajah kedua orang tua Ica, Devan sudah paham, kalau mereka membutuhkan sosok laki-laki yang tepat untuk putri semata wayangnya.
Bukan Devan percaya diri kalau dirinya adalah laki-laki yang tepat untuk Ica. Dia yakin, kalau dirinya akan membahagiakan Ica, sampai nanti ketika Ica menjadi istrinya, dan sampai menua, sampai maut yang memisahkan dirinya dengan Ica.
“Duduk sana yuk, Ca.” Devan mengajak Ica duduk di gazebo yang ada di taman.
“Oke.”
Ica duduk bersebelahan dengan Devan. Ica tersenyum menatap cincin yang baru saja Devan sematkan di jari manisnya.
“Kenapa senyum-senyum gitu? Senang, ya? Cie, senangnya habis dilamar dadakan sama temannya sendiri?” gurau Devan untuk menghilangkan rasa canggungnya.
“Idih apaan sih, Dev! Lucu saja sih. Ini kamu serius atau gimana sih, Dev?” tanya Ica.
“Serius. Aku serius kok. Tapi, gak tahu sih sama kamunya,” jawab Devan. “Lagian kapan aku bercanda soal perasaan dan soal hal yang seperti ini, Ca?” imbuhnya.
“Ya, aku gak nyangka saja sih, orang tua kita malah lebih dulu melangkah seperti ini.”
“Aku pun sama, Ca. Aku pulang ya karena mama dan papa memaksa aku pulang hari ini. Katanya mau ngomong sama aku, habis makan malam sambil ngobrol santai katanya. Eh ... gak tahunya kayak gini?”
“Jadi kalau mama dan papa kamu enggak nyuruh kamu untuk pulang hari ini, kamu gak akan pulang dong?” tanya Ica.
“Ya, bisa jadi, aku gak pulang,” jawab Devan.
“Oh, gitu? Aku kira nih kamu pulang ingat bulan ini bulan apa, eh ternyata? Aku yang tadinya sudah seneng, sudah sangat berbangga hati kamu masih ingat pulang dan ingat aku, ternyata kamu terpaksa untuk pulang?” ucap Ica.
“Ini maksud kamu apa, Ca?”
“Masih tanya maksudnya, Dev? Ya, kalau kamu gak disuruh pulang sama Om Andre dan Tante Nita, itu artinya kamu juga gak ingat ulang tahunku, dong? Jahat banget sih?!” jawab Ica, kesal.
“Ih gitu saja ngambek? Kalau enggak ingat, ngapain aku belain ke kantor kamu dulu, gak pulang ke rumah dulu? Aku selalu ingat itu, Ca. Masa ulang tahun calon istrinya sendiri enggak tahu sih, Ca?” gurau Devan dengan terkikik melihat wajah Ica yang berubah saat dirinya menyebut calon istri.
“Kamu tadi bilang apa? Coba ulangi?” ucap Ica sambil mendekatkan telinganya ke arah Devan.
“Calon istri, Ca. Kamu kan calon istri aku?” ulang Devan dengan lirih.
“Masa sih? Sejak kapan aku jadi calon istri kamu?” ucap Ica.
“Sejak aku menyematkan cincin peninggalan eyangku di jari manis kamu. Meski enggak seformal orang melamar atau tunangan, tapi aku yakin kok, Ca. Aku yakin kamu akan jadi istriku,” ucap Devan.
“Seyakin itu? Kalau Ica belum yakin?”
“Aku akan yakinkan kamu,” jawab Devan dengan sungguh.
“Aku tahu kamu hanya gak enak saja kan sama orang tua kita? Jadi kamu seperti ini,” ucap Ica.
“Sok tahu kamu! Ya sudah nanti aku lamar kamu secara formal, layaknya orang melamar sang pujaan hatinya.”
“Kapan?” tanya Ica.
“Jadi kamu mau nih?”
“Malah balik tanya?”
“Oke, besok mungkin, atau lusa. Atau minggu depan setelah pulang dari Bali, atau saat di Bali? Pokoknya kalau kamu yakin, aku siap melamar kamu secara formal. Enggak dadakan seperti ini,” jelas Devan.
“Kek tahu bulat, ya? Digoreng dadakan?” ucap Ica dengan terkekeh.
“Ca, jawab jujur deh. Kamu mau enggak kalau aku ajak serius, serius buat nikah gitu? Ya aku tahu ini terlalu cepat, aku pun tahu kamu mesti belum siap dengan semua ini, tapi sampai kapan kita sudah sedekat ini, tapi hubungan kita enggak jelas? Benar sih kata papa, enggak ada pertemenan antara laki-laki dan perempuan yang murni berteman, pasti ada perasaan cinta entah itu dari pihak perempuan, atau laki-lakinya. Ya, seperti aku. Meski kamu anggap aku sebatas teman, tapi perasaan ini gak pernah berubah, Ca. Aku mencintaimu,” ucap Devan.
Ica hanya tersenyum, mendengarkan Devan mengungkapkan isi hatinya. Mungkin ini memang terlalu cepat untuk dirinya. Tapi, Ica merasa ada yang beda pada dirinya, ada getaran kecil di hatinya saat Devan menyatakan cintanya dan keseriusannya untuk menjalin hubungan serius.
“Ca, kok diam?”
“Dev, boleh aku jawab nanti soal yang serius itu. Aku sendiri juga tidak tahu, Dev. Aku nyaman sama kamu, bahkan aku bisa setenang ini sama kamu, tapi untuk ke tahap yang serius, aku butuh waktu. Dan, aku tahu perasaan kamu dari dulu ke aku, Dev. Aku tahu itu. Tapi, tunggu aku yakin dengan perasaanku ke kamu ya, Dev? Yang aku sendiri pun tidak tahu, ini cinta atau hanya sekadar nyaman? Katanya sih, kalau udah nyaman dengan seseorang, kita berarti sudah jatuh cinta pada orang itu? Apa benar seperti itu?” ucap Ica.
“Ya, oke gak apa-apa. Tapi, tetap pakai cincin itu, ya? Aku akan menunggu kok, Ca. Yang penting saat ini aku gak ada saingan lagi, kan?” tanya Dev.
“Kalau ada memangnya kenapa?”
“Ya, lebih baik aku mundur, karena aku tahu kamu pasti gak akan milih aku, dan kamu akan selalu anggap aku teman kamu,” jawab Devan.
“Jadi nyerah, nih?”
“Bukan nyerah, tapi lebih tepatnya aku ngertiin kamu, Ca.”
“Kalau aku milihnya kamu?”
“Yakin milih aku?”
“Yakinin dong, biar Ica bisa jatuh cinta sama Devan?” jawab Ica dengan terkekeh.
“Aku akan buktikan itu, aku jamin enggak ada satu bulan kamu sudah bisa mencintaiku!” yakin Devan.
“Masa sih?”
“Lihat saja nanti,” jawab Devan.
“Yakin banget kayaknya?”
“Yakin lah. Dah yuk ke dalam, banyak nyamuk di sini.”
“Makanya mandi, biar enggak di gigitin nyamuk!” tukas Ica.
Devan mengajak Ica masuk ke dalam restoran lagi, kali ini Ica membiarkan tangan Dev menggandeng tangannya. Meski agak sedikit risih, tapi Ica membiarkan itu.
“Tante Ica, Om Dev?” suara anak kecil terdengar memanggil mereka. Ica tahu dan kenal siapa yang memanggilnya.
Ica dan Devan menoleh ke arah sumber suara. Ica tidak salah, Nadialah yang memanggil dirinya dengan Devan. Sepertinya keluarga besar Alfarizi sedang makan malam bersama. Arkan dan Thalia pun turut serta di sana. Ica tersenyum menatap Devan, baru saja dia akan melangkahkan kakinya ke arah mereka, tapi Nadia malah berlari berhambur memeluk Ica dan Devan.
“Jangan lari gitu, Nad?” ucap Ica.
“Nadia kangen ... Tante katanya mau main? Kok gak main ke rumah Nadia? Terus Om Dev kok baru kelihatan? Om Dev jahat, gak mau main sama Nadia lagi!”
“Om kan kerja, Sayang. Ehm ... oke deh, besok Om sama Tante main ke rumah Nadia, nanti om temani kamu ke mana pun kamu mau. Nadia lagi pengin apa?” tanya Devan.
“Nadia, lagi pengin ke toko buku. Mau besok nemenin Nadia ke sana?” pinta Nadia.
“Oke, besok Om Dev sama Tante Ica jemput kamu di sekolah, mau?” tanya Devan.
“Oke,” jawabnya dengan bahagia.
Dari sekian banyaknya keponakan Arkan, hanya Nadia yang paling dekat dengan Ica dan Devan. Bahkan Ica mengenal Nadia sebelum dia dekat dengan Arkan.
“Nad, tante sudah bilang sama bunda, kalau besok siang tante mau main, apa bunda enggak bilang?” tanya Ica.
“Enggak.” Jawab Nadia dengan menggelengkan kepalanya.
“Kapan tante bilang sama bunda?” tanya Nadia.
“Tadi siang,” jawab Ica.
“Oh ya, sini Nad, om mau bisikin sesuatu sama kamu.” Devan berjongkok di depan Nadia, dan membisikkan sesuatu pada Nadia.
Nadia hanya tersenyum, dan mengacungkan jempolnya tanda dia setuju dengan apa yang Devan katakan.
“Oke, Nadia setuju!” jawabnya dengan raut wajah yang bahagia.
“Ih, kalian kok main bisik-bisikan gitu? Mulai main rahasia-rahasiaan nih, ya?” protes Ica.
“Iya, ini rahasia,” jawab Nadia.
“Ya sudah, sekarang Nadia balik lagi, tuh dah ditungguin yang lain, kan?” ucap Devan. “Ingat rahasia kita.” Devan mengingatkan kembali pada Nadia.
“Oke, siap!” jawabnya.
Nadia kembali ke mejanya. Devan dan Ica juga pamit untuk kembali ke mejanya. Namun, langkah mereka terhenti saat Arsyad memanggilnya.
“Ada apa, Om?” tanya Ica.
“Kalian berdua saja?”
“Kami sama mama papa kok,” jawab Ica.
“Mama papa kalian? Maksudnya mama papanya Dev juga?” tanya Arsyad.
“Iya, kami dari tadi kok, sudah lama. Mama sama papa sedang ngobrol sama mama papanya Devan di dalam. Di VIP room,” jawab Ica.
“Oh, kayaknya secret banget, sampai di VIP?”
“Iya, Om. Biasa orang tua kita selalu gini kalau sudah ketemu. Ya sudah kami ke sana,” ucap Devan, dengan pamit pada Arsyad.
“Oke, salam buat mama papa kalian.”
“Baik, nanti kami sampaikan. Kami permisi dulu ya, Om? Salam buat Tante Nisa dan Tante Shita,” ucap Ica.
“Iya, nanti om sampaikan,” jawab Arsyad.
Ica langsung kembali ke dalam. Arsyad sebenarnya masih ingin mengobrol dengan Ica. Sampai detik ini, dia masih sangat merasa bersalah pada Ica dan kedua orang tuanya, atas apa yang terjadi dulu. Padahal baik Ica dan kedua orang tuanya sudah tidak mempermasalahkan hal tersebut. Namun, Arsyad merasa Ica dan kedua orang tuanya menghindari dirinya. Ica tahu, ada tatapan sendu yang terlihat saat dirinya menatap mata Arsyad. Orang yang sudah Ica anggap seperti orang tuanya sendiri saat itu. Tapi, sekarang dia lebih baik menjauh daripada akan sakit lagi karena mengingat masa lalu yang sudah berhasil Ica kubur hidup-hidup. Ya, dikubur hidup-hidup, karena pada saat itu, Ica sama sekali belum bisa melupakan kejadian itu yang seakan masih terlihat jelas di depan matanya.