Bab 33 - Meluapkan Emosi

2007 Kata
Arsyad kembali duduk di tempatnya setelah menemui Ica dan Devan. Memang semua adalah kesalahan dirinya yang terlalu berharap Ica menjadi kekasih Arkan saat itu. Arsyad duduk di depan Nadia yang sedang menikmati makanannya. Dia tidak menyangka Nadia bisa sedekat itu dengan Ica, padahal dengan tantenya yang lain dia tidak begitu dekat. “Abah, kenapa?” tanya Annisa. “Ah, gak apa-apa, Bunda,” jawab Arsyad. “Leo, Ica itu sudah tunangan dengan Satria, kan? Sekarang kok dia dekat sekali dengan Devan?” tanya Arsyad pada Leo. “Abah kayak gak tahu Ica, dia kan memang dekat sekali dengan Devan, Bah?” jawab Arkan. “Iya, abah tahu, tapi meski dekat harusnya kan dia jaga jarak, kan dia tunangannya Satria?” sanggah Arsyad. “Pakde tidak tahu? Satria kan sudah menikah dengan perempuan lain? Ica sekarang sudah bukan tunangannya lagi. Sampai sekarang, Leo gak habis pikir dengan Satria, bisa-bisanya dia menyakiti Ica, dan menghamili perempuan lain? Yang bikin Leo sangat kecewa, dia resign dari kantor tiba-tiba, dan semua proyek barunya yang sedang dia kerjakan ditinggal gitu saja!” jelas Leo. “Jadi Kak Satria menikah dengan perempuan lain?” tanya Arkan. “Iya, dia menikah dengan perempuan lain, yang tak lain adalah mantan tunangannya dulu,” jawab Leo. “Mantan tunangan yang dulu ia tolak karena dijodohkan, dan gak tahu ada angin apa, kok dia bisa seperti itu sama mantan tunangannya,” imbuh Rana. Arkan berhenti mengunyah makanannya, dia tidak menyangka kalau Satria yang sangat ia percaya bisa menyayangi Ica, dan menjadi yang terbaik untuk Ica, tapi nyatanya malah mengkhianati Ica. Rasa bersalah dalam hati Arkan kembali muncul. Dia pun selama ini kadang masih merasa sangat bersalah pada Ica, karena sudah menggagalkan impian Ica saat itu. Meski yang menolak Ica untuk melanjutkan akad nikahnya dulu, tapi secara tidak langsung itu adalah kesalahan Arkan. “Nadia malah suka, Tante Ica enggak sama Om Satria. Lebih suka sama Om Devan. Mereka cocok, cantik sama tampan,” seloroh Nadia. “Hei, anak kecil tahu aja urusan orang dewasa,” ucap Leo. “Kan memang kenyataan, Ayah? Lagian mereka baik sekali, jadi Nadia suka kalau Om Dev, sama Tante Ica sama-sama,” jawab Nadia. “Kenapa Nadia suka sekali sama Tante Ica?” tanya Shita, ibu dari Rana. “Ehm ... Tante Ica itu baik ... sekali, Om Dev juga,” jawab Nadia. “Iya baik banget, Oma,” imbuh Kayla, sepupu Nadia. “Kita dulu saja sering diajak jalan-jalan, ke toko buku, habis itu makan es krim sepuasnya,” jawab Kiara, sepupu Nadia lagi. “Memang kapan kalian jalan-jalan sama mereka?” tanya Rana. “Dulu, sebelum Tante Ica ke Jepang. Sudah lama sih, waktu Tante Ica masih kuliah,” jawab Nadia. “Ya sudah, makannya dihabiskan, jangan ngobrol terus, Nad,” tutur Leo. “Oh iya, besok ayah atau bunda enggak usah jemput Nadia, ya? Besok Om Dev mau jemput Nadia, sekalian mau kasih surprize untuk Tante Ica,” ucap Nadia. “Hmmm ... iya, enggak apa-apa. Memang mau kasih surprize apaan sih, Nad?” tanya Leo. “Mana Nadia tahu?” jawabnya. “Ya sudah lanjut makannya dulu, ya?” ucap Leo. Leo dan Rana memang tidak pernah melarang Nadia dekat dengan Ica. Itu juga karena mereka sudah menganggap Ica seperti adiknya sendiri. Apalagi dulu pernah menjadi calon istri Arkan, sepupu Rana. Jadi wajar saja Rana sudah menganggap Ica seperti adiknya sendiri. Sekarang Devan pun sama-sama menggeluti bisnis kuliner, sama dengan bisnis Rana. Jadi, Rana sekarang  dekat dengan Devan juga, Leo pun seperti itu. Hanya Rana dan Leo yang masih mau dekat dengan Ica. Bahkan semua kakak-kakaknya Arkan, sekarang sudah menjauh dari Ica. Rana yang hanya sebatas sepupunya Arkan, dia yang paling support Ica saat Ica terpuruk karena Arkan. Itu sebabnya, Ica juga menjaga jarak dari keluarga Arkan, tapi tidak untuk Rana dan Leo. Karena mereka selalu support Ica, terutama Rana. Sejak Ica bertunangan dengan Arkan pun, Rana selalu memberikan nasihat pada Ica, supaya Ica bisa kuat hati ketika Arkan semakin bimbang untuk melangkah ke depan bersama Ica. ^^^ Ica tidak menyangka akan bertemu keluarga besar Arkan lagi. Bukan tidak mau menyapa mereka, tapi bagi Ica sudah cukup dia mengantongi sakit hati dari keluarga itu. Dia bisa mentolerir Rana, karena sebelum kenal dengan Arkan dia sudah kenal lebih dulu dengan Nadia dan Rana. Apalagi Rana yang selalu support dia, selalu menanyakan kabar dirinya saat dia berada di Jepang untuk menghilangkan rasa sakitnya dan melupakan Arkan. Rana dan Leo yang masih care dengan dirinya setelah dibuat terpuruk oleh Arkan. Bahkan yang dia tidak habis pikir, semua kakaknya Arkan malah seperti melupakan dirinya begitu saja, setelah kejadian itu. Tapi, Ica tidak peduli itu, toh kalau pun mereka masih baik dengan dirinya juga akan menyakiti hati wanita yang Arkan pilih untuk menjadi istrinya. Itu kenapa Ica sudah tidak mau memanggil Arsyad dengan panggilan abah, pun dengan Annisa, dia juga tidak mau memanggil bunda lagi. Kalau dia tetap memanggil abah dan bunda, pasti akan melukai hati Thalia, dan dia tidak mau kesalahpahaman muncul lagi. Lagian Ica sudah tidak mau berurusan dengan keluarga itu, kecuali Rana. Kalau dengan Rana, Ica masih bisa dekat, karena Rana sendiri pun sangat care dengan Ica. Apalagi Nadia sangat dekat dengan dirinya. Ica dari tadi memerhatikan Devan yang sedang asik mengobrol dengan papa dan mamanya, juga dengan orang tua Ica sendiri. Ica melihat Devan sekarang berbeda jauh dengan Devan yang dulu. Meski cueknya masih saja nempel pada diri Devan, tapi tetap saja, selalu memberi perhatian Ica tanpa terlalu mengumbar dan terlalu memperlihatkan perhatiannya pada Ica. Sikap Devan yang seperti itu yang sering Ica rindukan. Romantis, Devan memang jauh dari kategori pria romantis, tapi Devan selalu tahu apa yang Ica butuhkan, apa yang Ica inginkan. Sikap seperti itu yang Ica nilai sebagai keromantisan Devan pada dirinya. Devan tidak sengaja melirik ke arah Ica yang sedang memerhatikan dirinya sampai tidak sadar kalau Devan juga memerhatikannya. “Kenapa? Aku ganteng ya, Ca? Kamu lihatnya seperti itu?” Ucap Devan dengan menarik tangan Ica yang sedang menopang dagunya. “Ih apaan sih, Dev? Orang lagi lihat kamu ngobrol sama papa? Gitu ya aku dicuekin?” ucap Ica dengan kesal. “Lagian kamu kan tadi sedang bicara sama mamaku, Ca?” “Hmmm ... gitu, ya?” ucap Ica. “Kenapa tadi lihat aku seperti itu? Apa kamu sudah jatuh cinta sama aku?” ledek Devan sampai pipi Ica memerah. “Om, Tante, coba lihat pipi Ica, merah tuh pipinya, kan bener dia jatuh cinta sama Devan?” ucap Devan dengan percaya diri pada kedua orang tua Ica. “Ih, apaan sih, Dev! Kamu gak usah gitu, deh! Pa, masa merah pipinya Ica? Benar gak Om, Tante, kalau pipi Ica bersemu?” ucap Ica dengan sedikit malu dan salah tingkah. “Memang kenapa kalau merona pipinya? Tante malah senang kamu sudah jatuh cinta sama anak tante yang sangat tampan ini,” ucap Anita. “Ih, tante bisa saja,” ucap Ica dengan malu. “Kalian kan sudah tunangan, ya wajar kalau saling cinta?” ujar Pak Andre. “Tenang, Pa, nanti Ica pasti jatuh cinta sama Dev, kok?” ucap Devan lagi dengan percaya diri. “Hmmm ... secepat apa kamu bisa buat aku jatuh cinta? Coba buat aku jatuh cinta sama kamu selama tiga hari atau seminggu? Bisa gak?” tantang Ica. “Ca, jangankan tiga hari atau satu minggu, aku yakin satu hari kamu bisa kok jatuh cinta sama aku!” ucap Devan dengan semangat. “Masa sih? Coba buktikan!” tantang Ica. “Oke, aku akan buktikan, satu hari menaklukkan hati Ica. Deal!” Devan menjabat tangan Ica, menerima tantangan Ica, untuk membuat Ica jatuh cinta. “Oke deal! Kalau enggak bisa ada hukumannya, ya?” “Apa itu hukumannya?” “Besok aku kasih tahu, ini rahasia. Seperti tadi kamu merahasiakan sesuatu sama Nadia,” ucap Ica. “Ih, ternyata cemburu juga kamu aku sama anak kecil?” ucap Devan dengan terkekeh. “Bukan cemburu, Dev? Lagian pakai bisik-bisik segala, mau apa kalian?” ucap Ica dengan kesal. Ica tahu, pasti Devan merencanakan sesuatu dengan Nadia untuk ngeprank dia. Mereka memang selalu begitu kalau sudah bertemu, sukanya ngerjain Ica. “Nadia anaknya Rana?” tanya Pak Akbar. “Iya, Om,” jawab Devan. “Pa, papa tahu tadi Ica sama Devan bertemu siapa lagi selain Nadia?” tanya Ica. “Paling Rana sama Leo, kan?” jawab Pak Akbar. “Ketemu mantan, Om. Mantan mertua,” seloroh Devan. “Dev, apaan sih!” tukas Ica. “Ya, benar, kan? Ada mantan tunanganmu juga kan, Ca?” ucap Devan. “Ya, seperti itu. Tapi biarlah, urusanku dengan Nadia kok, toh Nadia tadi yang manggil kita kan, Dev? Kalau Nadia gak manggil, ya ngapain aku lihat ke arah meja di mana keluarga besar mereka sedang kumpul?” jawab Ica. “Iya sih, tadi juga kalau Nadia gak manggil, kita gak akan lihat mereka,” ucap Devan. “Tapi, kayaknya Om Arsyad masih menyimpan rasa penyesalan yang mendalam sama kamu, Ca? Aku lihat dari sorot matanya tadi, saat mengajak ngobrol kamu sebentar, kayaknya masih ada rasa penyesalan ke kamu?” ujar Devan. “Mungkin, karena Om Arsyad masih ingin aku memanggilnya abah. Tapi, aku enggak mau,” jawab Ica. “Kenapa? Bukannya memang Om Arsyad banyak yang manggil beliau itu abah?” tanya Devan. “Iya, tapi aku sudah enggak mau, Dev? Karena kalau aku tetap manggil beliau dengan panggilan abah, ada seorang wanita yang nantinya akan tersakiti hatinya,” jawab Ica. “Siapa? Thalia? Mikirin kok perasaan dia, Ca? Yang harusnya mikir itu Thalia sepertinya, karena dia kan membuat kamu seperti itu dulu?” ucap Devan dengan kesal, karena Ica selalu mementingkan perasaan orang lain ketimbang dirinya sendiri. “Ya, aku menghargai perasaan dia saja, karena aku pun dulu merasakannya, Dev? Saat Thalia kembali muncul dan memanggil Om Arsyad dengan sebutan om, malah Om Arsyad meminta dia untuk tetap memanggil abah, dan dia mau saja gitu, tanpa mikir gimana perasaan aku yang saat itu jadi tunangan Arkan. Ya, aku sih ngebiarin saja, tapi melihat kedekatan Om Arsyad sama Thalia rasanya kok nyesek gimana ya saat itu? Padahal Om Arsyad sendiri yang memintaku untuk dekat dengan Arkan, membantu Arkan move on lagi, dan seketika itu, saat Thalia hadir, seolah sudah enggak ada aku di mata dia? Ya itu sih yang aku rasakan saja, Dev. Lagian mana sih yang care sama aku saat aku dibuat jatuh oleh Arkan? Enggak ada, kan? Semua saudara Arkan ke mana saat itu? Kak Alina, Kak Najwa, Kak Dio, Kak Rania, Kak Shifa? Mana ada dia support aku, paling saat kejadian saja? Setelahnya? Sepertinya mereka malah lega Arkan kembali sama Thalia? Gak ada rasa empatinya sama papa, mama, dan aku? Hanya Kak Rana sama Kak Leo, yang terus mantau keadaan aku, meski aku sudah jauh berada di Jepang,” jelas Ica dengan wajah yang terlihat murka, sambil meluapkan emosi Ica yang terpendam dari dulu. “Sudah jangan ingat itu lagi? Katanya sudah memaafkan dan melupakan? Tapi kok masih dibicarakan saja?” ucap Bu Anjani. “Iya sih, Ma? Tapi kan kesel saja, Ma? Om Arsyad seakan itu gak ada rasa bersalah gitu? Maksa gitu pengin ngobrol sama Ica, pengin Ica manggil dia abah lagi? Sudah lah, kan semua sudah selesai, ya sudah Ica penginnya urusin urusan masing-masing. Waktu kapan itu, Om Arsyad ke kantor, ya minta maaf, terus maksa Ica manggil abah lagi? Ya Ica tetap pada pendirian Ica, gak mau lah,” ucap Ica. “Ya sudah, papa tahu perasaan kamu. Yang pentin kamu kan gak nyakitin mereka, jadi tetap jadi Ica yang papa kenal, selalu bisa memaafkan, dan tidak ada dendam,” ucap Pak Akbar. “Iya, Pa. Itu pasti,” ucap Ica. Devan tahu betapa sakitnya hati Ica dulu saat Arkan membuat dia malu di depan umum, dan setelah itu, memang keluarga Arkan datang sekali meminta maaf, begitu juga saudara Arkan. Meski saat itu Arkan dan kedua orang tuanya mengantarkan kepergian Ica ke Jepang, tapi tetap saja, Ica juga berhak sakit hati atas perbuatan mereka, dan Devan merekam jelas, sorot mata Ica tadi, ketika sedang meluapkan emosinya. Ica masih merasakan sakit hati karena perbuatan Arkan dulu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN