Ica langsung pamit dengan kedua orang tuanya untuk ke kantor selesai sarapan. Ada rasa sedikit kecewa, karena mama dan papanya tidak jadi ikut liburan ke Bali dengan dirinya dan Devan. Sedikit kecewa saja sih? Ica memaklumi kedua orang tuanya yang memang ada acara mendadak.
“Ca, jangan cemberut gitu dong? Lagian kamu memang udah rencana ke sana sama Devan saja, kan?” ucap Bu Anjani.
“Iya sih, Ma. Tapi, aku udah ngbayangin kita liburan bareng, Ma. Eh malah papa sama mama tiba-tiba ada acara mendadak,” ucap Ica dengan cemberut.
“Lagian kamu juga kan perlu pendekatan sama Devan lagi setelah lamaran dadakan semalam?” ujar Pak Akbar.
“Harus gitu ya, Pa? Bukannya selama ini Ica sudah dekat sekali dengan Dev?”
“Iya, papa tahu itu, tapi kali ini kan beda? Kamu juga harus belajar membuka hati kamu untuk Devan, Ca? Kurang apa sih Devan? Sampai kamu tidak pernah mau sama dia? Karena dia teman kamu? Atau bagaimana? Papa sekarang tidak mau minta apa-apa sama kamu, papa hanya minta terima Devan, sudah itu saja.”
Pak Akbar memang sudah tidak mau Ica melajang lagi, apalagi sudah dua kali gagal menikah. Beliau tidak mau putrinya menjadi perawan tua karena terpuruk setelah gagal menikah dua kali. Meski Pak Akbar percaya nantinya Ica bisa move on, tapi beliau tidak mau putrinya mengenal laki-laki lain yang baru. Pak Akbar sudah sangat percaya dengan Devan, hanya Devan yang terbaik untuk putrinya.
“Papa kayaknya maksa banget, ya? Beda lho saat sama Arkan dan Satria? Papa selalu bilang pikir-pikir dulu, minta petunjuk dulu sama Allah, sebelum kamu menentukan dia adalah pilihanmu. Tapi, sama Dev, papa seperti sudah sangat yakin sekali kalau aku harus sama Devan? Dulu saat Arkan ngajakin touring dan menginap saja papa larang Ica? Ini mau ke Bali Ica dilepas gitu saja? Papa kenapa seyakin itu sama Devan?”
“Karena papa yakin dan percaya, Devan itu yang terbaik untuk kamu. Dia sangat menyayangimu dan mencintaimu. Papa melepas kamu ke Bali sama Devan, karena papa yakin dia bisa menjaga kamu. Meski dia sangat mencintaimu, papa yakin, Devan tidak akan melakukan hal yang tidak baik. Itu kenapa papa selalu percaya sama Dev untuk menjaga kamu. Karena dia bisa menjaga kamu dengan baik. Sekarang papa tanya sama kamu, selama kamu di Jepang, setiap hari dengan Devan, berduan di dalam rumah, apa pernah Dev melakukan hal yang macam-macam dengan kamu, karena dia terbawa suasana cinta di dalam hatinya pada kamu?”
Ica terdiam, dia tidak langsung menjawab pertanyaan papanya. Karena memang benar adanya, Devan tidak pernah macam-macam dengannya meski sangat mencintai dirinya. Bahkan saat makan malam itu, Devan pun tidak berani mencium bagian yang terlarang, saat terakhir dirinya akan memilih Satria. Devan memang selalu menjaganya, tidak pernah menyakitinya, dan tidak pernah macam-macam meski sangat mencitai dirinya. Seharian di rumah Ica berduaan saja Devan sama sekali tidak berbuat macam-macam dengan Ica.
Berbeda dengan Satria dan Arkan, dengan cinta yang mungkin hanya pura-pura saja, mereka sudah melakukan hal yang lebih. Terlebih Satria yang kadang memaksa Ica melakukan hal di luar batas.
“Kenapa diam, Ca?”
“Iya, Devan tidak pernah macam-macam sama Ica, Pa. Benar kata papa, dia sangat menjaga Ica. Dia selalu mengerti apa yang Ica mau, bahkan rela menghabiskan waktunya hanya untuk menemani Ica move on dari Arkan,” jawab Ica.
“Apa kamu belum percaya dengan cinta Dev yang sempurna seperti itu? Memang tidak ada cinta yang sempurna di dunia ini, selain cinta kepada Tuhan kita, Ca. Tapi, lihatlah Devan, dia sangat tulus mencintai kamu, dia rela pergi dari rumahnya, jauh dari orang tua, dan menjauhi semua yang berhubungan dengan kamu, demi kamu, agar kamu bahagia dengan Satria dan dia tidak mau lagi mengganggu kamu. Dia hanya mau kamu bahagia dengan orang pilihanmu, dan papa yakin, dia tidak terima kamu diperlakukan seperti itu oleh Satria. Ayo dong, Ica ... kamu harus lihat ketulusan Devan lebih dalam. Dengan kamu ke Bali sama Devan, papa mau kamu lihat dari jarak dekat bagaimana cinta Devan pada kamu, dengan membuka sedikit hati kamu. Papa hanya ingin kamu hidup bahagia dengan orang yang sangat mencintai dan menyayangimu, bukan orang yang pura-pura mencintaimu,” tutur Pak Akbar.
“Ica saja bingung dengan hati Ica, Pa. Ica sangat nyaman sekali sama Devan, tapi kenapa Ica enggak bisa menerima cintanya Devan yang Ica rasa itu sangat tulus dan tanpa syarat? Ica pun sedang belajar menerima hati Devan, Pa,” ucap Ica.
“Orang yang sudah nyaman sama seseorang, itu berarti sudah jatuh cinta dengan orang itu, Ca,” ujar Bu Anjani.
“Kok mama bicara seperti itu?”
“Iya, karena mama merasakan sendiri. Mama juga pernah muda, Ca. Kalau kamu tidak cinta dengan Devan, tapi kamu sudah nyaman, mama yakin kamu itu cinta sama Devan. Kamu pernah merasa enggak, kalau Devan jauh kamu sangat kangen sama dia?” tanya Bu Anjani.
“Iya, sering itu, Ma,” jawab Ica.
“Ya sudah, itu namanya kamu sudah mencintai Devan. Sudah, kamu pikir baik-baik lagi, kamu buka hati kamu perlahan, mama yakin kamu bisa menerima Devan, dan bahagia hidup dengan Devan,” tutur Bu Anjani.
“Iya, Ica juga lagi belajar menerima Devan. Ica pamit ke kantor dulu, Ma, Pa,” pamit Ica.
“Ingat, Ca, orang yang tulus mencintai kita, pasti akan menjaga nama baik kita juga,” ujar Bu Anjani.
Ica memikirkan kembali ucapan kedua orang tuanya. Memang benar, Devan tidak pernah melakukan hal yang melebihi batasan, meski berduaan saja dengan dirinya. Meski Devan sangat mencintai Ica, tapi Devan tidak pernah melakukan hal yang melebihi batas, bahkan saat itu akan mencium bibir Ica pun Devan urungkan, karena itu hal yang tidak pantas dia lakukan pada Ica.
Sifatnya arogan Devan ternyata tidak berpengaruh dengan adabnya kepada wanita yang sangat Devan cintai. Dia memang arogan, tapi dia bisa menghormati wanitanya yang sangat ia cintai.
“Memang Devan tidak pernah melakukan hal yang di luar batas dengan aku. Benar kata mama, kalau dia tulus mencintaiku, pasti dia akan menjagaku, seperti Devan yang memang selalu menjagaku, dan selalu menjaga nama baikku. Apa aku memang harus membuka hati untuk Devan? Lagian kalau enggak, nanti Devan sama orang lain, aku yang nyesel? Aku yang nangis? Dan aku nyesel sudah nyia-nyiain laki-laki sebaik Devan. Aku juga berat sih kalau harus jauhan dari dia lagi. Entah itu yang dinamakan cinta atau bukan, yang jelas aku nyaman sama Devan, aku rindu saat Devan jauh dari aku dan tidak ada kabar dari Devan. Dan, perasaan itu muncul saat detik-detik aku akan menerima lamaran Satria, yang muncul hanya Devan di ingatan aku, di mimpiku, tapi aku malah memilih Satria, padahal mungkin itu suatu petunjuk agar aku memilih Devan. Tapi, aku malah memilih Satria saat itu,” ucap Ica sambil mengemudikan mobilnya.
^^^
Hari ini Ica ke kantor hanya untuk mengecek semua pekerjaannya yang nantinya akan dihandle Tari saat dia ke Bali dengan Devan. Meski hanya tiga atau lima hari di Bali, Ica juga harus menyelesaikan semua urusan pekerjaannya terlebih dulu.
“Dev? Kamu sudah ke sini? Ini masih jam sepuluh kok?” Ucap Ica sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya saat Devan tiba-tiba datang ke kantornya.
“Iya, ini masih jam sepuluh, memang kenapa, Ca? Aku kangen sama calon istriku apa enggak boleh?”
“Idih, gombal!”
“Sekali-kali lah Ca aku gombalin kamu. Aku ke sini juga mau bilang sama kamu, kalau papa sama mama tidak jadi ikut, jadi kita hanya berdua ke Bali. Gimana, kamu masih mau ikut, kan?” tanya Devan.
“Ya, kan awalnya kita mau berdua ke sana, kan? Iya aku ikut, lagian pekerjaanku juga sudah selesai semua kok,” jawab Ica.
“Oke, jadi enggak sia-sia aku sudah nyewa Vila di sana,” ucap Devan.
“Vila? Kamu sewa Vila kamarnya gak Cuma satu, kan?” tanya Ica.
“Enggak lah! Masa satu kamar? Apa kamu mau nih satu kamar sama aku?” gurau Devan.
“Dih, ogah!”
“Kenapa? Kita kan mau menikah?”
“Menikah, aku nerima kamu saja belum? Masa mau nikahin perempuan ngelamarnya dadakan? Gak romantis lagi?”
“Mau yang romantis? Tapi, sayang Devan gak seromantis Arkan dan Satria yang bisa menaklukkan hati kamu sih?”
“Dev, jangan sebut dua manusia itu lagi, oke?”
“Oh, maaf. Sudah jangan cemberut, nanti cantiknya ilang. Sudah yuk, ke rumah Nadia?” ajak Devan.
“Apa dia sudah pulang sekolah?”
“Belum, sih? Ya sudah nanti saja.”
“Aku juga masih ada satu pekerjaan yang belum aku selesaikan, Dev.”
“Kamu selesaikan dulu, aku keluar sebentar, mau jemput Nadia juga, sekalian nungguin kamu selesaikan pekerjaan kamu. Fokus kerja, besok kita liburan, Oke.”
“Oke, kamu hati-hati, ya?”
“Hmmm ... kamu juga hati-hati kerjanya, jangan sampai salah.” Devan mengusap kepala Ica sebelum meninggalkan ruang kerja Ica.
Devan melangkahkan kakinya untuk keluar, tapi dia dengan cepat menghentikan langkahnya.
“Ada apa, Dev? Ada yang ketinggalan?” tanya Ica.
“Ada, sebentar.” Devan mendekati Ica dan mencium kening Ica.
“Itu yang ketinggalan, semangat bekerja calon istriku,” ucap Devan dengan mengurai senyuman manis di depan Ica.
Pipi Ica merona, mendapat perlakuan yang mungkin cukup romantis dari Devan, meski agak kaku Devan melakukannya.
“Ada-ada saja kamu, Dev?” ucap Ica dengan memukul dadanya Devan.
“Ya sudah, kerja gih. Aku jemput Nadia dulu sama Zifa,” pamit Devan.
“Hati-hati, Dev,” ucap Ica.
"Oke, sampai jumpa nanti," ucap Devan sambil melambaikan tangannya pada Ica.
Devan pergi dari ruangan Ica. Ica masih terpaku setelah mendapatkan perlakuan Devan yang sedikit romantis. Mencium kening Ica, dan mengurai senyuman manis di depan Ica. Itu hal yang baru pertama kali, dan secara reflek yang Devan lakukan pada Ica.