1
“Mbak Kalindaaa!”
Sebuah suara terdengar dari arah pintu belakang yang menghubungkan pekarangan kontrakannya dengan rumah sebelah. Kalinda Prameswari menoleh refleks. Seketika, matanya melebar.
Di sana, tetangga barunya selama seminggu ini. Dengan handuk yang melilit rendah di pinggang, Bramasta Aryadinata berdiri. Rambutnya basah, d**a bidangnya terbuka dengan bulu halus menghias, dan kulitnya yang sedikit kecoklatan.
Bram mengangkat jemuran yang basah ditangan kirinya —milik Kalinda— sambil berkata santai, seolah tubuh setengah telanjangnya itu bukan perkara besar. Padahal jika dia tau, hal itu membuat Kalinda adem panas di tempatnya.
“Ini loh, jemurannya jatuh ke halaman saya. Saya mau balikin ke Mbak Kalin” katanya dengan nada datar.
Kalinda hampir memuntahkan kopi yang dia minum. Seketika bangkit dan panik, berjalan maju dengan mengalihkan pandangannya dari pria yang tanpa dosa berdiri dengan hanya berpenampilan minim seperti itu.
Lalu apa? Jemuran basah? Kapan Kalinda mencuci pakaian. Wah duda gendeng ini mah. Eh tapi, memang dia mencuci pakaian sih, daster tipisnya, tapi ya masak bisa nyasar sampai sana?
“Mas! Astaga! Ya ampun... Bisa nggak sih lain kali nggak tiba-tiba muncul kayak gitu? Cuma pakai handuk doang!” seru Kalinda sambil menghampiri pagar kecil yang memisahkan pekarangan mereka, masih dengan berusaha menutup matanya.
Bram masih berdiri di ambang pintu, senyum menggoda mengembang di wajahnya. “Saya kan cuma mau nolongin jemuran jatuh. Ini loh.” Ia mengangkat pakaian tipis berwarna pastel yang membuat wajah Kalinda memanas dalam hitungan detik.
“Mas! Gak usah diangkat begitu. Aduh!”
“Santai aja, saya nggak sengaja lihat, kok.” Senyum itu makin jadi. “Tapi ya, saran aja, Mbak. Jemuran sebaiknya diikat atau dikasih penjepit, biar nggak nyelonong ke rumah tetangga.”
Kalinda menutup wajahnya dengan tangan. “Ya Allah... Maaf, maaf ya. Nggak tau kalau bakalan terbang ke tempatnya Mas Bram”
“Oh ya,” Bram menambahkan sebelum kembali ke dalam rumahnya, “kalau butuh penjepit jemuran, saya punya banyak. Bisa saya pinjamin. Atau... Mbak mau saya bantu jemurin juga sekalian?”
“MAS!”
Pintu belakang Bram tertutup pelan, meninggalkan Kalinda berdiri di belakang rumah dengan muka semerah tomat, menyesali kenapa jemuran bisa nyempil sampai sana. Ya memang sih tadi malam hujan angin di daerah rumahnya. Tapi... Ah sudahlah.
Sambil menenteng baju basahnya, Kalinda berjalan setengah menghentak. Malu sudah dengan kejadian pagi ini. Dari melihat d**a telanjang Bram dan karena baju tipisnya yang jelas Bram tau.
“Duh kok bisa sih? Malu-maluin aja... Mas Bram juga gitu. Bisa-bisanya keluar cuma pakai handuk doang."
Disisi Bram. Bram masih tersenyum di balik pintu rumahnya. Tangannya yang baru saja menggantung jemuran "terlarang" milik Kalinda, kini menengadah sejenak.
Angin pagi menyapu lembut kulitnya yang masih basah karena mandi. Pria itu mendesah pelan. Masih berdiri di depan pintu belakang rumahnya dengan handuk melilit pinggang, ia menggaruk tengkuk pelan.
“Gila.” Hanya satu kata itu yang berhasil meluncur dari bibirnya.
Pakaian tipis pastel milik Kalinda masih membekas jelas di memorinya. Tipis. Sangat tipis. Dan cukup… membangkitkan hal-hal yang seharusnya dikunci rapat bagi seorang duda sepertinya.
"Menarik sekali wanita itu..." batinnya merintih sendiri.
Sudah cukup sulit menenangkan hormon pria dewasa dengan umur tiga puluh, sekarang ditambah dengan tetangga baru yang masih muda berumur dua puluh lima tahun. Berparas ayu, dan jelas belum menikah. Apalagi... tadi terlihat jelas ia hanya mengenakan daster tipis dan rambut yang dikucir malas, aroma sabun dan kopi entah kenapa ikut masuk ke dalam kepala Bram bersama bayangan tubuh mungil perempuan itu.
"Astaga, Bram. Stop pikiran kotor kamu. Jangan berfikir yang tidak-tidak Bram" gumamnya lirih, lalu masuk kembali ke kamar untuk segera memakai pakaiannya untuk pergi mengajar hari ini.
Di dalam rumahnya yang cukup rapi—sangat tidak menggambarkan rumah seorang pria singel—Bram melempar handuk kecil ke sofa dan berdiri mematung sebentar.
Matanya melirik ke arah jendela yang jika tirainya dibuka sedikit saja, bisa mengintip langsung ke arah dapur rumah Kalinda.
“Astaga… jangan. Jangan gila kamu, Bram,” bisiknya pada diri sendiri.
Namun sebelum tangannya sempat menarik kain jendela, suara pesan masuk di ponselnya menyadarkan diri.
Dari Ibu RT.
> "Mas Bram, jangan lupa ada rapat warga malam ini, jam 7. Mohon kehadirannya yaa. Mbak Kalinda juga akan dikenalkan ke warga sebagai penghuni baru."
Bram menelan ludah nama Kalinda di pesan masuknya kembali mengingatkan pikiran anehnya dan juga kenyataan bahwa malam ini... dia akan kembali bertemu Kalinda. Di rapat warga. Dalam jarak dekat. Tanpa pagar. Tanpa daster tipis pemisah.
____
Dalam waktu satu jam Kalinda tampil rapi dan profesional. Rambut hitamnya disanggul ke atas dengan cepol rapi, diamankan dengan jepitan hitam berbentuk simpul pita. Ia bahkan mengoleskan sedikit krim penjinak anak rambut di kedua sisi pelipis. Wajahnya dirias tipis sesuai standar kantor: alas bedak ringan, pulasan blush yang samar, dan bibir yang hanya diberi lipstik warna nude—tapi cukup membuatnya terlihat segar.
Ia mengenakan kemeja putih yang disetrika nyaris tanpa lipatan, dipadukan blazer dan rok span selutut berwarna biru navy. Sebuah scarf tipis berwarna biru laut melingkar di leher jenjangnya, simpel dan elegan. Aroma parfumnya menyebar ringan namun memikat—campuran kopi panggang, bunga lily, dan sentuhan vanila yang halus.
Yaris merah, satu-satunya peninggalan almarhumah ibunya, sudah menanti di garasi kecil. Mobil itu mungil, hanya nyaman ditumpangi empat orang dewasa, lima jika harus berdesakan. Tapi Kalinda menyayanginya sepenuh hati. Mobil itu bukan sekadar kendaraan, tapi kenangan dan kemandirian.
Ia mendorong daun gerbang besi yang dicat putih—agak berdecit karena mungkin jarang dibuka tutup sebelum Kalinda datang ke rumah kontrakan ini.
Ceklak!
Baru satu daun terbuka, suara cempreng dengan intonasi yang terdengar terlalu manis menyapanya.
“Wah, Mbak Kalinda pagi-pagi udah rapi banget. Mau kerja, ya? Luar biasa... semangat banget, padahal kan masih muda,” ujar Bu Ety, tetangga depan rumah, sambil menyapu halaman yang sebenarnya sudah bersih. Sambil mengamati penampilan Kalinda.
"Maka dari itu bu karena masih muda harus produktif dong" Balas Kalinda dengan wajah cantiknya.
“Kerja di mana sih, Mbak? Gaji gede ya? Soalnya mobilnya kelihatan masih bagus, lho.”
Kalinda tersenyum kecil. “Saya kerja di bank, Bu.”
“Oh, pantas! Bajunya rapi amat. Wangi juga. Hehehe… masih perawan lagi?”
Satu lagi suara muncul dari samping rumah. Bu Nunuk, spesialis pengintip dari celah pagar tanaman, ikut menyahut. “Masih muda udah tinggal sendiri, kerja di bank, pasti banyak yang antre ya, Bu Ety?”
Kalinda masih tersenyum, tapi matanya meredup sedikit. Ia membungkuk sopan lalu berjalan ke arah mobilnya. “Permisi, Bu. Saya mau berangkat.”
“Nggak sempat sarapan, Mbak? Wah, hati-hati loh, kerja keras tapi lupa makan bisa masuk angin. Nanti nggak ada yang ngurusin,” sahut Bu Nunuk lagi, diikuti tawa kecil dari Bu Ety yang terlalu manis untuk dibilang tulus.
"Ada sih, kebetulan kan disebelahnya mbak Kalinda juga ada yang single meskipun duda. Di pepet aja mbak" Tambah bu Ety.
Kalinda mengernyit. Ini maksudnya apa ya? Kok bisa-bisanya sampai ke pembahasan seperti ini.
"Waduh iya ya. Mas Bram kan juga single. Bisa itu saling ngurusin satu sama lain"
Kalinda menahan napas sejenak sebelum masuk ke dalam mobil. Hatinya geli, tapi juga gatal. Entah mengapa, dia merasa diukur dan diadili hanya karena hidup mandiri sebagai perempuan muda di lingkungan ini.
Yang tidak dia tahu, didepan halaman tepat di kursi santainya—yang masih bisa mendengar dan melihat daerah depan dan samping rumahnya—sepasang mata tengah mengamatinya sejak beberapa menit lalu.
Bram.
Yang sudah mengenakan kemeja putih dan celana hitamnya, siap untuk berangkat ke kampus, menyeruput kopi instan. Ia memiringkan kepala sedikit, mengamati dari balik tembok abu-abu yang memisahkan rumahnya dengan jalanan komplek dan rumah sebelah.
Lucu. Baru seminggu, tapi Bram mulai bisa mengenali pola wajahnya.
“Hm. Gigit bibir bawah—artinya kesel. Tapi masih bisa pura-pura sopan,” gumamnya sambil menyipitkan mata, menelan kopi terakhirnya.
Senyumnya melengkung pelan.
‘Cewek ini menarik,’ batinnya.
Tapi tentu saja, sebagai ‘tetangga baru’, dia tidak akan mencampuri urusan pagi ini. Belum waktunya.
Belum.