2

1334 Kata
Mobil Kalinda perlahan memasuki area parkir gedung kantor yang sudah mulai ramai. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir sisa kekacauan pagi tadi dari pikirannya. Setelah mematikan mesin, ia melirik kaca spion untuk memastikan penampilannya masih rapi dengan nametag bertuliskan Kalinda Prameswari – RM Priority Banking tergantung manis di d**a. “Let’s go,” gumamnya pelan, menarik tas kerja dari kursi samping. Begitu menjejakkan kaki di lobby kantor, aroma kopi dan parfum formal langsung menyambut. Para staf berseliweran dengan kesibukan masing-masing. Tapi baru beberapa langkah masuk, lengan Kalinda disenggol seseorang dari samping. “Eh, Bu RM Kalinda yang baru pindah rumah!” Suara laki-laki itu terdengar riang. Kalinda menoleh dan langsung bertemu dengan wajah Faris—teman sejawatnya di bagian Corporate Banking yang dikenal dengan julukan Si Tukang Kepo Kantor. Kalinda terkekeh. “Pagi, Ris. Dan yes, finally! Aku harus mulai bisa hidup lebih hemat lagi" Faris menyesap kopi takeaway di tangannya, matanya menyipit penuh selidik. “Terus gimana? Tetangga-tetangganya ramah nggak? Ada yang cakep nggak?” Kalinda memutar bola matanya. “Too friendly malah. Dan... ya, tapi nggak untuk tetangga yang notabennya ibu-ibu komplek. Kamu tau sendiri kan gimana mulut ibu-ibu?" Faris menaikkan satu alis. “Kenapa? Mulutnya kemana-mana ya?" Kalinda mengangguk. “Ya gitu deh. Udah sana kerja. Aku mau langsung ke lantai tiga.” “Siap, Bu RM! Tapi nanti lunch cerita ya! Aku penasaran nih sama tetangga ‘gitu deh’-mu itu!” Kalinda hanya menggeleng sambil melangkah masuk ke lift. Begitulah jika bertemu dengan Faris. Teman yang selalu menemaninya selama bekerja disini. Begitu pintu lift terbuka, Kalinda langsung berubah mode. Langkahnya sigap, senyumnya ramah. Dunia Relationship Manager menuntut keramahan dan ketegasan yang seimbang. Ia menyapa klien prioritas, memeriksa jadwal meeting, dan mulai tenggelam dalam dunia angka, target, dan kepercayaan nasabah. --- Jam dinding di ruang kerja Kalinda menunjukkan pukul empat sore. Di luar sana, beberapa karyawan mulai bersiap-siap untuk pulang. Namun Kalinda masih terduduk di kursinya, menatap layar monitor yang sudah lama tak berubah. Tangannya menggenggam mouse, tapi pikirannya melayang jauh. Meski hari ini dia berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan baik—bahkan menangani satu nasabah yang sempat marah-marah dengan kepala dingin—semuanya berubah saat satu pesan masuk ke ponselnya. Dari Marina. Ibu tiri Kalinda yang saat itu juga membuat mood Kalinda hancur. Wanita jadi-jadian itu mampu memutar balikkan kehidupan Kalinda. "Kalau kamu masih punya harga diri, jangan ganggu Papa kamu lagi." "Dia sudah cukup pusing dengan hidupmu yang tak jelas." Dahi Kalinda mengernyit. Rahangnya mengeras. Napasnya berat. “Sejak kapan aku ganggu, hah?” gumamnya lirih dengan tawa sarkastik. “Bukankah kamu yang menganggu kehidupanku yang awalnya baik-baik saja jalang?” Dia menyenderkan tubuhnya ke sandaran kursi, menatap langit-langit ruangan yang putih dan sunyi. Pandangannya sayu. Dadanya terasa sesak. Luka lama kembali menganga. Tepatnya seminggu yang Lalu, hingga membuat Kalinda keluar dari rumahnya. "Ayah selalu lebih percaya dia daripada anakmu sendiri?” suara Kalinda bergetar, nyaris meledak oleh amarah dan kekecewaan. Iqbal menatap putrinya dengan sorot tajam, wajahnya memerah. "Dia sekarang ibumu, Kalinda! Jaga bicaramu!" Kalinda terkekeh dingin, berdiri dengan tubuh tegang dan mata berkaca-kaca. “Siapa ibuku? Dia? Jangan bermimpi!” "Dia bukan ibu saya! Dia cuma istri ayah! Dan saya muak jadi tameng dari semua drama rumah ini!” Marina hanya berdiri di belakang, bersedekap dengan tatapan penuh kemenangan. Seolah-olah pertengkaran itu adalah hiburan favoritnya. Berengsek bukan? Jikalau bisa saat itu juga Kalinda ingin menyeret Marina keluar dari rumah yang telah dijaga oleh almarhum mamanya. “Kalau kamu nggak suka, kamu keluar aja dari rumah ini!” bentak Iqbal, menunjuk ke arah pintu dengan kasar. Kalinda terdiam. Tiga detik. Lima detik. Lalu ia mengangguk pelan. “Oke.” Tanpa air mata. Tanpa rengekan. Ia masuk ke kamarnya, mengemasi barang secukupnya. Dua koper dan satu punggung yang tegak. Sebelum pergi, ia menatap dinding rumah yang sudah tak terasa seperti rumah, dan berbisik di dalam hati: "Mama, maaf... Kalinda udah nggak kuat lagi, Ma." --- Kalinda memejamkan matanya sesaat. Membuatnya kembali ke realita hidupnya. Ponselnya di atas meja kembali menyala. Tapi bukan pesan dari Marina. Melainkan notifikasi rapat rutin esok hari. Kalinda memijat pelipisnya. Ia menghela napas panjang, berusaha menata kembali wajah dan pikirannya. Dia tahu, sebentar lagi harus pulang ke kontrakan barunya. Rumah kecil itu mungkin tak seluas rumah lamanya, tapi setidaknya tidak ada wajah yang menyimpan tipu daya dirumah itu. Dari luar, terdengar langkah kaki yang mengetuk-ngetuk lantai koridor. “Aku pulang duluan ya, Kal!” suara Rama—teman sejawatnya selain Faris—muncul sambil menyenggol pintu dengan ujung map. Kalinda menoleh dan memaksakan senyum. “Iya, Ram. Hati-hati di jalan.” Rama tak langsung pergi. Ia melongok masuk, melipat tangan di depan d**a, lalu menaikkan satu alis. “By the way, rumah barunya gimana? Udah nyaman?” Kalinda mengangkat bahu. “Tadi Faris sekarang kamu. Kalian janjian kah? Tapi... Lumayan lah. Yang penting bisa tidur dengan tenang.” Rama tertawa pelan. “Kapan-kapan aku main kesana deh sama Faris. Boleh kan? " “nggak boleh?” Kalinda ikut tertawa, walau hanya sebentar. "Ya boleh lah" Tawa mereka kembali menggema, tapi cukup untuk membuat suasana sedikit hangat. Setidaknya Kalinda tidak merasa terlalu sendiri. --- Bram membuka pintu kulkasnya perlahan. Di dalamnya tersusun rapi beberapa minuman kaleng kesukaannya, stok andalan kala tenggorokan terasa kering usai mengajar. Ia menarik salah satunya, membukanya dengan satu tangan, dan menenggaknya dalam-dalam. Sudah satu jam sejak ia tiba dari kampus. Tubuhnya sudah bersih, kaus tipis dan celana santainya sudah membungkus tubuh tegapnya. Lantai atas rumahnya sunyi, hanya ditemani tumpukan tugas mahasiswa yang belum sempat ia sentuh karena lelah membalut tubuhnya. Namun saat matanya melirik ke tempat Kalinda, ia mendapati sosok Kalinda berdiri di dapurnya. Kaos oversize warna abu yang menggantung longgar di tubuh rampingnya, celana pendek yang menampilkan kaki jenjang nan putih, serta rambut yang dicepol asal-asalan. Tanpa make up. Tanpa polesan apa pun. Tetap saja menarik mata. Namun senyum tipis di wajah Bram mendadak sirna. Matanya menajam. Kompor gas di hadapan Kalinda menyala cukup besar. Anehnya, perempuan itu hanya berdiri terpaku, menatap ke arah wajan dengan tatapan kosong. Tak ada gerakan. Tak ada respons. “s**t,” gumam Bram, membuang kalengnya ke tempat cuci piring dengan suara dentang, lalu berlari ke pintu belakang rumahnya yang memang terhubung. “Kalinda!” serunya begitu berhasil masuk ke dapur tetangganya itu. Asap sudah mulai membubung tinggi. Bram reflek meraih kain lap yang tergeletak di dekat sink yang dia basahi terlebih dahulu, lalu melemparkannya ke arah wajan sambil memutar knop kompor. “Kalinda! Kamu kenapa bengong aja?!” hardiknya begitu api berhasil padam. Kalinda tersadar. “Mas Bram?” ucapnya dengan wajah yang masih plonga-plongo tak tau. “Iya, ini saya! Kamu mau bikin komplek ini kebakaran?!” Wajah Bram berkerut, geram dan cemas bercampur jadi satu. “Kebakaran?” Kalinda masih menatap wajah Bram yang ada dihadapannya tanpa tau maksud dari tetangganya itu. “Lihat tuh!” Bram menunjuk wajan hangus yang mengepulkan asap hitam pekat. Kalinda membuka mulut, hendak menjelaskan, tapi tubuhnya bergetar—panik. Matanya terbelalak lebar saat benar-benar tersadar saat ini. Ia menggapai baskom berisi air untuk mencuci sayur yang tadi disiapkannya, namun sialnya air dari baskom itu menetes dan membasahi lantai. Kakinya yang tanpa beralas sandal pun membuatnya terpleset. “Eh—” Kalinda menjerit pelan. Bram mencoba menyambar lengannya, tapi terlambat. Keduanya jatuh berdebam keras ke lantai. Kalinda terjerembab… tepat di atas tubuh Bram yang kini menahan beban tubuhnya. Insiden itu membuat wajah mereka begitu dekat. Terlalu dekat. Bibir mereka bertubrukan. Hanya sepersekian detik. Namun cukup untuk membuat dunia seakan berhenti. Mata Kalinda membulat. Begitu pula Bram. Mereka masih dalam posisi itu. Bibir tipis Kalinda yang mampu Bram rasakan saat ini. Dan sebelum sempat mereka bereaksi… “ASTAGHFIRULLAH! APA YANG KALIAN LAKUKAN? NAKAL SEKALI KALIAN INI!!” Jeritan melengking membelah udara. Di ambang pintu dapur, berdiri sosok Bu RT dengan nampan berisi pisang goreng, wajahnya kaget bukan main. Kalinda sontak menoleh. “Bu RT?!” teriaknya refleks. Bram yang masih terguling di lantai hanya bisa memejamkan mata sejenak, menahan napas. Masalah... dimulai dari sini. "s**t! " Umpat Bram tertahan. ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN