3

1420 Kata
Sungguh, Kalinda tak pernah membayangkan hidupnya akan seperti ini. Ia kira setelah meninggalkan rumah keluarganya, dia akan menemukan kedamaian. Tapi kenyataan menamparnya. Bukan ini yang dia inginkan. Dan jelas, bukan duduk menunduk di depan ruang tamu rumah kontrakannya, dikelilingi warga kompleks seolah dia pelaku kriminal. Sedari tadi, Kalinda menggigit bibir bagian dalam. Tangannya saling menggenggam erat, memainkan jemari yang kaku karena tegang. Sampai tangan besar dan hangat menggenggam jemarinya. Kalinda menoleh. Bram. Senyuman tipis pria itu lebih menenangkan daripada kata-kata apa pun. Matanya berbicara, it's okay, everything will be fine. Tapi apakah benar? “Kalinda?” Suara itu membuat Kalinda mendongak. Di ambang pintu berdiri Kalendra, kakaknya—kemeja abu rapi, dan sorot mata yang tajam seperti peluru. “Mas Kalendra...” suara Kalinda lirih, tubuhnya sontak berdiri lalu memeluk sang kakak. Tangisnya pecah di d**a pria itu. “Dek... sabar. Mas sudah di sini.” Kalendra membalas pelukannya, satu tangan mengelus punggung adiknya, berusaha menenangkan walau dadanya ikut bergemuruh sesak. Seseorang dari kumpulan bapak-bapak dan ibu-ibu bersuara, “Ini, mas... ini keluarganya mbak Kalinda, ya?” “Iya, saya kakaknya. Ini sebenarnya ada apa?” tanya Kalendra. Tatapannya menajam pada laki-laki lain yang duduk didepannya—Bram. Lelaki itu hanya membalas tatapan Kalendra dengan anggukan kecil, tegang namun tetap tenang. “Silakan duduk dulu, Mas, biar kami jelaskan.” Bu RT mengambil alih suasana. Bram membuka suara duluan, “Ibu, Pak, tolong beri kami kesempatan menjelaskan. Ini hanya kesalahpahaman.” “KESALAHPAHAMAN?” Ibu RT langsung menukas dengan nada tinggi. “Mas, kami itu wanita, ya. Lalu dari mana kesalahpahamannya kalau saya lihat sendiri posisinya mbak Kalinda di atas mas dengan ciuman seperti itu?!” Suara desisan dan bisikan-bisikan nyinyir beredar di udara seperti kabut tebal. Kalinda memeluk lengan kakaknya makin erat, menunduk dalam-dalam. “Saya tadi hanya membantu Kalinda saja!” Bram mencoba bertahan. “Saya lihat mbak Kalinda melamun didepan kompor. Ibu dan bapak mau jika komplek ini kebakaran?” “Mas Bram...” potong Pak RW dengan suara dalam. “Kami bukan menuduh, tapi... tahu sendiri, lingkungan sini banyak anak-anak. Banyak tetangga yang bisa salah paham. Jadi saran kami... sebaiknya dinikahkan saja. Daripada jadi omongan ke mana-mana.” “TAPI ITU NGGAK ADIL!” Kalinda mendongak, matanya sembab. “Saya perempuan, iya! Tapi saya punya hak! Saya nggak salah apa-apa! Saya nggak mau dinikahkan cuma karena... cuma karena kalian melihat sesuatu yang belum tentu benar!” “Kamu wanita, Mbak Kalinda!” celetuk Bu RT cepat. “Kita hidup di Indonesia, norma tetap norma. Apalagi kalian sudah berciuman. Lebih baik menikah saja toh kalian juga masih singel kan meskipun Mas Bram duda?” Bram mengepalkan tangan. Dia ingin berdiri membela Kalinda, tapi sekali lagi, menghadapi ibu-ibu kompleks adalah medan perang tanpa kemenangan. Kalendra bangkit. Matanya masih menatap Bram. “Jadi... karena insiden kecil itu, kalian mau adik saya menikah dengan duda yang bahkan dia baru kenal seminggu?” Nada dingin Kalendra membelah ruangan. “Apa kalian semua serius dengan tuntutan ini?” “Demi kebaikan bersama, Mas,” Pak RW mencoba menengahi. “Mas Bram orang baik. Mbak Kalinda juga wanita terhormat. Kalau memang tidak ada apa-apa... ya dijadikan ada sekalian. Daripada—” “BERHENTI!” Kalinda bangkit berdiri. “Saya capek! Saya cuma mau hidup tenang! Kenapa semuanya jadi ribet?! Saya nggak akan menikah dengan siapa pun hanya karena omongan orang!” Kalendra berdiri terpaku. Tangannya mengepal, wajahnya memerah karena malu dan marah bercampur jadi satu. Di sekelilingnya, ibu-ibu komplek sudah mengerubungi. “Nikah aja, biar sah!” Kalinda masih terduduk dengan wajah basah. Pipinya memerah, bukan karena malu tapi karena rasa tak percaya—kenapa hidupnya berubah secepat ini? Hanya karena terpeleset dan posisi jatuh yang salah! Bram ikut berdiri, wajahnya tetap tenang walau kedua telinganya jelas memerah. “Kalinda… kita bisa pikirkan ini nanti. Kamu nggak sendirian.” Untuk pertama kalinya Kalinda menatap Bram… dan tetap kesal. “APA? Mas Bram mau bicara apa sekarang? Kita nggak ngelakuin apa-apa! Itu tadi karena aku kepleset, Mas! Dan panik! Jadi posisi kita kayak begitu!” Suaranya meninggi, nyaris histeris. Bram masih berdiri tenang. “Iya. Saya tahu. Tapi mereka... mereka nggak akan percaya. Dan kamu tahu sendiri, bisik-bisik ibu-ibu itu bisa lebih kejam dan itu akan merugikan kamu. Saya nggak masalah jika harus menikahi kamu" “Apa? Nikah mas? Saya nggak mau menikah dengan cara seperti ini. Kalinda nggak mau mas” Kalinda menatap ke Kalendra seakan meminta tolong. Kalendra menunduk. “Kalinda, kayaknya... kayaknya nggak ada pilihan lain.” Dan kemudian... “Sudah saya putuskan,” suara Bram menggetarkan suasana. “Saya akan bertanggung jawab. Saya akan menikahi Kalinda.” Semua diam. Lalu— “ALHAMDULILLAAAH!” teriak Bu Yati sambil menepuk tangan. “Saya panggilin Ustadz Sahal ya? Beliau biasa jadi penghulu juga di RT sebelah!” Tanpa memberi waktu berpikir, warga langsung sibuk. Karpet digelar di depan rumah. Kebaya dari lemari Bu Nur disetrika kilat. Ustadz datang membawa dokumen, dan beberapa tetangga mendadak jadi saksi sah. Kalinda hanya bisa menangis saat dipakaikan kebaya hijau muda yang kekecilan di d**a. Rambutnya dirapikan seadanya oleh tetangga sebelah yang biasa jadi MUA acara wisudahan. Kalendra duduk di samping Ustadz. Kalinda menunduk, tak bisa menatap kakaknya. Kalendra tahu, adiknya tak bersalah. Tapi ia juga tahu—komplek ini akan membunuh Kalinda secara sosial jika akad ini tak dilakukan. “Baik, kita mulai,” ucap Ustadz Sahal. “Kalendra Prameswara, sebagai wali dari Kalinda Prameswari, apakah Anda bersedia menikahkan adik Anda dengan Bramasta Aryadinata dengan mas kawin berupa logam mulia dua puluh gram dan tabungan senilai dua ratus juta rupiah dibayar tunai?” Tangis Kalinda makin pecah. “Aku nggak mau nikah kayak gini… aku nggak mau…” Tapi kata-kata itu tertelan diwaktu Bram melafalkan ijab kabul. Membalas ucapan dari Kalendra yang bergetar sebagai wali nikah calon istrinya. Dan hanya dalam hitungan menit, status Kalinda berubah. --- Langit malam sudah lengang. Usai sorak-sorai dan derap kaki tetangga yang kembali ke rumah masing-masing setelah akad nikah dadakan itu, suasana kompleks kini kembali tenang. Tapi tidak dengan hati Kalendra, apalagi Kalinda. Di teras rumah yang sempit tapi hangat, Kalendra duduk bersandar di kursi rotan. Di sampingnya, Bram terduduk diam, masih dengan kemeja putih yang kini sedikit kusut karena prosesi tadi. Jas yang dia kenakan sudah dia tanggalkan. "Apa aku bisa percayain adikku sepenuhnya sama kamu, Bram?" suara Kalendra pelan tapi tegas, menembus keheningan malam. Bram mengangguk, lalu menatap Kalendra. Kakak dari istrinya yang ternyata adalah teman semasa kuliah mengambil S1 dahulu. Kalinda tak mengenalnya karena mereka yang hanya sebatas teman biasa. Bram masih menatap Kalendra yang menatap lurus menembus gelap malam di depan mereka, "Ya. Kamu bisa percayakan Kalin padaku, Len." Kalendra mengernyit, lalu menatapnya lebih tajam. "Terus… soal Nawang?" Nama itu membuat Bram terdiam sejenak. Ada riak di dikepalanya, tapi cepat-cepat ia redam. "Dia masa lalu aku, Len. Kamu tahu itu." "Tahu. Aku juga tahu, sangat tahu jika kamu... mencintai dia habis-habisan." Ada jeda. "Meski begitu, bukan berarti aku nggak bisa mencintai Kalinda nantinya." Keyakinan dalam suara Bram tak menggema, tapi cukup untuk membuat Kalendra memejam sejenak. Nawang yang notabennya adalah mantan istri dari Bram jelas membawa kenangan tersendiri. "Oke, aku akan coba percaya itu. Tapi satu hal, jangan sakiti Kalinda. Dia… sedang tidak baik-baik saja. Kalau suatu saat kamu bosan… kembalikan dia padaku, jangan rusak dia lebih dalam lagi." Kalendra berdiri, meletakkan gelas yang belum disentuh ke meja. Langkahnya pelan menuju pintu, namun suara Bram menahannya. "Len…" Kalendra menoleh. "Apa lagi?" “Gimana dengan ayah Kalinda? Ayah Iqbal? Aku tetap harus meminta restu, kan?” Kalendra tersenyum tipis. Tapi bukan senyum hangat, lebih kepada senyum getir yang menyembunyikan banyak luka. “Tanyakan saja sama istrimu, Bram. Karena Kalinda sekarang hanya hidup bersamaku. Sedangkan ayah… hidup dengan istri barunya." Bram menunduk. Jawaban Kalendra seperti palu yang menghantam dadanya. Tidak hanya karena masa lalu Kalinda yang mulai tersibak, tapi karena kini ia sadar: wanita yang baru saja ia nikahi itu membawa luka yang lebih dalam dari yang ia kira. Di dalam kamar, Kalinda mengistirahatkan tubuhnya. Masih dengan kebaya pinjaman milik salah satu ibu-ibu PKK yang merasa sesak di tubuhnya. Riasan wajah yang semula sederhana kini luntur oleh air mata yang tak kunjung berhenti. Tangannya gemetar saat menatap jari manisnya. Cincin pernikahan sederhana yang kini melingkar di sana terasa asing. Entah cincin siapa yang ada di jari manisnya ini. Karena tak mungkin suaminya itu menyiapkan begitu saja cincin yang dia kenakan. Atau cincin ini bekas istrinya terdahulu? Tapi malam ini, tepat seminggu sejak Kalinda Prameswari resmi menjadi warga baru kompleks itu… dia kini juga resmi menjadi istri Bramasta Aryadinata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN