Mobil putih itu berhenti pelan di depan sebuah rumah dua lantai bernuansa hitam dan abu-abu elegan. Gerbang hitamnya menjulang tinggi, berlapis besi kokoh dengan ornamen modern minimalis. Halaman tampak sepi. Sepi sekali untuk ukuran jam sepuluh pagi. Hanya ada mobil terparkir di carport. Kenanga turun dengan gaun ketat selutut berwarna merah bata yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Tumit stiletto-nya beradu dengan paving, menciptakan bunyi "tik-tok" setiap langkahnya. Ia mendongak menatap bangunan megah itu, matanya menyipit. “Jadi ini… rumahnya mas Bramasta?” gumamnya lirih, dadanya terasa sesak. Ada getir menyengat di hatinya. Pria yang dulu pernah setia mendampinginya, kini jelas-jelas sudah jauh lebih sukses, berkelas, dan… bukan miliknya lagi. Rasa sesal itu datang tanpa permisi, men

