Lampu neon putih di ruang VIP rumah sakit itu terasa terlalu terang, bercampur dengan cahaya yang ada dari luar jendela, menusuk mata Kalinda yang sejak tadi sudah memerah. Aroma antiseptik bercampur dengan suara mesin monitor jantung yang berdetak lambat, seakan ikut menghimpit dadanya. Di ranjang, ayahnya terbaring dengan selang-selang menancap di tubuh ringkihnya. Wajah yang dulu tegas kini pucat, tak bergerak. Dan di seberang tempat dirinya duduk, duduk Marina dengan map merah mencolok di tangannya. Senyum tipis penuh kemenangan tersungging di bibir wanita itu. “Turuti saja apa kataku. Kalau kamu benar-benar peduli dengan papa kamu… tanda tangani ini.” Marina menyodorkan map itu ke arah Kalinda. Kalinda meraih dengan tangan gemetar. Begitu matanya jatuh pada isi kertas di dalamnya,

