5

1448 Kata
Kalinda membuka kulkas kecil yang ada di sudut dapurnya, berharap menemukan sesuatu yang bisa ia olah cepat untuk sarapan pagi ini. Tapi setelah membuka pintu kulkas dan menelusuri rak satu per satu, ia hanya menemukan dua butir telur dan sebungkus sosis ayam beku. Ia membuka rice cooker, melihat sisa nasi yang tak seberapa banyaknya. Hanya cukup untuk satu porsi, dan itu pun pasti tak mengenyangkan. Apalagi dirinya saat ini tak hidup sendiri. Ada seseorang yang sudah berubah status dari duda menjadi suaminya. Kalinda menghela napas pelan. “Ya ampun… harusnya kemarin aku belanja,” gumamnya, menepuk kening sendiri. "Lupa kan jadinya" Semua rencanannya buyar total setelah mendapat pesan dari ibu tirinya. Dan dari pesan itu pula hidupnya pun berubah total. Jika ingat akan hal itu, Kalinda merasa hatinya benar-benar mendidih. Ingin sekali datang ke rumahnya dan mencabik bibir serta wajah nenek lampir itu. Jam dinding di dapur menunjukkan pukul lima lebih lima belas menit. Masih terlalu pagi. Dan sepertinya akan cukup jika Kalinda harus membuat nasi dan berbelanja kebutuhan memasak pagi ini. Ia pun berjalan keluar dengan sebelumnya mengambil kardigan yang ada di sofa ruang tengahnya. Menutupi kaosnya yang kebesaran dengan celana pendek yang dia kenakan. Masih sopan pikirnya. Beruntung warung Bu Murni sudah buka, warung kelontong dan sayuran yang hanya berjarak tiga rumah dari kontrakannya. Namun baru saja menutup pagar kontrakan, langkah Kalinda langsung terhenti ketika melihat dua sosok yang selalu kepo dengan hidupnya, Bu Ety dan Bu Nunuk. Mendadak perasaan Kalinda tak enak. Seperti ada hawa-hawa makhluk astral yang sengaja mendekat ke arahnya. Dua wanita paruh baya yang terkenal dengan mulut besarnya. Duet maut kata orang-orang. Yang tak pernah melewatkan kesempatan untuk mengomentari hidup orang lain. Kalinda menarik napas panjang, seakan menyiapkan mental sebelum bersitatap. “Pagi, Bu Ety, Bu Nunuk.” sapa Kalinda kaku. “Oh, pagi, Mbak Kalinda… Wah, pagi juga pengantin baru bangunnya,” sahut Bu Ety sambil tersenyum, namun matanya menelusuri Kalinda dari atas ke bawah. Bu Nunuk menambahkan, “seger nih? Enak dong yang udah halal, nggak sembunyi-sembunyi lagi kalau ketemuan" Kalinda tau, kalimat itu adalah sindiran untuknya. Kalinda hanya tertawa pelan, meski dalam hati ingin sekali menarik bibir meraka agar semakin dower saja. Tapi ia tahan. Ia adalah orang baru di sini. Jadi sebisa mungkin dirinya harus menjaga sikap. Kalinda berusaha mempercepat langkahnya, berharap bisa segera sampai di warung Bu Murni tanpa harus meladeni celotehan dua makhluk berisik di belakangnya. Namun, sayangnya takdir berkata lain. Begitu ia memasuki warung Bu Murni, langkah Bu Ety dan Bu Nunuk justru mengikutinya masuk dengan penuh semangat. “Wah, ketemu lagi,” celetuk Bu Nunuk, dengan lirikan julitnya. Bu Murni yang sedang menata ikatan sayur bayam menoleh dan tersenyum hangat. “Eh, Mbak Kalinda… pagi, Nak. Mau masak apa?” “Iya, Bu. Telur sama sosis doang yang ada di kulkas. Saya beli bayam, tahu sama ayam aja, ya,” jawab Kalinda, tetap menjaga nada ramah meski wajahnya sudah mulai kaku. “duh… jadi sekarang udah masak buat suami, ya?” celetuk Bu Ety sambil tergelak, matanya memicing seolah tengah menilai. “mau dimasakin apa nih suami barunya?" sambung Bu Nunuk enteng, seperti menusukkan jarum halus ke d**a Kalinda. Kalinda menarik napas panjang, menunduk sedikit sambil memilih tahu di baskom plastik biru. Ia tahu benar arah obrolan itu. Sejak awal pindah dan pernikahannya yang dadakan tadi malam, para tetangga ini tak pernah benar-benar diam. Seolah mencari celah untuk menjadi bahan pembucaraan. “Yah, gimana lagi, beruntung juga sih mas duda tampan kita mau bertanggung jawab." suara Bu Ety melambat, seolah tengah mengisahkan drama sinetron. Bu Murni yang dari tadi hanya mengamati akhirnya menepuk pelan rak kayunya. “Bu Ety… Bu Nunuk… belanjanya udah selesai belum? Saya mau catat dulu biar nggak kelupaan, nih. Belanjaan yang kemarin di bayar dulu ya. Jangan nggak dibayar. Buat muter ini” Kalinda yang sedari tadi menahan diri, mengernyit pelan. Ia tersenyum tipis, bukan karena geli, tapi lebih ke sinis yang ditahan rapi. “Loh, maaf Bu Murni... emang kurangnya berapa, Bu?” “Heh, kenapa nanya-nanya? Emang kamu mau bayarin? Nggak usah ikut camput deh orang baru” sergah Bu Nunuk dengan nada tinggi, alisnya terangkat sinis. “Kalau iya?” Kalinda membalas sambil membuka dompet kecil dari kantong kardigannya. “Saya cuma kasihan aja. Kalau yang dibicarakan itu hidup saya, masa utangnya belum lunas? Kok suka banget gitu ngurusin hidup orang” ucapnya datar namun tajam. Bu Murni buru-buru menjawab, takut keadaan makin panas, “Kemarin kurangnya seratus lima puluh ribu, Mbak Kalinda…” “Ini, Bu,” Kalinda menyerahkan dua lembar uang seratus dan satu lembar uang lima puluh ribu dengan anggun, tanpa banyak bicara. “Yang lima puluh ribu, anggap aja buat tambahan modal sayuran Ibu. Dan maaf ya Bu Ety, Bu Nunuk… saya lebih suka suami yang tanggung jawab, walau duda, daripada yang masih lajang tapi kerjaannya cuma ngurusin hidup orang lain. Dan ya, kalau bu Nunuk dan Bu Ety nggak tau situasinya, saya sarankan nggak usah ngomong yang nggak-nggak bu” Sunyi sesaat. Hanya terdengar suara kantong plastik dan hembusan napas panjang Bu Murni yang entah sedang menahan tawa atau heran pada keberanian Kalinda. Bu Nunuk yang biasanya nyinyir, mendadak membenarkan daster lusuhnya sambil manyun. Sementara Bu Ety pura-pura memilih kangkung, padahal tangannya gemetar ingin cepat-cepat pulang. Kalinda merapikan belanjaannya, lalu tersenyum ramah kepada Bu Murni. “Makasih, Bu. Oh iya, maaf ya bu, pagi-pagi udah buat warung ibu rame karena saya.” Bu Murni hanya bisa mengangguk dengan wajah campur aduk antara kagum dan terhibur. “Matur nuwun, Mbak Kalinda. Nggak usah dimasukin hati omongan orang.” Kalinda mengangguk. “Saya nggak punya tempat lagi buat naruh hati yang kosong, Bu. Jadi aman.” Lalu ia melangkah pulang, dengan kepala tegak dan langkah ringan—meninggalkan dua wanita yang akhirnya memilih diam dan menunduk. Kalinda terus berjalan dengan bibir yang menggerutu akan kejadian yang baru saja terjadi. Pagi-pagi sudah dihadapkan dengan dua wanita paruhbaya yang problematik. "Ada aja orang kek gitu. Pagi-pagi udah nabung dosa" Sungut Kalinda kesal dengan jalannya yang sedikit menghentak. "Hidup tuh baik-baik aja di dunia. Siapa tau umur nggak panjang. Daripada buat ngomongin orang, mending buat ngaji gitu kek. Atau nyuci, ngepel kek. Biar rumah bersih, hati juga bersih," gerutunya berlanjut. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan tak ada yang mengekor. Meskipun tahu, mereka cukup jago menyebar omongan tanpa harus hadir langsung. Juga melihat apa masih berani membuntuti Kalinda. Tangannya mendorong pintu kontrakan dengan sedikit tenaga berlebih. BLUMM. Suara pintu dibanting sengaja memang, karena Kalinda yang sudah menahan kesal dan jadilah pintu sebagai pelampiasannya. Hingga membuat dinding dan jendela serasa bergetar. Bahkan, Bram yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit pinggang, spontan bertanya, apalagi melihat istrinya yang masuk dengan bibir manyun dan grutuan tak jelas. "Ya Allah, Dek! Kamu kenapa sih?" tanya Bram dengan kening mengkerut. Rambutnya masih basah, beberapa tetes air mengalir dari tengkuk ke d**a bidangnya. Kalinda yang masih tak sadar pun mendongak "Itu teta—ya Allah, Mas! Bisa nggak sih, ke mana-mana itu jangan cuma pakai handuk doang? Kebiasaan banget sih!" Suaranya meninggi. Lagi dan lagi. Bram dengan penampilan minimnya. Selalu seperti ini. Wajah Kalinda seketika memerah. Sudah emosi dengan tetangganya ketambahan dengan dikejutkan oleh suaminya. Ini kedua kalinya ia memergoki suaminya hanya berbalut handuk. Yang pertama? Waktu mereka belum menikah. Dan sekarang? Ya, halal sih. Tapi bukan berarti boleh seenaknya mondar-mandir dengan seperti itu! Bram hanya tersenyum miring, menyender ke dinding. "Kita udah nikah, Dek. Mas udah sah pamer dada." "Tau, tapi itu burungnya dikarungin yang bener. Ntar melorot tau rasa" Omel Kalinda sambil berjalan melewati suaminya. Segera ke dapur untuk menunaikan niatnya memasak sarapan. Bram tergelak pelan. “Iya, iya mas ambil baju dulu ke rumah." "Bentar, mau kemana? " Tanya Kalinda saat melihat Bram hendak berjalan ke depan. "Pulang Dek, ambil baju" Dengan suara lembutnya, dengan bahunya yang melorot. Baru tau kalau istrinya ini crewetnya minta ampun. "Terus ngapain jalan ke depan?" "Lah terus mau lewat mana? " "Mas! " Decak Kalinda. "Kamu mau lewat depan rumah cuma pakai handuk doang? Pakai baju dulu sana. Kalau nggak lewat belakang aja" Bram memindai penampilannya. Baru sadar jika apa yang dikatakan istrinya benar. Dengan meringis Bram pun berjalan ke arah dapur untuk lewat pintu belakang. Namun dengan gerakan cepat, entah keberanian dari mana, pikiran dari mana Bram memeluk pinggang istrinya dari belakang yang saat itu sedang memotong tahu dan ayam. "Mas Brammm!! " Pekik Kalina saat Bram berhasil memberi kecupan di pipi kanan istrinya. Bram yang merasa menang berlari dengan handuknya ke jalan yang menghubungkan pintu belakang rumahnya dengan tawanya yang menggema. "Makasih sayang pipinya" Ucapnya yang sudah ada di pintu belakang rumahnya dengan melambaikan tangan. "Awas kamu" Ucapnya sambil mengacungkan pisau yang ada di tangan kanannya ke arah suaminya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN