“Ini buat kamu.” Bram meletakkan sebuah kartu berwarna hitam tepat di hadapan Kalinda yang sedang menyendokkan nasi ke piring.
Kalinda mengernyit, meski matanya langsung mengenali kartu apa yang diberikan suaminya itu padanya. “Untuk aku? Buat apa?” tanyanya memastikan, sebagai RM bank, tentu ia paham betul jenis dan fasilitas kartu itu.
“Kamu kerja di bank kan? Masa nggak tahu, Dek?” ucap Bram sambil tertawa kecil, lalu memasukkan laptop dan berkas-berkas kuliahnya ke dalam tas kerja.
Kalinda mendesah, menoleh dengan tatapan malas. “Ck. Nggak usah mulai. Ya tahu lah. Tapi buat apa sih?” jika seperti ini, mulai suaminya dalam mode menyebalkan.
“Anggap aja nafkahku buat kamu.” Bram mendekat, lalu mengacak lembut rambut Kalinda yang dibiarkan tergerai.
“Tapi... berlebihan nggak sih? Ini tuh kartu premier, Mas. Batas limitnya...” Kalinda menoleh, matanya mengerjap tak percaya.
“Tidak kalau kamu yang pakai, Dek.”
“Aku masih kerja, Mas. Jadi... nggak usah. Kamu simpen aja,” Kalinda menyodorkan kartu itu kembali, hendak menolaknya. Tak enak rasanya.
Namun tangan Bram menahan tangannya. Tatapan matanya berubah lebih dalam. “Jangan buat Mas berdosa, Dek.”
Kalinda mengerjap, tak jadi membantah. Kalimat itu seperti pukulan telak. Ia tak ingin menolak niat baik suaminya—apalagi jika sampai membuat Bram merasa tak dihargai. Tapi jujur saja Kalinda tak enak sendiri jika kartu itu harus dia bawa.
“Ya udah,” gumam Kalinda pelan. “Aku terima ya, Mas… nafkah kamu.”
Senyum Bram merekah. Ia menunduk, mencium kening istrinya lembut. Lagi-lagi perlakuan lembut Bram itu seketika membuat Kalinda terpaku. Dia masih belum terbiasa dengan kehidupan barunya ini. Tapi entah kenapa suaminya itu seakan tak punya radar canggung atau beban. Apa karena dia seorang duda. Jadi... Lebih berpengalaman.
---
Pagi itu mereka bersiap berangkat. Kalinda hendak menuju bank tempatnya bekerja, sementara Bram akan mengajar di kampus. Mereka sudah sepakat tinggal di kediaman Bram sendiri. Tepatnya di samping kontrakan milik Kalinda. Sedangkan kontrakan milik Kalinda dia alih fungsikan untuk dia sewakan lagi. Lumayan uangnya bisa mengganti rugi miliknya. Perempuan sekali bukan?
Sebelum Kalinda selesai berdandan, Bram sudah lebih dulu turun ke halaman. Ia membuka gerbang rumahnya lebar-lebar, lalu melangkah ke garasi dengan warna abu untuk tembok, dan warna hitam untuk lantainya. Segera dirinya memanaskan mobil merah milik istrinya. Tangannya lincah menyalakan mesin Yaris itu sambil memeriksa tekanan ban dan wiper.
Pemandangan itu tak luput dari dua pasang mata yang selalu haus akan bahan obrolan: Bu Ety dan Bu Nunuk, dua tetangga paruh baya yang selalu siaga di kursi rotan depan rumahnya.
“Ya Allah, itu Mas Bram ya? Kok tambah seger aja Mas?”
“Iya, Nun. Itu Mas Bram ngapain ya? Masak iya cowok jaman sekarang gitu amat. Suami kok mau-maunya nyiapin mobil istri. Kaya babu aja.”
“Ih, bener! Padahal baru juga nikah. Lihat aja nanti, pasti bosennya cepet.”
Tapi Bram tak peduli. Bahkan saat kedua wanita itu dengan jelas menyeringai ke arahnya, ia tetap tersenyum. Lalu berjalan masuk ke dalam untuk memanggil Kalinda.
“Dek, mobilmu udah siap. Tinggal pakai aja.”
Kalinda turun sambil menenteng tas dan map kerjanya. Ia menyipitkan mata saat melihat dua ibu tetangga yang beberapa hari lalu dia balas perkataan pedas mereka. Tapi masih saja tak kapok. Bahkan Ia tahu benar gaya itu. Tapi ia memilih mengabaikan.
“Mas, makasih ya.” Kalinda mencium punggung tangan suaminya.
“Sama-sama Dek. Kamu hati-hati ya dijalan,” ucap Bram sembari membukakan pintu mobil untuk Kalinda.
Kalinda naik, duduk sambil melirik Bram yang berdiri di luar. “Kamu yakin nggak mau ikut naik bareng aja Mas? Kan bisa mampir ke kampus dulu.”
“Nggak apa. Kamu duluan aja. Mas bentar lagi juga jalan kok,” jawab Bram santai.
Kalinda mengangguk, lalu menyalakan mesin mobilnya. Bram menepuk kap mobil pelan. “kabari Mas kalau udah nyampe.”
Kalinda tersenyum. “Iya, Pak Dosen.”
Dan mobil merah itu meluncur keluar halaman, melewati tatapan para tetangga yang masih saja tak puas bergunjing, sementara Bram kembali masuk ke rumah sebentar untuk mengambil kunci mobilnya.
---
Sebelum ke kampus Bram membelokkan mobilnya ke arah jalur lain. Dia hendak mendatangi kantornya terlebih dahulu. Ada sesuatu hal yang harus dia selesaikan. Dan ini lebih penting dari acara mengajarnya. Toh jam dia mengajar hanya ada dua mata kuliah hari ini. Di jam sebelas dan di jam satu siang.
Mobil hitam itu berhenti pelan di depan lobi gedung tinggi dengan dinding kaca dan logo mencolok berwarna biru tua. Tertulis besar di atasnya:
"Nayaka Life Insurance"
Sebuah perusahaan asuransi jiwa ternama yang berkantor pusat di jantung kota. Bram membuka pintu mobil, melangkah mantap sambil merapikan lengan kemejanya.
Tidak ada atribut dosen pagi ini. Hanya pria elegan dengan tas kerja kulit asli, jam tangan klasik, dan aura profesional yang berbeda dari kesehariannya di kampus.
“Selamat pagi, Pak Bram,” sapa satpam di depan lobi dengan ramah. Menyambut sang pemilik hadir pagi ini.
“Pagi. Ada rapat jam sembilan?” tanyanya ringan sambil menunjukkan ID Card bertuliskan.
Bramastya Aryadinata – Direktur Operasional
Nayaka Life Insurance..
“Iya, Pak. Sudah ditunggu di lantai delapan,” jawab satpam itu cepat.
Bram mengangguk dan masuk ke lift dengan sikap tenang. Tak banyak yang tahu, bahkan Kalinda—istri yang baru ia nikahi—belum mengetahui sisi lain dirinya. Selama ini, Bram hanya memperkenalkan dirinya sebagai dosen dan pengajar lepas. Ia memang mengajar—itu tidak bohong. Tapi identitasnya sebagai salah satu petinggi di Nayaka Life adalah sesuatu yang ia sembunyikan.
Bukan karena tidak percaya pada Kalinda. Tapi karena ia ingin dicintai sebagai Bram yang sederhana, bukan sebagai pria berkekuasaan dan bergelimang harta. Dia tak ingin dirinya yang lain lebih mencolok dibandingkan dengan dirinya yang saat ini. Entahlah, ada ketakutan tersendiri jika mengingat untuk apa dia menyembunyikan statusnya. AaS
Dalam lift yang sudah tertutup, Bram menarik napas dalam-dalam. Ia menatap pantulan dirinya yang terlihat samar di dinding logam, dihadapannya.
Dalam sekejab, dirinya sampai di lantai delapan, ruang rapat utama Nayaka Life Insurance. Ruangan itu penuh oleh jajaran eksekutif muda, manajer divisi, dan beberapa analis strategi. Di ujung meja oval panjang, Bram memilih duduk disana dengan tenang, bukan memilih, memang itu tempatnya. Dengan mengenakan jas abu tua dan dasi hitam. Setelan yang disiapkan oleh istrinya. Istri yang baru dia nikahi tiga hari ini.
Di depannya, Bram sudah membuka laptop dengan grafik pertumbuhan dana nasabah, laporan lainnya dan strategi marketing kuartal berikutnya.
“Jadi, kesimpulannya, kita akan mulai penetrasi ke pasar digital dengan memperkuat unit Syariah. Fokuskan pada nasabah milenial dan keluarga muda,” ujar Bram mantap, suaranya tenang dengan tatapan tajam seperti biasanya.
Seseorang dari tim strategi mengangkat tangan, “Maaf, Pak Bram. Untuk divisi Syariah, kami masih menunggu konfirmasi kerja sama dengan pihak kampus, mengenai program literasi asuransi keluarga…”
Bram mengangguk. “Saya akan handle itu langsung. Kebetulan, saya punya akses ke beberapa rektorat. Sertakan juga lembaga kemahasiswaan dalam agenda edukasi.”
Semua mencatat. Tidak ada yang membantah. Aura Bram pagi ini benar-benar mencermintak seorang pemimpin perusahaan. Dengan keputusan besar yang selalu dia ambil tanpa membuang waktu. Maka itulah yang membuat perusahaan dengan berbasis asuransi dan keuangan ini berkembang dengan pesat.
Bram menoleh saat suara wanita memecah fokusnya yang bernicara dengan Laksa. Dia adalah Luna yang sudah tersenyum ke arahnya, menjabat sebagai humas.
“Pak Bram, untuk sesi media nanti sore, Bapak bisa hadir?”
“Saya akan cek jadwal. Kalau istri saya izinkan,” jawabnya enteng, sambil menutup laptop. Terdengar riuh tawa kecil dan juga berbagai pertanyaan.
Laksa dengan kebwraniannya yang memang dekat dengan Bram sedikit mengikis jarak. "Udah nikah? Kapan? Kok gue nggak tau?" Tanyanya membuat Bram menoleh langsung ke Laksa.
Bram berdeham. "Harus aku umumkan begitu?" Tanya Bram dengan nada suara sekecil mungkin.
Laksa hanya mengankat bahunya acuh dan memilih kembali ke tempatnya. Bram tau, bukan hanya Laksa. Tapi semua orang yang ada disini sedang memperhatikannya karena statement yang dia ucapkan barusan. Hanya masalah 'istri saya iznkan'.
Setelah rapat bubar, Bram berdiri dan berbicara pada sekretarisnya, Livia.
“Vi, tolong agendakan pertemuan dengan partner kita dari Singapura minggu depan. Dan satu lagi, jangan cantumkan jam mengajar saya di kampus dalam kalender publik. Ah ya, dan untuk pernikahan saya. Tidak perlu di sembunyikan. Jika ada yang bertanya jawab saja. Jika tidak ada. Lebih baik diam”
Livia mengangguk, mencatat cepat. “Siap, Pak Bram. Oh ya, ini ada undangan gala dinner Nayaka Foundation minggu depan. Apakah akan datang sendiri atau dengan pasangan?”
Bram tersenyum kecil. “Saya akan datang dengan istri saya. Harap catat namanya, Kalinda Prameswari.”