Bram membuka gerbang rumahnya lebar-lebar, di belakangnya ada Kalinda yang juga sudah bersiap. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan, dimana jam masuk Kalinda untuk kantornya kurang setengah jam lagi. Sedangkan Bram ada jam kuliah di jam satu siang. Tapi seperti biasa dirinya pergi ke kantornya terlebih dahulu.
"Mas, barang kamu udah dibawa semua kan? Nggak ada yang ketinggalan?" Tanya Kalinda yang sudah akan membuka pintu sisi penumpang.
"Udah Dek, punya adek gimana? "
"Udah semua kok"
"Aduh-aduh, tumben berangkat barengan Mas Bram sama Mbak Kalinda? " Suara bu RT menyapa Kalinda dan Bram.
"Iya bu, sekalian saja saya antar istri saya" Bram yang menjawab pertanyaan itu. Sedangkan Kalinda hanya tersenyum di tempatnya.
"Senengnya lihat pasangan muda bisa akur begini" Bu Rt dengan senyum manisnya, manis-manis geli. "Oh iya mas, suami saya pesen ke mas Bram. Nanti ada pertemuan warga ya mas. Jangan lupa di rumahnya Pak Sakti"
"Oh iya bu, sehabis isya' kan bu? " Tanya Bram memastikan.
"Iya mas" Bu RT mengangguk. "Ya sudah. Mbak kalinda sama Mas Bram hati-hati ya kalau berangkat"
"Iya bu, terima kasih" Sekarang Kalinda yang menjawab. Dengan anggukan sopan.
_____
Mobil Genesis G80 berwarna hitam legam itu berhenti tepat di halaman lobi gedung Bank Swasta tempat Kalinda bekerja. Bram menginjak rem perlahan, lalu mematikan mesin. Suara AC dan suara lalu lalang kendaraan di luar sana menjadi latar kesunyian di dalam mobil pagi itu.
Di kursi penumpang, Kalinda sibuk merapikan scarf seragam bank yang melingkar manis di leher jenjangnya. Ia memastikan lipstik nude yang dipakainya tak memudar, lalu melirik bayangan wajahnya dari cermin yang dia bawa.
"Mas, gimana? Rapi nggak?" tanyanya sambil menoleh ke arah suaminya.
Bram menatap Kalinda dalam-dalam. "Cantik, Dek... Udah pas semua."
Kalinda tersenyum, lalu melirik ke bawah—merapikan bagian bawah roknya yang sedikit terangkat saat duduk. Namun mata tajam Bram langsung mengamati.
“Dek... itu rok kamu kependekan banget nggak sih?” suaranya agak menggeram pelan.
Kalinda menahan tawa. “Ini standar Mas. Emang agak naik pas duduk. Tapi kalau berdiri, normal kok.”
Bram menghela napas dalam, lalu bersandar pada jok, menatap lurus ke depan seolah sedang berusaha mengatur ulang emosinya. “Mas nggak suka... Tapi ya udahlah. Kerjanya hati-hati. Nanti Mas jemput sore.”
“Siap, Pak Suami,” ledek Kalinda, lalu meraih tangan Bram. Ia mengecup punggung tangan suaminya pelan, lembut. Baru saja Kalinda hendak menarik tangannya dari tangan suaminya, Bram kembali menarik tangan Kalinda kembali.
“Dek, sebentar,” gumam Bram. Dalam satu gerakan halus, tangan besarnya sudah menangkup tengkuk Kalinda, menarik wajah istrinya mendekat.
Seketika, bibir mereka bertemu—namun kali ini bukan sekadar kecupan singkat seperti sebelumnya. Bram melumat bibir Kalinda dengan dalam namun lembut, menggeser posisinya dengan sedikit mendominasi. Kalinda sempat mendorong d**a suaminya, bukan karena marah… tapi karena nafasnya mulai tersengal oleh serangan tak terduga itu.
Bram mengulum bibir bawah Kalinda sejenak, membuat pipi istrinya panas membara. Dan saat ia melepasnya, ia masih sempat menyeka sudut bibir Kalinda dengan ibu jarinya.
“Udah. Bekal semangat buat kamu kerja,” ucap Bram santai, seolah tak baru saja mencuri napas istrinya.
Kalinda hanya bisa menunduk, wajahnya merona habis. Tangannya menggenggam tas dengan kaku. “Aku masuk ya, Mas. Mas juga hati-hati di jalan…”
“Iya, cantikku. Jangan lupa makan siang. Mas kerja dulu ya,” ujar Bram masih dengan nada genit.
Kalinda buru-buru membuka pintu dan melangkah turun, berharap hembusan angin pagi bisa sedikit mendinginkan wajahnya yang masih terbakar oleh rasa panas yang disebabkan oleh suaminya. Sedangkan sang pria, dari balik kaca, Bram tersenyum puas. Duniaku... pikirnya. Wanita itu kini adalah duniaku.
Kaki Kalinda seakan tak kuat untuk bisa menapak dengan tegak. Ciuman suaminya saat di mobil benar-benar membuat tubuhnya melemas. Seperti jely yang jika tidak ia tahan-tahan bisa meleyot dan ambruk.
Jangankan menatap penuh percaya diri kedepan seperti biasanya. Untuk menjawab sapaan dari teman-temannya, Kalinda hanya mampu mengangguk tanpa menunjukkan wajahnya. Karena ia yakin, wajahnya saat ini pasti memerah. Hingga dirinya sedikit berlari untuk bisa segera masuk ke dalam ruang kerjanya.
"Kal? " Rere mengernyit melihat Kalinda langsung nyelonong melwatinya.
"Ntar aja"
"Kenapa kamu? "
"Aku oke" Jawab Kalinda cepat.
Rere hanya meringis. Menggelwngkan kepalanya dan kembali untuk bersiap ke meja teller.
Di dalam lift, kaki Kalinda tak bisa diam. Tumit sepatunya menghentak-hentak kecil ke lantai lift, gugup yang jelas. Gerakan itu menimbuklan suara yang cukup mengganggu hingga seorang karyawan paruh baya di sudut lift berdehem pelan. Kalinda sontak menghentikan hentakannya dan tersenyum kaku. Malu. Tapi tetap dengan wajah yang setengah menunduk.
"Kan jadi bego gini, Kal..." gumamnya dalam hati. Wajahnya masih memanas saat teringat perlakuan suaminya di dalam mobil. Bahkan Kalinda masih bisa merasakan bagaimana bibir Bram menempel, ah bukan, melumatnya dengan hangat. Sensasinya masih bisa ia rasakan.
Begitu lift terbuka, Kalinda melangkah cepat. Tumitnya berderap menuju ruang kerjanya yang cukup tenang pagi ini. Baru saja membuka ruang kerjanya, Kalinda sudah di sambut oleh berkas-berkas dari Pak Junaedi yang harus dia pelajari sebagai pengganti pembicara di acara besok.
Kalinda masih terus membaca berkas yang ada di hadapannya, menyiapkan bahan untuk presentasi besok. Dengan laptop yang ada di hadapannya. Menyusun materi. Menyusun pertanyaan untuk tanya jawab dan lain sebagainya. Namun ditengah-tengah Kalinda serius Intan masuk dengan setengah berlari dengan wajah yang antusias.
“Kalinda!”
Kalinda mendongak. Hanya menampilkan senyum, lalu kening mengkerut.
“Kamu kok nggak bilang sih, Kal?!”
Kalinda semakin bingung. “Bilang apa?”
“Ini!” Intan menyodorkan layar ponselnya. Di sana, halaman resmi Nayaka Life terpampang. Foto seorang pria berjas, tampan dan kharismatik, dengan segala data yang melengkapinya.
Kalinda mengambil ponsel milik Intan. Membacanya dengan fokus penuhnya. Di sana tertulis.
---
Prof. Bramasta Aryadinata, SE., MM
Founder & CEO Nayaka Life Insurance
Dosen Senior – Universitas Pratama Nusantara
Lulusan S2 – The University of Sydney, Australia
Penghargaan: Top 50 Influential Businessman in Financial Sector (Forbes Asia, 2023)
---
“Ini... suami kamu kan, Kal?” Intan kembali antusias saat bertanya pada Kalinda. “Kamu kok nggak bilang sih kalau suamimu tuh... ya ampun, pebisnis sukses sekaligus dosen senior juga!”
Kalinda hanya bisa ternganga sejenak. Kepalanya masih susah memproses, apalagi dengan wajah suaminya yang tampil gagah dan sangat berwibawa di halaman profil Nayaka Life. Otaknya tiba-tiba seakan memproses sesuatu. Dari segala yang Kalinda tau beberapa minggu ini. Dari Bram yang memberinya black card untuk kebutuhannya, semua benda dan semua baju yang disediakan Bram untuk Kalinda. Jika di urut, gaji seorang dosen tak sebesar itu.
“Tan, sssst! Jangan kenceng-kenceng ngomongnya,” Kalinda buru-buru menyuruh Kalinda untuk mengecilkan volume suaranya. Bukan apa ia hanya tak ingin menjadi pusat perhatian. Itu saja.
“Lah, bangga dong! Seorang Bram gitu. Kalau aku punya suami spek suami kamu nggak perlu lama-lama udah aku umumin Kal?” goda Intan dengan tawa pelan.
Kalinda menghela napas panjang. “Baru dua minggu, Tan. Aku juga baru tahu suamiku punya bisnis sebesar itu. Kupikir ya cuma dosen... dosen senior, ya paling gitu-gitu aja.”
“Senior sih iya, tapi senior yang level sultan, Kal,” celetuk Intan.
Kalinda hanya bisa menggeleng lemah. Tapi detik berikutnya, Intan memicingkan mata, memerhatikan wajah Kalinda lebih seksama.
“Eh...” gumam Intan curiga. “Kamu... habis ngapain pagi-pagi tadi?”
Kalinda mengerutkan dahi. “Ngapain apaan sih?”
Intan malah tersenyum jahil. Tangannya menunjuk ke bibir Kalinda yang dari tadi memang masih tampak sedikit glossy dengan warna nude yang tak merata.
“Kal, cuma mau ngasih saran ya... Kalau abis ciuman, make up-nya dibenerin dulu, sayang. Lipstikmu tuh udah kaya bekas kegesek, bibirmu merah sebelah!” bisiknya penuh arti.
“Astaga—” Kalinda spontan membalik cermin kecil dari dalam lacinya, memeriksa penampilannya.
Dan benar saja.
Lipstiknya berantakan. Sudut bibir bawahnya agak memerah. Dan ia baru ingat... pagi tadi, di dalam mobil...
Kalinda langsung menunduk dalam-dalam. Wajahnya memerah, sampai ke telinga. “Ya Allah, maluuu...”
Intan tertawa kecil, puas menggoda sahabatnya. “Ya udahlah, Kal. Namanya juga istri sah. Bebas. Tapi tetep ya... jangan sampai satu kantor liat. Ntar rame.”
Kalinda hanya bisa menggeleng, menutup wajahnya dengan tangan. "Mas, gara-gara kamu..."