10

1295 Kata
Kalinda melewati malam ini dengan banyak senyum dan bercanda. Sampai dia lupa akan masalah yang beberapa hari ini menumpuk dalam otaknya. Bahkan dirinya pun sepertinya sudah lupa masalah insiden pernikahan dadakannya. Sudah Ikhlas mungkin. Semoga saja. Teman-teman Kalinda sudah pulang sekitar setengah jam yang lalu. Tepat di pukul sepuluh malam. Mereka yang memang kebanyakan hidup sendiri di kota perantauan ini. Seakan tak masalah pulang di jam tersebut. "Kamu nggak capek Dek? Sini biar mas yang terusin" Bram sudah berada tepat dibelakang tubuh Kalinda. "Nggak usah mas, tinggal piringnya aja ini" Tanpa menoleh Kalinda terus memberi sabun pada piring yang hanya tinggal empat itu. "Nggak papa, sini biar mas yang bilas. Adek yang kasih sabun aja" Bram menggeser tubuhnya hingga berdiri tepat di samping Kalinda. Membuat bahu mereka bersentuhan. "Kenapa nggak ikut makan tadi? " Tanya Bram yang ingat jika istrinya tak makan saat teman-temannya makan bersama dwngan nasi goreng yang Bram panggil saat lewat depan rumahnya. Kalinda menoleh. Mendongak ke arah suaminya yang memang tinggi itu. "Lemu aku nanti" Kekeh Kalinda. "Lemu nggak papa kok. Semakin semok ntar" Celetuh Bram membuat Kalinda melotot horor. "Apanya? " Tak menjawab hanya memberi kode lewat mata dan alisnya yang naik turun. "Mas, kamu orangnya m***m ya ternyata? " Kalinda geleng-gelwng kepala. "Kan mas kayak gitu cuma ke adek aja" "Halah. Ke mantan istri mas juga kan? " Mendadak hening. Tak ada balasan lagi dari Bram yang hanya menatap istrinya. Kalinda yang merasa ditatap pun menoleh ke arah suaminya. Tak ada kemarahan disana. Tak ada ekspresi apapun lebih tepatnya. Membuat Kalinda seakan susah untuk menelan ludahnya. Apa dia salah? Apa Bram tak ingin jika seseorang mengungkit masa lalunya, sekalipun itu dirinya? "M-mas, maaf. Kalinda salah bicara ya? " Bram menghel nafas panjang. "Nggak, adek nggak salah kok." Jawaban itu semakin membuat Kalinda merasa bersalah. Kenapa ini bibirnya lancang sekali? Main tabrak aja. Kalau sudah begini Kalinda harus apa? "Kok diem? Adek sudah selesai kan?" Bram tak menjawab, tapi masih tetap lembut untuk bicara pada istrinya. "Iya Mas, Mas nggak ikut ke kamar? " Tanya Kalinda memberanikan diri. Bram menggeleng. "Adek tidur aja dulu. Mas nanti nyusul. Mas ada kerjaan dari kampu" Tangan besar Bram terulur untuk mengelus puncak kepala istrinya. Mentap-tapnya, kemudianmemberi kecupan di kening Kalinda. Kalinda melangkah menuju tangga dengan langkah pelan, membawa beban perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Setiap anak tangga yang ia lewati seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Kenapa sih, Lin... harus ungkit masa lalu? Begitu sampai di kamar, Kalinda langsung duduk di tepi ranjang. Matanya tertuju ke pintu yang masih terbuka sedikit, menanti apakah Bram akan menyusul atau tidak. Tapi tak ada suara langkah kaki. Menandakan Bram tak akan langsung masuk ke kamar. Kalinda menunduk. Mengutuk dirinya sendiri dalam diam. “Bodoh... kenapa sih harus nyinggung soal mantannya segala?” gumamnya pelan. Kalinda tahu. Ia bukan wanita pertama di hati Bram. Tapi mendadak ia tersadar... mungkin ia belum benar-benar siap menerima kenyataan bahwa sebelum dirinya, ada sosok lain yang pernah menjadi tempat pulang bagi suaminya. Seseorang yang mungkin pernah singgah di hati Bram dengan cara yang lebih dalam. Lebih hangat. Lebih... mencintai Bram. Ia menggeleng cepat, menepis pikiran-pikiran itu. “Nggak usah mikir yang nggak-nggak Kalin, kalau kamu nggak mau sakit nantinya" Kalinda menghembuskan napas keras-keras, seolah ingin mengusir semuanya. Sementara itu, di lantai bawah... Bram masih menatap layar laptopnya. Namun tak satu pun huruf yang ia ketik. Tatapannya kosong, pikirannya melayang pada satu orang yang tadi disebut Kalinda. Nawang. Bram menutup matanya sesaat, sebelum menunduk dalam-dalam dan bergumam, “Bukan salah kamu, Dek. Aku yang belum selesai berdamai dengan masa lalu. Aku yang belum siap untuk menceritakan masa laluku. Tapi, biarlah... kamu adalah masa depanku.” ----- Aroma ayam kecap bercampur tumisan sayuran menyebar di seluruh ruangan. Suasana dapur besar yang menyatu dengan ruang makan itu terasa hangat, meski jendela terdapat embut yang tercipta dari dinginnya udara di pagi hari. Kalinda baru saja selesai menata piring untuk dirinya dan suaminya. Dengan lauk-pauk yang juga sudah tertata di tengah-tengah meja. Menu masakan hari ini adalah ayam kecap dengan potongan sedang, bersama hiasan cabai merah besar di beberapa campuran bumbu. Telur dadar dengan irisan daun bawang di dalamnya. Sayurnya Kalinda memilih memasak menu cap cay berrisikan potongan wortel, sawi, dan jamur kuping. Suara langkah berat dari tangga menuju ke arahnya membuat Kalinda menoleh. Mendongak dan mendapat suaminya sudah berada di anak tangga terakhir. Tersenyum ke arahnya. Senyum yang mampu membuak Kalinda tertegun sesaat. Dengan celana kain bahan berwarna hitam, kaos putih oblong yang mencetak jelas garis tubuhnya. Penampilan yang fress di pagi hari ini. Atau memang karena rambutnya yang sedikit acak dan masih basah? Kalinda tak sadar jika tatapannya pun disadari oleh Bram. “Tidur jam berapa Mas kemarin?” Kalinda membuka percakapan sembari memutus kontak tatapan mereka. Bram mendekat sambil menarik kursi makan. Ia tidak langsung duduk, malah berdiri sejenak di belakang istrinya. “Jam dua lewat dikit. Adek nggak tungguin Mas, kan?” Kalinda pura-pura mencibir. “Emang aku siapa sampai harus nungguin?” “Kan Adek istrinya Mas sekarang,” jawab Bram cepat, sambil tersenyum dan akhirnya duduk. Kalinda menghela napas. “Emang mas mau ditungguin? " Ia menatap Bram sinis. Bram tertawa pelan, mengambil sendok dan mulai menyendok nasi. “Jangan dong, kasian Adek kalau nunggu mas selesai kerja" Kalinda hanya mengangkat bahu. “Mas nggak ke kampus? " "Ke kampus kok" Bram menjawab dan tersenyum setelah merasakan ayam kecap yang melebur di indra perasanya. Satu kata yang ingin Bram ucapkan. Enak. Kalinda tak lagi bertanya. Dia sama halnya dengan Bram. Mereka sama-sama merasakan sarapan pagi hari ini dengan hati yang menghangat. Tapi hanya untuk Bram. Karena jujur saja. Ini pertama kalinya dia bisa merasakan masakan yang disiapkan oleh istrinya sendiri. Di pernikahan pertamanya, Bram tak pernah merasakannya. Sedangkan Kalinda, dia masih terjebak karena merasa nersalah akan pembahasan kemarin malam. “Dek,” suara Bram menghentikan Kalinda yang sedang menyuap nasinya. “Hm?” “Kalau adek marah atau ada yang adek nggak suka dari Mas… bilang aja ya. Jangan disimpan.” Kalinda menoleh. “Aku nggak marah.” Bram tersenyum. “syukurlah kalau Adek nggak marah sama mas" Kalinda terdiam. Kemudian perlahan mengangguk. “Maaf ya, Mas…” Bram menggeleng pelan. “Nggak usah minta maaf. Adek berhak tahu masa lalu suami kamu. Tapi nanti… pelan-pelan ya. Mas nggak mau masa lalu itu malah bikin Adek terluka.” Ada jeda sejenak yang berubah menjadi Hening. Tapi bukan hening yang canggung—melainkan yang menyembuhkan. Dan pagi itu, meski masih banyak yang tak terucap, satu hal mulai tumbuh perlahan: Kepercayaan. Berharap mereka bisa memulai hubungan mereka yang serba menddak ini dengan kepercayaan. Kalinda yang semula sibuk menggosok piring terakhir di wastafel mendadak membeku saat dua tangan besar melingkar di pinggangnya. Pelukan dari belakang itu membuat tubuhnya menegang seketika, apalagi saat napas hangat Bram menyentuh sisi lehernya. “Nanti aja bersihinnya. Bentar lagi kamu kerja, Dek. Capek ntar,” bisik Bram dengan suara rendah yang terdengar manja. “Nggak papa Mas. Cuman dikit lagi kok,” Kalinda mencoba menahan detak jantungnya yang mulai tak karuan, tapi tangannya tetap bergerak menyelesaikan cucian piring. “Udah... Adek siap-siap aja sana. Biar mas yang terusin,” ucap Bram sembari mengecup pelan pundak istrinya yang hanya dibalut kaos rumah tipis itu. Kalinda spontan menarik tubuh sedikit ke depan. “Mas, ya... jangan nempel gini dong. Nggak bisa gerak ini.” Bram malah semakin mengeratkan pelukannya. “Bisa kok bisa. Gampang aja. Tinggal geser-geser dikit,” ujarnya santai, menyelipkan godaan dengan napas tertahan, seolah sedang menahan tawa geli. Kalinda berdecak, tapi tak bisa menyembunyikan rona di wajahnya yang memanas. “Mas Bram emang ngeselin ya, dari jadi tetangga samoe jdi istri,” Kalinda menyambar lap tangan dan memutar tubuhnya perlahan, mendorong pelan d**a Bram. Namun pria itu malah menyeringai, “Hari ini... Adek Mas anter ya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN