Akhirnya empat pasang kaki kini berdiri di balik pintu berwarna hitam pekat setelah meyakinkan diri dan bertanya pada dua orang tetangga dari Kalinda, meski masih ada keraguan. Padahal kalau dipikir-pikir sudah ada bukti nyata dengan adanya mobil Kalinda yang terparkir di garasi rumah ini.
Cat rumah bergaya modern minimalis itu terlihat kontras dengan taman kecil yang tertata rapi di sisi kiri carport. Tanaman yang didominasi dwngan bunga angrek dan bunga cantik lainnya. Dengan dua kursi taman dan meja kecil di tengahnya. Pandangan mereka tertuju pada bel kecil yang ada di sebelah kiri pintu.
“Yakin ini rumahnya?” tanya Rere pelan, matanya masih menjelajahi setiap sudut detail rumah yang katanya kontrakan baru Kalinda tapi tak mencerminkan rumah kontrakan sama sekali.
"Yakin," sahut Faris mantap, menampilkan ponsel di tangannya. "Ini titiknya di map, dan kata ibu-ibu tetangganya juga, ini rumahnya."
"Udah, pencet aja bel-nya," desak Intan, yang tak tau apa-apa, sudah capek dia nunggu dari tadi.
Rere yang masih memiliki keraguan meski Faris meyakinkan dengan menganggukkan kepalanya. Apalagi yang dibicarakan dengan kedua tetangga Kalinda itu. Benar-benar membuat Rere syok.
Rama pun memencet tombol yang ada di sampingnya itu. Tak menggubris Rere yang masih mengulang yakin atau tidaknya. Sudahlah apa salahnya nanti bertanya pada pemilik rumah. Sekitar dua puluh detik pintu itu dibuka. Setelah Rama menekan tombol sebanyak dua kali.
Dengan perlahan pintu itu terbuka. Cahaya hangat menyapa dari ruang tamu yang membias sampai ke pandangan mereka. Di balik pintu, menampilkan sosok pria yang berdiri dengan tubuh tegap dan sorot mata tenang. Rambutnya rapi dengan potongan comb over yang mempertegas garis rahangnya. Kaos hitam fitting yang membalut tubuh atletisnya dipadukan dengan celana bahan warna krem — terlihat santai, tapi somehow sangat... memikat.
Rere dan Intan refleks terdiam. Lalu saling senggol perlahan. Seakan mata mereka telah disuguhkan dengan ciptaan tuhan yang tak ada duanya. Rama dan Faris tampan. Tapi pria yang ada di hadapan mereka ini lebih tamoan.
“Gila, ganteng banget. Orang beneran gak sih?” bisik Rere pada Intan yang sama terpesonanya. Membuat Rama menoleh ke arah mereka dengan melotot.
"Temannya Kalinda?" Suara berat dari pria itu langsung masuk ke pendengaran mereka. Rere dan Intan semakin meleot dibuatnya. Tanpa sadar tangan mereka semakin meremas.
"Iya Mas, maaf ini bener rumahnya Kalinda? " Tanya Faris akhirnya.
Bram mengangguk dengan senyum manisnya. "Masuk saja. Saya panggilkan istri saya" Bram mempersilahkan mereka berempat untuk masuk.
"Istri? " Intan yang belum tau langsung menoleh ke arah Rere.
Rama pun juga bingung dalam diamnya. Mengikuti Faris yang lebih dulu masuk. Sedangkan kedua cewek yang ada di belakangnya semakin ribut.
"Kalian silahkan duduk dulu" Bram mempersilahkan dengan tenang sebelum berjalan ke dalam.
"Kata tetangganya mereka udah nikah. Tapi nggak tau aku kapan nikahnya. Kayaknya nggak undang-undang deh. Cuma keluarga sama tetangga mungkin" bisik Faris sambil menoleh ke arah Rama dan kedua teman wanitanya saat Bram sudah menjauh dari mereka.
Suasana di ruang tamu mulai terasa lebih hangat, meski tetap ada aroma canggung yang mengambang. Sorot mata keempat tamu Kalinda masih sesekali beralih menelusuri interior rumah. Sofa empuk berwarna abu tua dan abu muda, dinding dengan aksen batu alam, dan—yang paling mencolok—sebuah akuarium besar yang membentang secara horizontal, menjadi sekat antara ruang tamu dan ruang tengah. Ikan kecil-kecil dengan warna beragam. Seperti yang ada di kartun Finding Nemo.
“Pinter Kalinda kalau cari suami, ganteng Tan...” gumam Rere lirih ke Intan, yang hanya menjawab dengan anghukan dengan mata berbinar.
"Sstt, malu-maluin aja tau nggak kalian" Rama memberi plototan.
Tak lama, langkah kaki terdengar dari arah dalam. Memunculkan Kalinda dengan dress selutut berwarna biru navy yang anggun dan simpel. Rambutnya ia cepol rendah, namun beberapa helai tergerai bebas di sisi wajahnya. Di tangannya, nampan berisi camilan ringan: kripik yang mereka siapkan, dan martabak telur yang tadi sudah dibelikan oleh suaminya.
“Maaf ya, nunggu...” ucap Kalinda dengan senyum ramah, meski pipinya merona samar, gugup dan canggung melanda karena statusnya yang akhirnya diketahui oleh teman-temannya.
“Nggak papa kok, lagian juga baru datang.” Rere menyambut, membalas senyum dengan canggung.
Tak lama, Bram menyusul di belakang, membawa nampan berisi empat gelas minuman dan satu teko air lemon dingin. Ia meletakkannya hati-hati di meja tamu sebelum duduk di samping Kalinda. Gerakan Bram tampak begitu... akrab dan nyaman. Sangat tidak seperti pria yang baru menikah karena ‘insiden’.
"Loh Kal," potong Faris tiba-tiba, menatap Kalinda langsung. “Kata tetanggamu tadi, kamu udah nikah? Kapan?”
"Faris," desis Rama, menyikut temannya pelan.
Kalinda hanya tertawa pelan, meski canggung. Tangannya meremas rok bagian lututnya sebelum mengangguk pelan. “Ah iya, maaf ya... mendadak banget soalnya" Kalinda menoleh ke Bram, memberi isyarat, "Mas... Kenalin ini temen-temen aku”
Bram pun menegakkan tubuhnya, lalu menatap keempat tamu itu dengan tenang. “Saya Bramasta. Suaminya Kalinda. Maaf kalau pernikahan kami terkesan diam-diam. Nggak ada undangan, karena memang... ya, situasinya mendadak.” Bram menyunggingkan senyum kecil. “Kalau nanti saat resepsi, tentu kalian akan kami undang.”
Rere masih menatap mereka bergantian. “Kalian... udah lama kenal?”
“Deketnya ya sejak Kalinda pindah ke kontrakan ini. Saya tinggal di sebelahnya,” jawab Bram ringan tanpa ada yang ditutupi.
"Sebelah?" Rama memicingkan mata. "Tapi sekarang tinggal bareng?"
Kalinda tersipu. “Iya... udah jadi istri, masa tinggal sendiri?”
“Selamat ya, nggak nyangka temenku udah sold out. Ram, yang sabar ya.” Rere menepuk pundak Rama sambil menyeringai nakal. Menggoda Rama yang memang sedikit tertarik dengan Kalinda.
Guyonan itu membuat seisi ruang tamu terdiam sepersekian detik. Bahkan Intan melirik cepat ke arah Kalinda dan kemudian ke Bram, seolah ingin tahu reaksi masing-masing. Kalinda sendiri hanya tertawa hambar—mungkin geli, mungkin juga gugup. Apaan Rere ini mencari masalah saja.
Bram, di sisi lain, menoleh ke arah Rere. Tatapannya tidak marah, tapi cukup tajam untuk membuat Rere langsung mengerutkan dahi. Kemudian Bram menoleh ke arah Rama. Mata mereka bertaut singkat.
Ada sorot diam yang berbicara. Sesuatu yang hanya laki-laki bisa tangkap. Sejenak, d**a Bram memanas. Tapi ia berhasil menenangkan dirinya, menutupinya dengan sikap tenangnya. Dia sudah menikahi Kalinda. Dia sudah memegang tangan wali istrinya di depan saksi dan Tuhan.
Dan saat itulah Bram tersenyum tipis. Dia adalah pemenangnya. Yang benar-benar memiliki Kalina seutuhnya.
“Tenang saja,” ucap Bram, nadanya tetap ringan. “Saya tidak pernah menganggap Kalinda ‘sold out’. Karena Istri saya bukan barang yang dijual atau diperebutkan.”
Ia menoleh ke arah Kalinda yang tengah melipat jari tangannya gugup.
“Dia adalah anugerah… yang saya syukuri tiap hari,” lanjutnya, menatap dalam. “Dan kalau pun ada yang merasa kehilangan, mungkin belum waktunya memiliki.”
Rama hanya diam, lalu tertawa hambar. “Jangan didengerin, Mas. Rere emang suka asal kalau ngomong.”
“Heh!” Rere menyikut lengan Rama sebal.
Tawa kecil pun akhirnya kembali terdengar. Ketegangan mencair. Faris mencomot kripik, Intan sibuk memotret aquarium besar dari sudut ruangan, dan Kalinda diam-diam menatap Bram, menahan debar yang melesat seperti roket.
Tiba-tiba, ponsel Bram yang ada di saku celananya bergetar. Bram mengecek layarnya dan mendapati panggilan dari pihak kampus. Dahi Bram sedikit mengernyit.
“Maaf, saya izin angkat sebentar ya.” Bram berdiri dan menoleh ke arah Kalinda. “Dek…”
Kalinda yang hendak berdiri mengantar, terhenti saat suaminya mendekat. Dalam sekejap, Bram membungkuk, memberi kecupan singkat—namun jelas—di bibirnya. Sekilas, ringan, tapi cukup membuat napas Kalinda tercekat.
Rere dan Intan spontan mengangkat bahu, berseru bersamaan, “CIYEEEH!”
“Langsung depan umum dong, Mas!” celetuk Rere, menahan geli.
Bram hanya tertawa sambil berjalan mundur ke arah halaman depan. “Biar pada percaya kalau saya ini suaminya Kalinda." Bram beralih ke Kalinda, "Dek, mas angkat telpon dulu ya?”
Kalinda menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Wajahnya merah padam seperti udang rebus. Sedangkan Rama… hanya diam menunduk, menggenggam gelasnya lebih erat.
Intan berbisik pada Rere. “Gila sih, mas Bram… adem tapi kena banget.”
“Fix… Kalinda tuh menang banyak,” balas Rere, masih heboh sendiri.
"Terus di panggil dek lagi. 'Adek gak tuh'. Meleyot aku"
Sementara itu, dari balik kaca depan, Bram menjawab panggilan sambil memandang sesekali ke dalam. Di balik tangis dan insiden mendadak itu… dia tak menyesal menikahi Kalinda.
Sedangkan Kalinda masih membeku di sofa. Hatinya bergetar. Debarnya belum juga reda. Entah karena ciuman kedua di depan umum... atau karena tatapan suaminya yang seolah berkata: “Kamu milikku sekarang, sepenuhnya.”