8

1439 Kata
Kalinda sedang menyiapkan beberapa camilan di meja pantry. Dari kripik pisang, kacang atom, kripik tempe dan juga ada gorengan yang dibawakan oleh suaminya. Ia tak menyangka jika suaminya itu cukup perhatian dengan hal seperti ini. Dirinya tadi hanya mengirim pesan jika temannya akan berkenjung ke rumah mereka. Siapa sangka jika sepulang dari mengajar, Bram membawakannya gorengan dan martabak telur. Sebenarnya mereka ingin berkunjung ke kontrakan Kalinda. Namun kalinda yang saat ini sudah tinggal di rumah suaminya, jelas mereka akan Kalinda arahkan untuk langsung datang ke rumah yang bersebelahan dengan rumah kontrakannya. "Teman kamu jadi kesini Dek? " Tanya Bram yang sudah turun dengan kaos hitam dan celana pendek creamnya. Rambutnya yang acak-acakan tapi tak mengurangi kadar ketampanannya. "Jadi mas, mungkin habis magrib." Kalinda masih sibuk menata kripik tempenya. Mereka sudah mengabari jika tak jadi sepulang kerja. Tapi memilih berkunjung di jam setengah tujuh nanti. "Ada yang mas bisa bantu? " Tanya Bram tepat di belakang Kalinda. Kalinda yang merasakan tubuh Bram berada tepat dibelakangnya, seketika menegang. Apalagi helaan napas Bram yang memang menunduk hingga mengenai belakang telinganya. Detak jantung Kalinda memompa cepat. Membuatnya terdiam sesaat. "Dek? " "Iya mas? " Reflek Kalinda menoleh ke arah Bram hingga membuat hidung Kalinda bersentuhan dengan hidung Bram. Bram menatap wajah Kalinda yang langsung berpaling menghindarinya. Deheman lembut juga keluar dari bibir Kalinda. Mungkin dia gugup saat ini. Dan benar memang. Kalinda memang sedang gugub. Terlihat dari wajah Kalinda yang sudah memerah. Bram ingin tertawa melihat Kalinda yang mendadak salah tingkah. Terlihat dari Kalinda yang memasukkan kripik ke toples berakhir dengan kripik itu yang berantakan ke meja marmer dapur. "Sini biar Mas aja yang masukin. Mas ahli kalau buat yang masuk-masukin gini" Celetukan asal Bram mampu membuat Kalinda menatapnya. "Mas ngomong apa sih? " Kalinda meringis geli. "Lah, mas emang ngomong apa Dek? Kan emang mas jago. Ini buktinya nggak tumpah. Nggak kayak adek" Tuding Bram dengan mata yang beralih ke toples yang sudah terisi penuh dwngan kripik tempe. Kalinda pun mengikuti arah pandang Bram. Benar saja. Kripik tersebut sudah masuk kedalam toples. "Kamu mikir apa Dek... " Bram yang gemas karena pikiran Kalinda yang kemana-manapun memilih menarik gemas hidung Kalinda. Kalinda mencebik. Bibirnya mengerucut ke depan. Bisa-bisanya Kalinda berpikiran kotor. Malu kan kalau seperti ini? Gimana kalau suaminya ini berpikiran yang tidak-tidak pada dirinya. Lagi-lagi Bram dibuat gemas oleh istrinya. Dengan sekali gerakan. Bram menangkup wajah Kalinda dengan dua tangannya. Mengikis jarak dengan Bram yang sudah memiringkan kepalanya. Mengecup bibir istrinya yang masih mengerucut lucu itu. Hanya kecupan. Tak lebih. Anggap saja sebagai pemanasan. "Jangan mecucu gitu kalau nggak mau Mas gigit bibir kamu Dek" Bisik Bram dengan mengelus pipi Kalinda lembut. Sedangkan istrinya masih mematung di tempatnya. Memproses kejadian yang baru saja terjadi. Dimana benda kenyal dan hangat menempel begitu cepat di bibirnya. Hanya sekilas tapi tetap saja membekas. Membuat Kalinda merasakan detak jantungnya yang semakin menggila. "Kok malah bengong. Udah, Adek ganti baju dulu gih. Solat magrib. Bentar lagi temennya nyampek" Bram memutar tubuh istrinya dan mendorongnya lembut ke arah tangga, menyuruh istrinya untuk solat dan berganti pakaian. Kalinda menaiki tangga dengan perasaan yang tak karuan. Langkah kaki yang terasa seperti jely setelah menerima perlakuan mendadak suaminya. Lima menit yang lalu dengan tanpa aba-aba, suaminya memberi kecupan sekilas. Tangan Kalinda otomatis menyentuh bibirnya sendiri, masih terasa. "Itu tadi apa? Kecupan atau ciuman?" Kalinda segera membuka pintu, saat sampai dikamarnya, ia masuk begitu saja dan berjalan ke tempat tidur. Segera menjatuhkan diri di tempat tidur dan membenamkan wajaknya. Berteriak di sana sekencang-kenjangnya. Sungguh dadanya terasa berdentu. Meloncat-loncat. Untung ini jantung ciptaan tuhan. “Aaaahhh!!! Kalinda, waras Kal, tetep waras!” pekiknya tertahan. Ia membalik tubuhnya, menatap langit-langit kamar. Masih terbayang bagaimana Bram menatapnya, menangkup wajahnya menggunakan kedua tangan besarnya. Tatapan yang tajam sekaligus teduh. Bibir tebalnya yang, ah... Otak Kalinda sudah melayang kemana-mana. Bagaimana jika bibir itu semakin menekan miliknya? Bermain dengan bibirnya, menarik bibirnya. Oh tuhan.... “sebentar, apa itu termasuk ciuman? Atau bukan ya?" Lagi-lagi pikiran itu masuk begitu saja ke otak mungilnya. Ramai perkara bagaimana ciuman sebenarnya. Dua puluh lima tahun Kalinda hidup di dunia memang belum pernah merasakan ciuman. Pacaran hanya sebatas bergandengan tangan dan berpelukan. Itu saja tak lebih. Jika sang kekasih menginginkan hal lain pasti yang mundur duluhan adalah Kalinda. Dan itulah kelebihannya di tengah gempuran s*x before marriage. “Tau lah, terserah lah, entah ciuman atau bukan biarin. Toh udah halalan thayyiban." Kalinda bergegas ke lemari yang ada di ruang walk in close. Kalinda melangkah masuk ke ruang walk-in closet yang kini secara otomatis menyala begitu ia membuka pintu gesernya. Nuansa putih mendominasi. Lembut dan bersih. Dindingnya terlapisi cat doff warna putih tulang, berpadu manis dengan rak-rak minimalis custom yang menampung berbagai pakaian, tas, hingga sepatu-sepatu yang terjejer rapi. Kata suaminya itu adalah miliknya yang sudah disiapkan olehnya. Entah kapan? Sepertinya saat dirinya bekerja. Kalinda memutar tubuh. Memerhatikan ruangan yang belum benar-benar ia jelajahi sejak pindah ke rumah suaminya. Lemari kaca dengan sederet jam tangan pria, ikat pinggang kulit, dan parfum branded yang dia harganya tak main-main. “Suamiku... beneran dosen kah? Kok rasanya terlalu mahal gak sih barang-barangnya?” Kalinda duduk di stool putih berlapis beludru. Di depannya, kotak kecil dari butik perhiasan ternama terbuka, satu set perawatan miliknya yang juga disiapkan oleh suaminya. Matanya kembali tertuju pada kartu hitam yang tadi pagi Bram berikan. Untuk kebutuhannya. "Prof. Bramasta Aryadinata, SE., MM. Hanya dosen? " Kalinda lalu berdiri dan membuka lemari. Mengambil dress untuknya dengan panjang di bawah lutut. Tok! Tok! Tok! “Dek, temen-temen kamu udah nyampe!” suara Bram di balik pintu dengan sudah menyumbulkan kepalanya. "Iya mas, kamu nggak papa kan kalau temenku kesini? " Tanya Kalinda lagi entah sudah ke berapa kalinya. Bram menghampiri Kalinda. "Ya nggak papa lah. Orang ini juga rumah kamu Dek." "Oh iya, mereka nggak tanya gitu kamu siapa aku? " "Tanya" "Terus mas jawab apa? " "Suami kamu" **** Empat orang duduk di dalam Fortuner hitam yang kini memasuki kawasan perumahan dimana Kalinda tinggal. Kecepatan mobil pun melambat. Celetukan-celetukan selama perjalanan tadi mulai mereda. Berganti dengan mereka yang melihat pesan dari Kalinda untuk tempat tinggal. "Ini bener kan, rumah Kalinda yang ini?" Rere melongok dari kursi belakang ke arah rumah dua lantai dengan cat dominan abu-abu yang terlihat sangat mencolok dibanding rumah-rumah sekitarnya. "Ya di maps yang dikirim sih ini," Faris menjawab datar, matanya masih tertuju pada layar ponsel yang menampilkan titik lokasi. "Itu mobilnya Kalinda kan? Yaris merah," ucap Intan, menunjuk ke mobil yang terparkir rapi di carport. "Tapi... itu sedan Genesis G80? Gila, mobil siapa itu? Kok bisa ada mobil mahal beginian parkir bareng mobil Kalin?" Rere berujar setengah berbisik, memasang muka takjub. Dengan mata membesar dan tangannya yang menepuk paha Intan yang duduk di dampingnya. "Bentar… kamu curiga nggak sih sama temen kamu satu ini? Ada yang nggak dia ceritain nih ke kita" Intan menyipitkan mata, merasa memang temannya itu sedikit banyak tak banyak bercerita memang. Lebih tertutup dari yang lain. "Yaelah, udah ah, nggak usah menyimpulkan yang nggak-nggak. Siapa tau dia lagi kedatangan tamu. Saudara atau ayahnya gitu, atau abangnya." Rama ikut bersuara dari kursi pengemudi, memberi batasan pada mulut temannya yang kepo maksimal satu ini. "Ya tapi—eh! Itu ada ibu-ibu, aku tanya aja ya?," Rere cepat-cepat keluar dari mobil, dengan langkah ringan menghampiri dua wanita paruh baya yang sedang berdiri di bawah tiang lampu taman depan rumah. "Permisi, Bu. Mau nanya" "Oh iya mbak ada apa ya?" Bu Ety menghampiri wanita cantik dengan memakai dress berwarna hitam selutut. "Maaf bu, ini bener rumahnya Kalinda Prameswari?" tanya Rere sopan, sedikit membungkuk dengan jempolnya yang menunjuk rumah di depan sana. Senyum lebar Bu Ety langsung terbit, senyum yang mengandung dua arti. "Mbak Kalinda yang kerja di Bank itu ya mbak? Itu rumahnya mbak di depan." "Mbak ini temannya ya?" Bu Nunuk ikut menghampiri. "Iya bu saya temannya, mau berkunjung, kemarin waktu pindahan nggak sempet ke sini buat bantu-bantu" Jelas Rere raham. "Oh gitu. Jadi mbaknya juga nggak dateng ya waktu nikahan dadakannya Mbak Kalinda?" Memang biangnya gosip. Mulut Bu Ety berujar tanpa rem. "Menikah?" Rere melongo. "Ada apa Re? Bener nggak?" Faris sudah ada di belakang Rere karena yang ditunggu-tunggu tak juga kembali ke mobil. "Iya bener Ris. Itu rumahnya." Rere mengangguk meski raut kebingungan masih terlihat jelas di wajahnya. "Ya sudah bu, makasih banyak ya bu. Permisi" Rere membungkuk berpamitan, begitu juga dengan Faris yang melakukan hal yang sama. Mereka berjalan berdua untuk menghampiri Intan dan Rama yang masih ada di dalam mobil. Kerutan tipis terlihat di kening Rere. Membuat Faris yang mengetahuinya ikut mengernyit heran. "Kenapa kamu?" "Ris, kamu ada di undang Kalinda nggak?" "Di undang apa?" Faris menatap Rere yang sudah menatap ke arahnya. "Nikahannya Kalinda"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN