Kalinda masih terisak kecil ketika bibir Bram menempel berulang kali di pucuk kepalanya. Belaian itu seperti mantra yang menenangkan, membuat tubuhnya perlahan luruh dari ketegangan. Menjadi rasa nyaman yang selalu berhasil Bram berikan. “Aku minta maaf, mas…” suara Kalinda lirih, pecah, entah sudah keberapa kali permintaan maaf itu keluar dari bibirnya. Bram menghela napas, menekankan satu kecupan lagi di rambut istrinya. “Sudah, dek. Mas sudah memaafkanmu. Tapi lain kali jangan seperti ini lagi, ya? Jangan ambil keputusan sendirian. Kamu punya mas, ingat itu.” Kalinda hanya bisa mengangguk, lalu kembali memeluk Bram erat, seakan takut jika ia melepaskan, pria itu akan benar-benar pergi. Bram meremas lembut punggung istrinya, lalu perlahan melepaskan pelukan. Menatap mata dan wajah is

