Hari yang melelahkan seakan tiada berakhir untuk para pegawai di rumah sakit milik keluarga Ellaine, sejak pagi hari mereka menerima banyak sekali pasien dari korban tabrak beruntun yang lokasinya tak jauh dari rumah sakit.
Mengingat banyak dokter yang di tugaskan keluar kota dengan menghadiri seminar dan acara lainnya, hanya ada tiga puluh dokter yang siap bekerja di pagi hari sehingga Rafael harus menempatkan diri di bagian terdepan untuk meolong para pasien.
Selama kurang lebih dari tujuh jam lamanya ia berada di ruang gawat darurat dan juga harus bolak balik menerima pasiennya sendiri, saat itu Rafael melihat pada seluruh pasien yang telah ia tolong, Rafael sangat lega akhirnya ia dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik hingga jam kerjanya telah berakhir.
Rafael menyandarkan tubuhnya di salah satu tembok ruang gawat darurat, ia merogoh kantong mencari telepon genggam dan melihat banyak sekali pesan yang masuk ke dalam ponsel. Rafael sampai lupa melihat ponsel seharian ini.
“Dokter Rafael, ini silahkan di minum” kata seorang suster yang datang tiba-tiba.
“Iya terima kasih banyak” sahutnya dengan menerima satu botol air mineral.
“Dokter silahkan istirahat dulu, semua pasien sudah kita tolong tinggal menunggu mereka di pindah ke ruangan lainnya” kata suster itu.
“Bagaimana keadaan pasien kritis?” tanya Rafael, ia masih belum meneguk air pemberian suster itu.
“Mereka semua selamat dok, teman-teman semua bekerja dengan sangat baik menyelamatkan pasien” jawab suster itu gembira.
“Baiklah” kata Rafael pelan, ia menatap dalam wajah suster yang telah memberinya air mineral, “Terima kasih air putihnya, ya” kata Rafael, ia mengusap puncak kepala suster yang masih sangat muda itu.
Rafael meninggalkan suster baru itu di tempat yang sama dengan perasaan bahagia bercampur terharu, suster itu terdiam beberapa saat saking kagetnya dengan perilaku manis dari Rafael. Gadis muda itu menatap punggung Rafael yang berlarian kecil meninggalkannya.
Sedangkan Rafael sendiri berlari kecil menuju ruang rawat ibu Nia, ia melihat ke dalam ruangan tersebut dan bernapas lega. Ibu Nia masih tidur siang selama penyembuhannya, ia memilih duduk di depan ruangan itu melepas lelah.
Ia menatap keempat pengawal yang berpakaian sederhana menyamar sebagai orang biasa untuk berjaga di sekitar ruangan ibu Nia, ia kembali mengambil napas panjang ketika semua yang ia lakukan hari ini lebih cukup dan berjalan dengan baik.
“Ehem, tuan” panggil Udin sang pengawal.
“Ada apa?” tanya Rafael pelan.
Udin malu-malu menyerahkan sapu tangan pada tuannya, “Ini untuk tuan Rafael”
Tentu saja Rafael mengernyitkan dahinya, “Untuk apa ini?”
“Tuan kelihatan capek banget hari ini, jadi ini silahkan tuan kenakan untuk mengusap keringat tuan Rafael yang jath sangat indah itu” kata Udin, wajahnya sudah memerah menahan malu sendiri.
Rafael langsung menyambar sapu tangan yang di pegang oleh Udin, walau seaneh apapun Udin tetap saja lelaki kurus itu pengawal paling terpercaya. Udin tersenyum bahagia melihat Rafael menerima perhatiannya.
Rafael melirik Udin yang masih cengar cengir di sampingnya, “Maaf tuan, saya akan kembali ke posisi berjaga. Silahkan istirahat setelah pulang nanti” kata Udin sopan.
“Baiklah, kembalilah bekerja dan jangan sampai keu lengah sedikitpun” pinta Rafael, ia segera meninggalkan rumah sakit.
*
Sore hari ini langit terlihat memerah tak seperti biasanya, warna langit terlihat lebih menakutkan di bandingkan hari-hari sebelumnya. Cahayanya lebih gelap dan terkesan sangat mistis bila di sandingkan dengan horror.
Ia melihat jarum jam sudah menunjukkan angka empat lebih, semua rekan kerjanya satu persatu kembali pulang namun Nia sendiri selalu kembali pulang dalam keadaan terlambat. Gadis itu segera merapikan meja kerjanya dan meraih tas jinjingnya.
“Masih jam empat lebih sepuluh menit tapi langitnya udah gelap banget, apa musim hujan udah dekat?” gumam Nia sendiri.
Suasana kantor masih terbilang rami di banding sebelumnya saat ia pulang terlambat, samar-samar Nia mendengar suara Henry sang atasan yang masih bercengkrama dengan pegawai lainnya. Nia tak ingin membuang waktu lagi sebelum ibunya bangun dari tidur siang.
“Nia?” panggil Henry sebelum Nia masuk ke dalam lift.
“Iya pak, ada apa?”
Henry sejenak tersenyum melihat wajah Nia yang berseri di terpa sinar mentari sore, “Kau sudah mau pulang?”
Nia mengangguk, “Aku harus segera kembali ke rumah sakit pak, aku nggak bisa terlambat sebelum beliau bangun tidur”
“Emm kalo begitu aku akan mengantarmu ke rumah sakit seperti kemarin, tunggu aku ambil tas dan jaket nanti..”
“Henry, kemarilah sebentar!” panggil seorang pria bernama Putra yang tak lain memiliki jabatan seperti Henry.
“Ahaha, Putra memanggilku lagi” kata Henry kikuk.
“Terima kasih pak tapi saya bisa pulang sendiri hari ini, selamat sore” pamit Nia, sejujurnya ia tak ingin berlama-lama bersama dengan Henry saat ini mengingat banyak sekali mata yang melihat kedekatan mereka saat ini.
“Emm Nia..” gumam Henry namun ucapannya tak sampai terdengar karena Nia sudah masuk ke dalam lift.
Sejujurnya Nia pun sangat lega bisa terhindar dari Henry, kegilaan informasi yang beredar sebelumnya membuat harinya lebih berat mengingat Ratna terus menggerutu bahwa dia kalah telak dari wanita yang di bonceng oleh Henry, di sisi itulah Nia merasa sangat bersalah karena mendahului Ratna.
Langkah kakinya menginjak halaman luas gedung kantor dan disanalah Nia melihat sosok yang sangat familiar baginya, Nia melongo tak percaya saat sosok itu melambaikan tangannya dengan posisi tubuh menyandar mobil sport Ferarri berwarna hitam.
“Mas Rafael?” gumam Nia.
Nia terdiam tak bergerak di tempat, ia masih tak percaya kenapa lelaki ini ada disini sekarang. Seakan Rafael tak henti membuat kejutan berkali lipat padanya, lelaki itu mulai bergerak mendekatinya yang terdiam.
“Untung aku tepat waktu jemputnya, kalo enggak mungkin kamu udah naik bus sekarang dan aku akan menunggumu sampai besok pagi disini” ujar Rafael, badannya terlalu dekat dengan posisi Nia terdiri.
“Mas jemput aku?” tanya Nia masih tak yakin.
“Enggak, aku jemput Henry si atasanmu itu! Ya iyalah aku lagi jemput kamu, aku udah nyampe disini juga kan?” omel Rafael.
Nia sejenak mengerjap saat Rafael mengomel, ‘Rasanya baru kali ini denger dia ngomel, nggak biasanya sih hehe’ ucapnya dalam hati, jika di lihat-lihat lagi wajah Rafael saat kesal kelihatan lucu.
“Ya udah aku sengaja kesini ada keperluan sekalian jemput kamu, aku dengar ibumu belum bangun tidur jadi sebaiknya kamu cepet balik” kata Rafael.
“Oke mas, tapi aku bisa naik bus”
Rafael berbalik dan menatap Nia tajam, “Nggak aku ijinkan kamu naik mereka hari ini”
Lelaki itu menggenggam erat tangan Nia dan menyeretnya masuk ke mobil, “Aku nggak mau kamu protes apapun lagi, jadi istirahatlah selama di perjalanan oke” pinta Rafael.
Mau tak mau Nia menuruti keinginan Rafael yang mendadak dan sangat memaksa itu, dalam perjalanan yang memakan waktu lebih dari dua puluh menit itu Nia menyandarkan tubuhnya yang lelah di samping Rafael. Matanya setengah tertutup namun Nia tak bisa seenaknya tidur di mobil orang lain mengingat dia hanya menumpang, sangat tidak sopan bila ia tidur di saat pemilik mobil mengemudi.
“Tidur saja, aku akan katakan pada suster untuk menangani ibumu sebelum kita sampai” kata Rafael.
Tak ada jawaban dari Nia, gadis itu tak mampu lagi mengangkat kedua kelopak matanya dengan baik. Banyaknya beban kerja yang ia terima saat ini membuat Nia tersiksa dengan jam tidur yang sangat minim, perlahan namun pasti mata Nia benar-benar tertutup menikmati perjalanan menuju rumah sakit.