Satu dari Tiga

1110 Kata
Nia POV Malam ini aku kembali menemani ibuku di rumah sakit, sebenarnya pihak rumah sakit memberikan batas jenguk namun karena pihak rumah sakit tahu betul bahwa aku memiliki koneksi dekat dengan nona Ellaine maupun dua teman lainnya. Walaupun aku tak pernah meminta mereka untuk di istimewakan namun mereka tetap memintaku menemani ibu di rumah sakit, sebenarnya hari ini tepat tujuh hari sejak ibu di rawat di rumah sakit dan malam panjang ini seakan membangunkan aku dari tidur. Aku menatap jam pada ponsel lama, “Masih jam tiga malam ya, aku bangun terlalu pagi” gumamku sendiri. Ku tatap waja ibuku yang kelihatan begitu nyaman terlelap di balut mimpi, aku sangat lega selama satu minggu ini ibu mengalami peningkatan kesehatan. Ibu dengan baik mengikuti semua pengobatan yang di berikan oleh dokter, baik aku dan yang lain makin bahagia mendengarnya. Perhatianku beralih pada sosok lelaki yang terlelap di atas sofa, yup benar dia adalah mas Rafael. Semalam tadi dia bersikeras untuk menginap di sini bersamaku dan juga ibu, jujur saja aku kurang mengerti kenapa dia melakukan hal aneh ini, tingkahnya kadang normal kadang sedikit aneh saja ku rasa. Aku mendekati lelaki keras kepala itu, ku benahi selimut yang tak menutup sempurna pada seluruh tubuhnya. Wajahnya yang lelah itu kelihatan tenang namun wajahnya tetap berkerut aneh, setelah mengenalnya jujur saja baru kali ini aku melihatnya tidur seperti ini. ‘Apa yang dia mimpikan di dalam tidurnya sampe wakahnya berkerut begitu?’ gumamku sendiri. Angin malam kali ini berhembus lebih kencang dari sebelumnya, aku menatap bulan yang sinarnya tertutup oleh awan berwarna abu-abu gelap. Bentuknya yang bulat sempurna itu dapat ku lihat dengan jelas, seakan bulan tengah berada tepat di atas atap rumah sakit. Aku mencoba berjalan keluar dari ruangan tanpa membuat ibu dan mas Rafael terbangun, langkahku terasa berat menuju keluar ruangan. Tempat ini sudah sangat familiar bagiku, sehingga aku sama sekali tak takut dengan hal aneh yang terjadi. “Apa yang coba kau katakan padaku?” gumamku, sorot mata ini merasa bahwa sang rembulan seakan ingin berteriak memanggil namaku namun terhalang oleh awan-awan itu. Hawa yang aku rasakan kali ini sangat berbeda dari biasanya, entah mengapa sejak mataku terbangun detak jantungku terasa berdenyut lebih cepat di banding biasanya. Seakan aku merasakan akan terjadi sesuatu besar yang akan aku sesali setiap harinya. “Nia?” panggil seseorang di belakangku. “Mas Rafael, kok bangun?” “Hemm hawanya dingin banget jadi aku kebangun, kamu sendiri ngapain disini?” tanya mas Rafael, matanya menatap kanan dan kiri. “Aku terbangun barusan mas, mas Rafa pasti kebangun waktu aku buka pintu tadi, maaf mas” kataku pelan. Mas Rafael mengangguk pelan namun matanya tertutup, aku tahu betul dia sangat mengantuk, “Baiklah tapi sekarang masih malam, kita balik tidur yuk” ajak mas Rafael. “Mas tidur aja lagi nggak apa-apa, bentar lagi sholat subuh. Aku takut bangun kesiangan kalo aku balik tidur” jawabku. Mata mas Rafael langsung melek lebar-lebar, “Oh kamu bener juga, baiklah aku temenin kamu malam ini” Entah apa lagi yang di pikirkan olehnya, setiap mendengar jawabanku pasti dia akan bersemangat seketika. Mas Rafael masuk ke dalam ruang inap ibu lalu kembali keluar tak lama kemudian, ia membawakan jaket untukku. “Pakai ini, aku nggak mau kamu sakit atau demam nantinya” katanya sangat perhatian, ia memasangkan jaket pada tubuhku. “Iya terima kasih mas” kataku pelan. Mas Rafael mengajakku duduk di depan taman selatan rumah sakit, taman yang sudah menjadi daya tarik para pasien di rumah sakit ini. Di taman ini pula aku bertemu dengan lelaki misterius dan memberikan aku banyak benda yang ku butuhkan. Taman ini juga memiliki banyak kisah menarik mengenai nona Ellaine, seorang wanita yang menjadi inspirasi terbesarku sejak aku bertemu dengannya. Harus aku akui nona Ellaine mendesain taman ini dengan tatanan yang memanjakan mata. Mas Rafael mengajakku duduk di kursi taman berwarna putih, kursi sama saat aku menerima bingkisan kado dari lelaki misterius kala itu. Harus aku akui bahwa aku sedikit merindukan lelaki bermata indah itu meskipun dia terlihat menakutkan. Aku melirik ruangan ibuku, “Tenang saja, ibumu akan aman kok” kata mas Rafael. “Aku nggak bisa ninggalin ibu lama-lama mas, aku takut ibu bangun dan butuh air putih atau yang lain” jawabku sedikit cemas. Mas Rafael menatap mataku dalam-dalam, “Ku mohon percayalah Nia, aku pastikan ibumu baik-baik saja” Baiklah mungkin kali ini aku kalah dengan ucapannya, mas Rafael membuat diriku mudah untuk di tenangkan hanya dengan tatapan mata indah itu. Seakan aku pernah melihat tatapan menenangkan itu di suatu tempat jauh dari sini, aku mencoba mengingatnya namun otakku terus saja memintaku untuk fokus pada lelaki ini. “Ada yang kau pikirkan, Nia?” tanya mas Rafael tiba-tiba. “Hemm, aku bangun lebih awal dari biasanya mas. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, jadilah aku tadi cari udara segar” yah rasanya percuma kalo aku menutup hal ini darinya. “Kemarikan tanganmu” pintanya pelan. Ku laksanakan permintaannya tanpa curiga sedikitpun, ia menyentuh sekitar nadiku dan berdiam diri sejenak. Telapak tangannya memegang dahiku, ia terdiam lagi untuk beberapa saat dan tentu saja hal itu sedikit menakutkan. “Nggak ada hal yang aneh, kamu baik-baik saja” katanya pelan. Ah ya, aku baru ingat kalau dia itu dokter tentu saja dia mengecek suhu badanku. Nggak aneh kalo dia cemas temannya demam atau semacamnya, di saat seperti ini orang seperti dialah yang puya insting tinggi untuk peka pada lingkungan sekitar. Mas Rafael memasukkan tangan kiriku ke dalam sakunya dan menggenggam erat, rasanya sangat hangat melebihi jaket yang aku kenakan. “Lalu apa yang kau pikirkan lagi? Kau tahu aku nggak akan lega dengan jawabanmu yang konyol tadi bukan?” tanya mas Rafael. “Aku merindukan tiga orang yang udah lama nggak bisa ku lihat” kataku perlahan. “Siapa mereka?” “Well mas tau satu orang di antara tiga dari mereka, aku sangat ingin bertemu dengan Cassandra. Aku dengar dia sudah menikah dengan tuan Bryan dan mengadakan acara syukuran tujuh bulan saat itu, yah itu terakhir kali aku dengar kabar tentangnya” “Ah istrinya Bryan ya, well aku dengar dia punya banyak waktu yang baik sebelum kehamilannya menginjak usia delapan bulan” sahutnya. “Aku penasaran dengan kehidupannya saat ini, yakin pasti dia mempersiapkan hal baik untuk persiapan kelahiran anak-anaknya” “Kau mau tahu tentangnya sekarang?” Aku menggeleng pelan, “Enggak mas, aku nggak ingin mengganggunya. Lagi pula dia pasti punya banyak sekali kesibukan baru sebagai nyonya Anderson” “Terus apa yang kau pikirkan?” “Entah, jantungku berdebar hebat saat mengingat wajah Cassandra” jawabku tak yakin, “Aku nggak tahu apa yang terjadi tapi rasanya dadaku sesak nggak nyaman ketika aku coba mengingatnya”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN