6. Selamat

1008 Kata
Yaksa bangun dengan keadaan linglung. Andra, Egi dan si kembar menghembuskan nafasnya lega. Mereka sudah sangat khawatir karena Yaksa yang tak bangun-bangun. "Badanku sakit semua." keluh Yaksa dibantu Egi bangun. "Aku barusan mimpi perang sama dedemit." aku Yaksa jujur. "Beneran, Sa. Kamu menang apa kalah?" "Aku kalah." "Untung kamu dikembalikan, kalau enggak. Kamu udah mati,Sa." ujar Andra. "Iya. Aku pernah dengar cerita, kalau mimpi bertarung dengan setan, itu adalah kenyataan. Aku jadi merinding." Yaksa memegang bulu kuduknya. Mimpi itu sangat jelas. Yaka melihat lengannya. Dalam mimpi, lengannya ditebas habis. Tapi saat ini, untung lengannya masih utuh. Hanya saja, rasanya sangat kebas dan ingin copot. Erghhhh. "Suara apa itu, Sa?" pekik Andra menarik Yaksa agar lebih mendekat dengannya. Yaksa melihat danau, sumber suara itu ada disana. Di dalam air danau yang mulanya tenang, kini tiba-tiba seperti terkoyak dengan suara suara aneh. "Ayo kita pergi dari sini!" ajak Egi. Mereka mengangguk. Mulai celingak-celinguk mencari jalan keluar. "Ini dibawah tebing. Kita harus naik bebatuan untuk naik." ucap Zafra yang melihat medan ternyata sangat tinggi. "Heran, kita masih sehat-sehat saja setelah terjatuh ke jurang ini." ucap Andra terkagum. Teman-temannya mengiyakan. Erghhhhh "Mampus, suaranya makin keras." maki Yaksa dalam hati. "Sa, ikan Mas gede banget!" pekik Zidan menunjuk ikan Mas yang sangat besar, muncul di permukaan. Zidan ingin beranjak mendekati. Namun, buru-buru ditarik sama Andra dan Egi. "Jangan aneh-aneh. Lebih baik kita keluar dari sini." ujar Andra. "Tapi sayang banget ikannya. Itu gede!" "Kamu gak akan tau, dibalik keindahan itu ada apa." bisik Yaksa. Mereka meninggalkan ikan Mas besar yang terus memancing-mancing mereka. Bebedapa kali Zidan menengok ikan itu yang seolah minta ditangkap. Tapi Yaksa langsung membentaknya. Yaksa tak ingin terjadi apa-apa pada teman-temannya. Danau yang mistis. Setelah kelima anak itu berhasil keluar dari tebing, Ikan itu berubah wujud menjadi wanita cantik. Sedetik kemudian, wanita itu menghilang lagi dalam air. Senyuman cantik juga menghiasinya. Banyak mitos tentang danau. Salah satunya, tentang mitos ikan Mas. Dimana akan ada bencana kalau ada orang yang menangkap ikan itu dengan ukuran yang tidak wajar. Untung Yaksa dan Andra mencegah Zidan untuk tidak mendekati ikan itu. Mereka berlima berjalan menyusuri hutan. Berusaha mencari jalan keluar. Perut mereka juga sudah sangat keroncongan. Mereka merinding melewati semak-semak. Teringat kalau semalam ada setan-setan yang berdiri berjejer disana. "Gila. Ditempat ini kemarin kita lihat hantu," ucap Egi. Kalau siang saja sudah sangat merinding. Apalagi malam. "Jangan diinget-inget terus. Yang utama kita keluar dulu dari sini." "Iya. Semoga cepat ketemu jalan." "Sambil berdoa, jangan lupa." Setelah berjalan cukup jauh. Mereka sampai di pintu keluar. Terlihat banyak penduduk desa yang mencari ranting-ranting pohon yang jatuh. Di desa itu, masih banyak orang yang memakai kayu bakar untuk memasak. "Syukurlah bisa selamat!" ucap kelima remaja itu dengan lega. Tak bisa mereka bayangkan, kalau salah satu diantara mereka, ada yang mati karena tidak bisa menaklukkan jailangkung atapun tidak kuat dengan penampakan-penampakan hantu menyeramkan. Mereka berbondong pulang menaiki motor yang mereka letakkan dipinggir hutan. Untung juga motor mereka tidak hilang. Sampai di rumah, Yaksa sudah dapat serangan bertubi-tubi dari ibunya. Yaksa mengatakan, kalau dia tidur di rumah temannya. Tapi, Nainira tak serta merta percaya. "Yaksa, Ibu sudah berapa kali katakan? Jangan aneh-aneh." ucap Nainira. "Yaksa gak aneh-aneh, Bu. Yaksa tidur di rumah Egi." jawab Yaksa mencoba meyakinkan. "Jangan berbohong. Ibu tau apa yang kamu lakukan diluaran sana." "Maaf bu, tapi Yaksa penasaran." aku Yaksa jujur. "Tapi ibu tidak suka. Kamu bisa terjerumus dalam kesesatan." "Ibu tenang aja. Yaksa bisa jaga diri, Bu." "Yaksa, kemari nak!" panggil kakeknya tiba-tiba. Yaksa mendekati kakeknya. Kakeknya mengajak duduk di sofa ruang tamu. Dapat Yaksa lihat, kalau kakeknya membawa sesuatu. "Nira, buatkan bapak teh panas!" titahnya pada Nainira. Nainira patuh, berjalan ke dapur untuk membuatkan bapaknya Teh panas. "Kek cepetan ada apa? Ibu keburu balik." ujar Yaksa. Yaksa tau kalau Kakeknya hanya beralibi, menyuruh ibunya membuat teh, agar ibunya tak mendengar pembicaraan mereka. "Rupanya kamu sudah pintar, ya." ucap Joyo terkekeh. "Kakek mau mewariskan sesuatu padamu." ucap Joyo mulai serius. Ia mengambil tangan kanan Yaksa. Menyerahkan segumpal buntalan merah yang Yaksa sendiri tidak tau apa isinya. "Ini adalah rumah. Rumah para pengikut kakek." ucap Joyo menatap buntalan merah, semerah darah itu. Yaksa merinding saat memegangnya. "Ada lebih dari tujuh mahluk yang setia berada disitu. Yang apabila kakek panggil, mereka akan datang." "Mahluk apa kek?" Penasaran Yaksa sudah tidak bisa dibendung. "Jin setia." "Kenapa ini diberikan padaku?" "Kakek sudah merasa, sebentar lagi kakek tiada. Dan kakak mewariskan ini padamu. Kamu jaga baik-baik." ujar Joyo dengan sedih. "Kakek jangan ngomong aneh-aneh. Umur hanya Tuhan yang menentukan." sangkal Yaksa mengembalikan buntalan itu. "Terima Yaksa! Kakek hanya bejaga-jaga." "Apa yang harus aku lakukan pada buntalan ini, kek?" "Jaga dia. Ini bisa kamu gunakan sewaktu-waktu. Kalau kakek sudah tiada." "Lalu?" "Kakek akan memberimu ajian. Di kamar kakek. Ada sebuah buku usang. Ambil dan pelajari jika kakek sudah tiada. Dan ada yang perlu kamu ingat. Kamu boleh menjelajah dunia lain. Tapi ingatlah untuk tetap kembali. Tanamkan pada hatimu sendiri, kamu tidak boleh jumawa." jelas Joyo menekan d**a cucunya beberapa kali. "Ini bukan tentang kehebatan. Tapi tentang ujian. Bila mana kamu berhasil menjelajah duni lain. Jangan pernah terpincut dengan segala keindahan. Jangan pernah memegang apapun yang bukan milikmu. Kamu hanya boleh melihat. Dan tekan nafsu besarmu untuk menguasai mereka. Yaksa makin bingung mendengar ucapan kakeknya. Ibaratnya, dia boleh menyelam, tapi tidak boleh minum air. "Pelan-pelan Yaksa. Kamu akan mengerti." "Iya kakek. Tapi aku berdoa. Semoga kakek terus panjang umur." ujar Yaksa memeluk kakeknya. Malam harinya, Nainira marah-marah kepada Bapaknya. Nainira tidak suka kalau bapaknya mewariskan ilmu pada Yaksa. "Itu untuk kebaikan, Nira." "Kebaikan macam apa, Pak? Yaksa bisa terjerumus." sangkal Nira. "Yaksa bisa mengendalikan diri." "Terserah bapak. Aku akan melindungi Yaksa. Aku akan buang jimat-jimat yang bapak berikan pada anakku." Joyo hanya terkekeh mendengar kemarahan anaknya. Dimanapun jimat itu dibuang, pasti akan kembali pada pemilik sahnya. Jimat bukan sembarang jimat. Jin-jin yang sudah ia pasrahkan pada Yaksa. Nantilah yang akan menjaga Yaksa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN