Yaksa menyiapkan garam, bunga kenanga, bunga kantil, mawar merah, menyan dan lilin. Pagi ini, ia akan eksekusi apa yang telah dia pelajari tadi malam. Benda-benda peninggalan kakeknya, ia biarkan saja dulu. Yang ia utamakan, ia bisa membuka mata batinnya.
Yaksa duduk bersila dalam kamarnya, ia sudah mengunci rapat pintunya. Antisipasi kalau ibunya datang tiba-tiba. Yaksa melakukan meditasi. Mefokuskan pikiran dan niatnya. Fokus, fokus, dan fokus. Tapi, sama sekali belum ada reaksi apa-apa. Yang pernah Yaksa baca, reaksi tubuh kalau berhasil, akan panas dingin dengan pandangan gelap. Tapi, Yaksa masih merasa normal-normal saja.
Yaksa meneteskan menyan ke lilin, dan berbagai bunga sesajen. Setelah itu, ia kembali bertapa. Meditasi mekfokuskan pikirannya. Sudah lebih dari satu jam, tapi Yaksa tak kunjung bisa menembus alam lain. Dirinya dan mahluk supranatural, sebenarnya sangat dekat. Tapi, ada dinding pembatas yang sangat kokoh diantara keduanya.
"Untuk menembus alam lain, kau harus berpuasa empat puluh hari." bisik suara ghaib. Yaksa menoleh. Mendapati pria tua berjanggut putih. Tubuh Yaksa tiba-tiba kaku. Matanya membulat saat kakek tua itu menghilang tiba-tiba. Datang gak disuruh, hilang gak pamitan.
Yaksa menjatuhkan dirinya di kasur. Banyak hal mistis yang sering mengelilinginya. Tanpa sengaja, Yaksa menyempar wadah bunga hingga jatuh berserakan. Yaksa tidak mengambilnya. Sudah merasa meditasinya gagal. Karena ia tidak berpuasa dulu.
Brak!
Yaksa menoleh. Vas bunga yang ada di meja belajarnya, jatuh dan pecah tiba-tiba. Angin juga berhembus kencang, terasa di kulit Yaksa. Yaksa membiarkan. Ia terlalu lelah untuk menanggapi. Toh nanti juga akan hilang dan pergi sendiri.
Brak!
Pintu lemari terbuka lebar. Yaksa mulai merinding. Dibiar-biarkan malah menjaadi-jadi. Ibarat dikasih hati, minta empedu. Yaksa mengambil garamnya, menyebar asal ke kamarnya. Berharap para mahluk astral itu pergi.
Yaksa tidur tengkurap sambil bertelanjang d**a. Tiba-tiba, badannya terasa berat seperti diduduki seseorang. Yaksa mencoba bangkit, tapi tidak bisa.
"Arghhh!" Yaksa makin menggeram saat badannya, makin lama makin berat. Apa iya, disiang bolong ada setan.
"Lepasin!" erang yaksa. Tiba-tiba, tubuh Yaksa panas.
"Malam satu sura, cuci semua pusaka-pusaka kakek!" bisikan dari telinga kiri Yaksa, sangat terdengar jelas. Setelahnya, tubuh Yaksa kembali normal. Punggung Yaksa juga sudah tidak berat. Yaksa bangun perlahan. Bisa mati kalau lama-lama ditindih dengan beban berat. Bisikan suara ghaib itu seperti isyarat dan pertanda yang hukumnya mutlak, harus dilaksanakan.
Yaksa melihat kantung kresek yang bergerak-gerak sendiri. Mungkin, bila kantung itu bisa bicara, sudah pasti berteriak pada Yaksa untuk segera mengambilnya. Yaksa turun dari kasur, berjalan mendekati kantung itu. Di dalamnya, hanya ada benda mati. Tapi kenapa bisa gerak-gerak sendiri. Sekarang Yaksa percaya. Kalau benda pusaka ada nyawanya.
Yaksa mengambil tiga keris disana. Setiap malam satu sura, Yaksa ikut kakeknya untuk memandikan pusaka. dan mulai tahun ini, Yaksa akan memandikannya sendiri. Yaksa merinding. Rasanya, ia takut juga kalau gak ada teman.
Tepat pada malam satu sura, Yaksa mengambil air dalam timba. Sebelunya, ia sudah berpuasa dapat empat belas hari. Yaksa ditinggal sendiri oleh ibunya. Karena Ibunya sedang ikut bapaknya ke rumah orang tua bapak Yaksa.
Yaksa membuka sarung gaman, menjejerkan keris-keris itu di lantai. Dengan doa-doa yang sudah ia hafal, Yaksa mulai menjalankan ritualnya. Membasuh pusaka turun-temurun itu. Beredar rumor di masyarakat, kalau memasuki bulan sura, akan banyak malapetaka-malapetaka jika tidak berhati-hati. Untuk menolak bala, memandikan Kris adalah adatnya. Jangan mengatakan musyrik. Sejatinya, setiap daerah mempunyai adat dan budaya masing-masing. Sudah sepatutnya saling menghargai.
Bukan hanya tentang bala. Bulan sura, juga tidak ada orang yang mengadakan hajatan. Baik itu khitanan, hajatan pindah rumah, maupun pernikahan.
Di bulan As-sura atau orang jawa biasa menyebutnya Suran, orang-orang biasa memperingati dengan membat jenang Suran atau jenang abang putih. Abang atau merah yang berarti darah, dan putih yang berarti balung atau tulang.
Setelah memandikan krisnya, Yaksa kembali ke kamarnya. Menyembunyikan pusaka-pusaka itu ke tempat yang seharusnya. Bisa kena marah ibunya kalau sampai ketahuan.
Yaksa kira, setelah memandikan pusaka, ia tidak akan mendapat bisikan-bisikan ghaib lagi. Tapi, bisikan-bisikan itu terus datang. Menyuruh Yaksa untuk meneruskan ritual menjelajah dunia lainnya.
"Arghh!" Yaksa mengerang-erang dalam tidurnya. Kenapa harus dia yang mendapat gangguan-gangguan ini. Lama-lama bisa gila karena telinganya yang panas mendapat bisikan-bisikan yang tidak berwujud.
Kamu yang mengusik, kamu sendiri yang harus menenangkan. Kamu yang memulai, kamu sendiri yang harus mengakhiri.
Yaksa celingak celinguk tidak bisa tidur, aura di kamarnya juga sangat panas.
"Keluar kalian, jangan hanya desas desus!" teriak Yaksa yang sebenarnya sangat ketautan. Pria itu belum tatag untuk menghadapi semua jenis mahluk astral. Yaksa hanya besar kepala saja. Mau sok-sokkan membuka mata batin, tapi mendengar desas -desus saja, dia sudah sangat ketakutan.
"Iya, aku akan meneruskan ritualnya. Kalian puas sekarang?" maki Yaksa keras.
Berurusan dengan jin jahat memang serba salah. Masuk di musuhi, tidak masuk ditarik-tarik.
Yaksa keluar kamar. Ia memilih tidur di sofa daripada terus-terusan diganggu. Dia akan membeli bunga tujuh rupa esok hari. Lagian, dia juga belum dikirimi uang sama bapaknya. Yaksa pengangguran sukses. Tiap hari ia akan ke kandang ayam untuk mengambil telur-telur yang bisa dia jual. Selebihnya ia akan dirumah menunggu kiriman bapaknya. Toh, dia anak tunggal. Pikirnya.