Menghitung Hari 1

918 Kata
Kamu serius mau menikahi adiknya Eva?" tanya Tony siang itu saat keduanya selesai makan siang dan istirahat di gudang. "Ya." "Untuk balas dendam?" Devin menatap sahabat yang duduk disebelahnya. Pria itu tersenyum samar. Diambilnya sebatang rokok dan korek api. Menyalakan, kemudian menghisap sambil memandang keluar jendela. Tony tidak bertanya lagi, ia pun mengambil sebatang rokok. Sebenarnya sejak Devin memberitahu akan menikahi Kamalia beberapa hari yang lalu, dia sempat khawatir. Kalau Kamalia hanya akan menjadi korban kekecewaan sahabatnya. "Dia gadis baik-baik, Dev." "Hm, aku tahu." Tony tahu kalau Devin adalah pria yang susah jatuh cinta. Sejak ditolak Eva, belum pernah ia mendengar kalau sahabatnya dekat dengan perempuan lain. Cinta pertama yang melukainya sangat parah. Bahkan setelah wisuda S1, Devin mencoba mendekati lagi, tapi Eva tetap bertahan memilih Ragil. Eva adalah adik kelas mereka sewaktu duduk di bangku SMA. Anaknya pendiam dan paling cerdas. Namun, penampilan Ragil yang jauh lebih sederhana telah mengalahkan pesona Devin yang kaya dan tampan. Devin menjatuhkan rokok dan menginjaknya dengan ujung sepatu. Lantas ia berdiri. "Aku pulang dulu. Tolong atur undangan untuk karyawan dan mertuamu tanggal dua bulan depan." "Apa ada relasi yang harus di undang?" "Tidak usah." "Biar kutelepon Hesty agar pesan undangan sekarang. Semoga saja bisa kelar dalam beberapa hari ini. Tinggal seminggu lagi, kan?" "Kabari juga Hesty kalau sementara aku titip Kamalia di sana. Karena besok mamaku pulang." "Ya." Devin mengambil ponselnya di meja dan segera bergegas pergi. Langit tampak redup, sepertinya hujan akan turun. Jarak dari gudang ke villa hanya beberapa menit saja. Setelah memarkir mobil, Devin masuk vila. "Kamalia di mana?" tanya Devin pada Sumi yang sedang menyapu ruang tamu. "Ada di atas, membersihkan kamar, Tuan." Gegas Devin naik ke lantai dua. Langkahnya terhenti dan menyandarkan tubuh di bingkai pintu saat melihat Kamalia termenung di balkon kamarnya. "Apa yang sedang kamu pikirkan? Tentang cowok semalam?" Ucapan Devin mengagetkan Kamalia. Gadis itu menoleh, wajahnya tampak sayu. Tidak juga menjawab pertanyaan itu. "Kita pergi mengambil cincin sekarang, karena mereka mengabari toko akan tutup jam tiga nanti." "Maaf, aku belum ganti baju. Tunggu sebentar!" Kamalia berlalu sambil membawa sapu ditangannya. Devin mengikuti di belakang. Setelah berpamitan pada Sumi dan Mbok Darmi, Kamalia menyusul Devin yang sudah menunggu di mobil. "Mama akan pulang besok dan akan tinggal di sini hingga hari H. Beliau tidak boleh tahu kalau kamu tinggal di vila." Devin memberitahu setelah beberapa saat meninggalkan rumah. "Kalau begitu, aku akan tinggal di rumah Mas Ragil saja." "Aku sudah menyiapkan tempat untukmu. Malam ini aku akan mengantarmu." "Ke mana?" "Untuk sementara tinggalah di rumah Tony." "Aku tidak mengenal mereka, biarlah aku di rumah Mas Ragil saja." Devin memandang Kamalia. "Aku khawatir kalian merencanakan sesuatu." Kamalia tersenyum getir. "Mereka orang-orang baik." "Aku tahu. Justru itulah yang bikin aku khawatir, kamu akan ketularan baiknya mereka." Sebuah panggilan menghentikan percakapan. Tony menelepon. "Hallo, ada apa Ton?" "Hesty sudah pesan undangan, Alhamdulilah bisa diselesaikan dalam waktu dua hari ini. Kamar untuk Kamalia juga sudah ada. Kapan kamu akan mengantarnya?" "Malam ini. Aku khawatir kalau besok pagi-pagi Mama dah sampai vila." "Oke." Devin meletakkan ponsel di dashboard. Mobil telah memasuki kawasan persawahan setelah keluar dari hutan pinus, bersamaan dengan gerimis yang mulai turun. Laju mobil dikurangi karena ada keramaian di depan, sepertinya ada kecelakaan. Benar saja ada pengendara sepeda motor yang sepertinya jadi korban tabrak lari. Dari kaca jendela Devin bisa melihat seorang pria yang tergeletak tidak sadarkan diri. Disebelahnya seorang wanita menangis histeris. Devin melajukan kendaraan, tidak peduli dengan seorang bapak-bapak yang memintanya berhenti. Dari teriakannya terdengar minta tolong untuk membawa korban ke rumah sakit. "Kenapa tidak berhenti, mereka butuh bantuan?" Kamalia terlihat geram melihat sikap Devin. Gadis itu menoleh ke belakang dan masih melihat para petani di sana melambaikan tangan. "Kamu memang tak punya hati," kata Kamalia ketus. Seketika Devin menginjak pedal rem, kemudian memundurkan mobilnya. Kamalia yang kaget berpegang pada sandaran jok. "Masukkan, Pak!" Perintahnya pada seorang laki-laki yang berdiri tepat di samping jendela kaca yang sudah di buka. "Di belakang atau di depan, Mas?" tanya bapak itu karena mobil Hilux ada bak terbuka di bagian belakang. "Di sini saja, Pak." Kamalia yang menjawab sambil menunjuk bangku tepat di belakang mereka. "Terima kasih, Mbak. Cuman satu orang kok yang perlu di bawa ke rumah sakit." Lelaki itu memerintahkan kepada rekan-rekannya untuk mengangkat korban ke mobil. Devin hanya fokus menyetir tanpa mempedulikan seorang wanita yang menangis sambil memangku suaminya. Kamalia sibuk mencari air mineral di laci pintu. Akhirnya mendapatkan satu botol dan diberikan kepada wanita yang kira-kira seumuran kakaknya. "Terima kasih, Mbak." 🌷🌷🌷 Mobil dihentikan tepat di depan pintu ruang IGD. Seorang perawat pria memanggil rekannya untuk membawa brankar. Korban dibaringkan dan di dorong masuk. "Aduh, dompetku kok ketinggalan, sih," sesal wanita itu sebelum turun mengikuti brankar suaminya. Akhirnya Devin turun karena ada seorang perawat yang meminta keterangan. "Saya hanya dimintai tolong untuk membawanya ke rumah sakit, Mas. Sepertinya korban tabrak lari." Devin mengambil dompet di saku belakang celananya. Memberikan lima lembar uang seratusan pada Kamalia. "Berikan uang ini ke wanita tadi." Kamalia mengangguk. Kemudian keluar mobil dan menuju resepsionis. Istri korban yang duduk di ruang tunggu mendekati gadis itu. "Mbak, enggak bawa dompet, 'kan? Bawalah uang ini, Mbak pasti butuh." "Terima kasih ya Mbak, sudah menolong kami. Entah bagaimana nasib suami saya kalau enggak Mbak dan suami mbak nolongin kami. Boleh minta nomer teleponnya? Nanti akan kami ganti uang Mbak." Kamalia menggeleng. "Enggak usah, Mbak. Maaf saya buru-buru ini," tolak Kamalia terus bergegas pergi. Devin menunggu di dekat pintu keluar. "Orang tadi ngucapin terima kasih karena sudah di tolongin," kata Kamalia di dalam mobil. "Hmm."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN