Bab 6. Kita Bertemu Lagi

1259 Kata
"Evelyn. Jangan berteriak. Malu dilihat orang-orang." Tegur Gina yang merasa jika Evelyn bertindak gegabah. Evelyn segera duduk disertai tatapan tajam Joseph, wali kelas Timoti sekaligus pria yang menghabiskan malam membara dengannya dua hari yang lalu. Sementara Gina langsung beralih menatap Joseph, matanya memicing tajam saat merasa pernah melihat wali kelas sang cucu. Namun sekuat tenaga dia berusaha mengingat, tetap saja Gina tak berhasil membuka laci ingatannya. Sedangkan Timoti yang begitu antusias dengan kehadiran Evelyn, segera berteriak kegirangan memanggil sang tante dari atas panggung. "Mamiiii! Aku senang Mami datang!" Evelyn segera menyunggingkan senyum canggung, sebab beberapa orang tua murid memandanginya dengan sinis. Syukurlah tak lama terdengar pengumuman dari pemandu acara danq memecah suasana canggung itu. ".... Kali ini giliran kelas 1C yang akan tampil. Mereka akan membawakan tari randai yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Selamat menikmati." Evelyn menghembuskan napas pelan, mencoba mengabaikan tatapan Joseph yang begitu menusuk. Dia mengalihkan perhatiannya ke panggung, tempat anak-anak mulai menari dengan lincah mengikuti irama musik tradisional daerah Minangkabau. Gina yang berada di sisi lain, masih sesekali melirik Joseph dengan tatapan penuh selidik. Ada sesuatu tentang pria itu yang terasa familiar, tapi dia belum dapat mengingatnya dengan jelas. Sementara itu, Joseph tetap berdiri tegak di dekat panggung, sesekali memperhatikan Evelyn dari sudut matanya. Dia bisa melihat ekspresi Evelyn yang terlihat tenang, namun dari bahasa tubuhnya, dia tahu wanita itu sebenarnya gelisah. Ketika tarian berakhir dan para orang tua memberikan tepuk tangan meriah, Evelyn segera beranjak dari kursinya, berniat menghampiri Timoti. Namun, langkahnya terhenti ketika Joseph dengan sengaja berdiri di hadapannya. “Kita perlu bicara, Evelyn,” ucap Joseph dengan nada tegas. Evelyn mendongak, menatap pria itu dengan sorot mata penuh kewaspadaan. Dia lalu berkata dengan nada menusuk. “Saya nggak punya urusan sama Bapak di sini. Lagipula kenapa Bapak tidak sopan memanggil saya dengan nama saja?" Evelyn sengaja menciptakan jarak dengan memanggil Joseph secara formal. Joseph menyeringai samar. “Oh, tapi kita jelas punya urusan. Soal malam itu ... dan soal Timoti yang bertengkar dengan temannya tempo hari.” Dada Evelyn berdegup kencang saat mendengar suara Joseph yang berat dan dalam. Namun, dia masih berusaha untuk bicara dengan Joseph dengan nada suara yang lantang. “Bukankah saya sudah bilang untuk melupakan malam itu? Dan mengenai Timoti yang bertengkar dengan temannya, saya akan memastikan jika dia tidak akan melakukannya lagi.” Joseph menatap Evelyn lekat-lekat, lalu mendekatkan wajahnya sedikit. “Kamu yakin?” bisiknya, seolah menyimpan sesuatu yang Evelyn tidak tahu. Evelyn menggigit bibirnya, merasa semakin tidak nyaman. Sementara dari jauh, Gina memperhatikan interaksi mereka dengan tatapan curiga. Evelyn menarik napas dalam-dalam, berusaha mempertahankan ekspresi tenangnya meskipun ketegangan masih menyelimuti dirinya. Sekilas Evelyn memindai keadaan sekitar dan melihat beberapa orang tua murid mulai melirik ke arah mereka dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Evelyn pun menyadari jika dia tidak bisa membuat keributan di tempat ini atau tindakannya akan membuat Timoti merasa malu selama bersekolah di sini. Sementara itu, Gina yang berdiri beberapa langkah di belakang mereka, kembali melirik Joseph dengan tatapan penuh selidik. Nalurinya mengatakan pria itu bukan sekadar wali kelas Timoti. Gestur tubuh pria itu terlalu santai saat berbicara dengan Evelyn, seakan-akan ini bukan pertemuan pertama mereka. Rasa penasaran pun bergelayut di dalam dadanya, tapi saat ini dia memilih untuk diam sembari mengamati keadaan. Keheningan pun tercipta di antara keduanya, sebelum Timoti berlari menghampiri Evelyn dengan senyum lebar. “Mami! Tadi aku bagus nggak narinya?” tanya Timoti dengan nada riang. Evelyn segera berjongkok dan meraih kedua pipi bocah yang masih terdapat sedikit luka memar dan gores itu. “Bagus banget. Mami bangga sama kamu.” Timoti tertawa, lalu memeluk Evelyn erat. “Mami janji, ya. Nggak akan telat lagi kalau ada acara sekolah?” Jantung Evelyn mencelos, merasa bersalah ... tapi dia tidak mau berjanji sesuatu yang belum tentu dapat dia tepati. “Mami akan berusaha.” Sementara itu Joseph mengerutkan dahinya, merasa bingung dengan panggilan yang diucapkan Timoti kepada Evelyn. 'Kenapa Timoti memanggilnya Mami, sementara dia masih suci saat aku sentuh?' tanya Joseph di dalam hatinya. "Bener ya, Mih. Kalau Mami bohong aku aduin sama Mister Joseph, loh," ucap Timoti dengan merajuk. Baik Joseph maupun Evelyn hanya tertawa kecil saat melihat tingkah pola Timoti yang menggemaskan itu. "Jadi kapan Ibu akan bicara secara pribadi dengan saya?" tanya Joseph dengan nada tegas, berbanding terbalik dengan matanya yang menggoda. Dengan suara rendah namun tegas, Evelyn berkata, “Kalau Bapak ... Mister punya sesuatu untuk dibicarakan, bukan di sini tempatnya, Mister Joseph.” Evelyn menekankan kata ‘Mister’ mengikuti Timoti, sengaja menciptakan jarak yang berdasarkan formalitas di antara mereka. Joseph menyeringai tipis, tapi matanya tetap tajam menatap Evelyn. “Baiklah, kalau begitu kita akan bicara lagi nanti.” Evelyn menahan keinginannya untuk memutar mata, merasa tak pantas melakukannya. Akhirnya dia memutuskan untuk tidak menjawab dan malah berbalik menuju pintu keluar untuk kembali ke kantor. Sejak setengah jam yang lalu, Merry menerornya dengan mengirim puluhan pesan WhatApp. Semua itu karena investor rewel yang tetap ingin melakukan pertemuan dengan dirinya pada hari ini. Tak mau mengerti meskipun Evelyn mengatakan akan pergi ke pentas seni sekolah 'putranya'. "Timmy. Mami balik dulu ke kantor, yah? Kamu balik ke rumah sama Oma dan Sus Ana," ucap Evelyn setelah keduanya berada di luar gedung serba guna sekolah Timoti. Timoti langsung menunjukkan wajah cemberutnya dan melontarkan protes kepada Evelyn. “Mami kok kerja terus, sih. Aku 'kan mau main sama Mami.” Evelyn tersenyum lembut, mengusap rambut keponakannya yang sedikit berkeringat setelah menari di panggung. “Mami janji nanti malam kita makan pizza bareng, kamu mau 'kan?" “Mau Mami, tapi Mami janji bakal pulang cepat, ya?” Timoti mengulurkan kelingkingnya ke arah Evelyn yang segera menyambutnya. "Mami janji." Timoti akhirnya tersenyum, lalu berlari ke arah Gina dan pengasuhnya yang menunggu di dekat mobil. Evelyn menghela napas dan bersiap melangkah ke mobilnya, tapi suara berat yang sudah mulai akrab di telinganya kembali menghentikan langkahnya. “Aku antar,” kata Joseph yang berdiri di sampingnya dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Evelyn mendesah sembari melirik jam tangannya. “Saya bawa mobil sendiri, Mister Joseph.” Joseph mengangkat alis. “Panggil aku Joseph. Dan aku tetap akan mengantarmu. Aku yakin kita butuh bicara lebih banyak setelah ini." Evelyn menegang mendengarnya, tahu persis maksud pria itu. Joseph pasti akan terus membahas tentang semalam. “Kamu bersikap seolah kita tidak punya hubungan apa pun,” lanjut Joseph. “Padahal—” “Kita memang tidak punya hubungan apa pun,” potong Evelyn cepat. “Sudah saya bilang yang semalam itu hanya kesalahan karena saya terlalu mabuk.” Joseph terkekeh rendah. “Kesalahan yang kamu nikmati?” Evelyn mendelik. “Sir Joseph, saya sudah terlambat. Permisi.” Dia berbalik, tapi Joseph menahan lengannya dengan cengkeraman lembut namun tegas. “Eve.” Nada suara pria itu membuat Evelyn menegang. Itu bukan suara seorang wali kelas yang berbicara kepada orang tua murid. Itu suara seorang pria yang menginginkan lebih dari sekadar percakapan formal. Evelyn menarik tangannya, menatap Joseph tajam. “Jangan panggil saya seperti itu.” Joseph menyeringai tipis. “Kenapa? Karena itu terdengar terlalu intim? Atau karena kamu takut mengingat tentang semalam?” Evelyn menggertakkan giginya. Pria ini benar-benar berbahaya. Dia terlalu santai dan percaya diri, tapi bukan Evelyn namanya jika tidak dapat membalikkan keadaan. "Saya penasaran ... kenapa seorang tenaga pendidik bisa bertandang ke tempat maksiat seperti klub. Bukannya seorang guru harus memberikan contoh yang baik kepada murid-muridnya? Sepertinya reaksi para wali murid saat mengetahuinya akan sangat menarik untuk saya amati." Seketika raut wajah Joseph berubah menjadi tegang. Sial! Mengapa dia melupakan fakta jika Evelyn adalah seorang alpa. "Jadi kamu mengancamku?" tanya Joseph dengan kalimat retoris.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN