Bab 5. Tidak Mungkin!

1214 Kata
"Eve. Sudah berapa kali Mama bilang untuk cepat menikah. Umur kamu udah hampir kepala 3. Teman-teman kamu aja ada yang punya anak 5, ini kamu masih betah melajang," sindir Gina sembari memijit pelipisnya. Evelyn langsung menutup telinga Timoti agar bocah itu tak mendengar omelan sang nenek. "Timoti, kamu cari Sus Ana dan obati luka-lukamu. Nanti bisa infeksi kalau dibiarkan," ucap Evelyn sembari memegang kedua bahu Timoti dengan lembut. Sepeninggal bocah itu, Evelyn segera bangun dari duduknya dan menghampiri Gina. Dia memapah sang ibu agar duduk. Meskipun Gina sering marah-marah dan mengomel padanya, tetap saja Evelyn tidak mau ada hal buruk yang terjadi pada sang ibu. "Mah. Biasakan jangan ngomel di depan Timoti, nanti dia akan mencontoh Mama," tegur Evelyn setelah Gina duduk dalam posisi nyaman. "Siapa suruh kamu buat Mama marah-marah terus? Evelyn, Mama serius, cepatlah menikah. Kamu nggak kasihan sama Timoti," ujar Gina yang seketika merasa melankolis. "Justru karena aku kasihan sama Timoti makanya aku nggak nikah. Coba deh Mama bayangin gitu aku nikah dan punya anak sendiri, perhatianku pasti akan lebih besar ke anakku daripada Timoti," ucap Evelyn dengan nada santai. Gina yang memang sedang sakit kepala, langsung memegang tengkuknya yang mengencang. Melihat sang ibu yang kesakitan, Evelyn menuju dapur dan kembali dengan membawa segelas air hangat. "Mah. Jangan marah-marah mulu, tekanan darahnya jadi naik 'kan," ucap Evelyn yang kini membantu Gina untuk minum. Setelah merasa lebih segar Gina menatap Evelyn dengan mata berkaca-kaca, "Evelyn, Mama cuma nggak mau kamu sendirian terus. Mama takut kalau ada apa-apa sama kamu, siapa yang bakal jaga kamu?" Evelyn tersenyum tipis sembari menggenggam tangan ibunya dengan lembut. "Aku nggak sendirian, Mah. Aku punya Timoti, Papa, dan Mama juga," katanya pelan. "Tapi itu beda, Nak," Gina menggeleng lemah lalu melanjutkan ucapannya. "Mama pengen ada seseorang yang bisa benar-benar jadi sandaran kamu. Yang bisa nemenin kamu sampai tua." Evelyn menghela napas pelan. Dia sudah terlalu sering mendengar hal ini dari mulut Gina dan meski tahu niat ibunya baik, dia tetap memilih untuk melajang selamanya. Setelah mengalami pengkhianatan dan kehilangan seorang kakak akibat ulah pria yang tak bertanggung jawab. Bagi Evelyn tidak ada pria yang baik. "Mah, menikah itu nggak semudah itu," ucapnya lembut. "Aku nggak mau menikah hanya karena tekanan orang-orang. Aku mau menikah kalau aku benar-benar yakin dengan orangnya." Gina menatap putrinya dalam-dalam, lalu menghela napas berat. "Mama cuma ingin yang terbaik buat kamu. Kenapa kamu nggak bawa pria yang berciuman sama kamu ke rumah ini?" tanya Gina lirih. Evelyn hanya dapat terdiam mendengarnya, tak terbayang olehnya bagaimana reaksi kedua orang tuanya jika mengetahui dirinya sudah tidur dengan pria itu. "Kita lihat saja nanti, Mah," ucap Evelyn setelah terdiam beberapa saat. Gina akhirnya mengangguk pelan, meskipun dari ekspresinya jelas dia masih belum sepenuhnya puas. Tapi setidaknya untuk kali ini, dia tidak akan memaksa sang putri lebih jauh. Keheningan pun tercipta tak lama kemudian sampai ponsel Evelyn berdering. Dia segera mengambil benda itu dari tas tangannya yang berwarna coklat. Dahi Evelyn mengerut saat melihat nomor yang tak dikenal tertera pada layar ponselnya. Sejenak dia merasa ragu untuk menerimanya, tapi hati kecilnya mendorong Evelyn untuk mengusap ikon gagang telepon berwarna hijau. "Apa ini benar nomor Ibu Evelyn Martinus, wali dari murid yang bernama Timoti Adam? Saya Joseph wali kelas Timoti," tanya suara pria yang terdengar di ujung sambungan telepon itu. Evelyn segera memasang alarm kewaspadaannya, untuk apa wali kelas Timoti meneleponnya di saat jam pulang sekolah sudah berakhir. Dan lagi kenapa namanya harus sama dengan pria semalam? "Iya. Apa Timoti membuat masalah?" tanya Evelyn dengan cepat. Gina yang mendengarnya ikut memasang telinga, siap mendengarkan pembicaraan Evelyn di telepon. "Bukan itu maksud saya menelepon Ibu. Saya hanya ingin memberitahukan jika besok sekolah akan mengadakan acara pentas seni dan saya sebagai wali kelas Timoti, berharap agar Ibu dapat mmenghadirinya karena setiap kelas akan memberi pertunjukan kepada wali murid," jelas Joseph, si wali kelas Timoti. "Terima kasih atas perhatiannya. Bapak juga semestinya tidak perlu repot-repot menelepon saya. Bukannya pihak sekolah sudah membagikan undangan kepada semua wali murid?" tanya Evelyn menyuarakan kebingungannya. Di dalam hatinya, Evelyn merasa bingung mengapa pengasuh Timoti tidak memberitahukan kepadanya tentang hal seperti ini. "Ah ... itu karena saya sempat bertanya sama Timoti. Dia bilang Mami sibuk pasti nggak akan bisa datang ke sekolah, seperti waktu dia TK," jawaban itu membuat hati Evelyn serasa terhimpit oleh batu besar. Sejak pulang ke Jakarta, Evelyn memang terlalu sibuk mengembangkan perusahaannya. Semua itu dia lakukan untuk mengalihkan rasa sakitnya, tapi Evelyn tak menyadari jika Timoti juga menjadi korban atas kondisi yang bocah itupun tak mengerti. "Saya akan datang ke sekolah saat pentas seni besok," ucap Evelyn setelah menghembuskan napas panjang. “Baik, Bu Evelyn. Saya tunggu kehadirannya.” Setelah panggilan berakhir, Evelyn memejamkan mata dan menghela napas panjang. Ucapan wali kelas Timoti terus terngiang di kepalanya. 'Mami sibuk pasti nggak akan bisa datang ke sekolah, seperti waktu dia TK.' Timoti masih kecil, tapi bocah itu memiliki pemikiran dewasa. Evelyn bisa menduga jika sang keponakan sebenarnya merindukan sosok orang tua kandungnya. Rasa bersalah mulai merayapi hati Evelyn, dia merasa gagal merawat Timoti. Karena sebesar apapun dia mencurahkan kasih sayangnya kepada Timothy, tetap saja tidak bisa menggantikan peran orang tua kandung bagi bocah itu. "Apa kamu akan pergi ke pentas seni sekolah Timoti?" tanya Gina dengan suara pelan. "Aku akan pergi, Mah. Nanti aku minta Merry ngosongin jadwal buat besok," jawab Evelyn yang memaksakan sebuah senyuman8. Gina mengerti arti senyuman itu dan memutuskan untuk tidak melanjutkan pembicaraan mengenai pernikahan dengan Evelyn. Bahkan saat Evelyn meninggalkan ruangan tamu, Gina sama sekali tidak mengajaknya bicara. Setelah membersihkan diri, Evelyn berbaring dengan sekujur tubuh yang sakit. Sejak tadi dia menahannya agar tidak menimbulkan kecurigaan orang tuanya yang pasti akan sebenarnya mendesaknya untuk mengatakan apa yang terjadi pada dirinya semalam. Evelyn jelas tak menginginkan mereka tahu tentang kejadian semalam. Selamanya dia akan menutup mulutnya. Efek dari obat pereda nyeri, membuat wanita itu tertidur dan baru terbangun pada jam 7 malam. Perutnya meminta untuk diisi, dengan langkah gontai Evelyn keluar dari kamar, saat itulah dia berpapasan dengan pengasuh Timoti. "Sus Ana. Kenapa Suster nggak kasih tahu saya kalau besok ada pentas seni di sekolah Timoti." Sang pengasuh terkejut saat mendapatkan pertanyaan itu. Dengan takut-takut gadis muda itu menjawabnya. "Den Timoti yang larang, Bu. Katanya Ibu pasti nggak bisa datang, tapi saya yakin dalam hatinya Den Timoti pasti mau Ibu datang." Mendengar perkataan itu membuat Evelyn menghembuskan napas panjang, sejauh apa rasa sakit yang ditanggung oleh Timoti, sampai-sampai bocah itu tak berani memintanya untuk menghadiri acara sekolahnya? Evelyn lantas mempersilakan pengasuh Timoti untuk kembali melakukan pekerjaannya, sementara dia menuju dapur untuk mengisi perutnya. Setelah ini Evelyn harus kembali tidur, agar siap menghadapi hari esok. Sinar matahari pagi kembali menyapa, Evelyn yang sudah terbangun menelepon sekertarisnya untuk mengatur ulang jadwalnya. Meskipun Merry sempat protes, tapi dengan imbalan bonus membuat wanita itu dengan senang hati mengatur jadwal sang atasan. Setelah memutuskan sambungan telepon, Evelyn bersiap-siap untuk pergi ke sekolah Timoti. Bocah itu sudah berangkat terlebih dahulu dengan Gina dan pengasuhnya. Dia sengaja tak memberitahukan Timoti. Biarlah menjadi kejutan. Evelyn tiba di sekolah Timoti 40 menit kemudian, tepat saat bocah itu akan tampil di panggung bersama dengan teman-teman sekolahnya. "Timoti!" Mendengar namanya dipanggil membuat bocah itu menoleh dan tersenyum lebar saat melihat Evelyn. Tapi matanya terbelalak saat melihat pria yang mengatur barisan para bocah itu. "Tidak mungkin itu dia!" teriak Evelyn tanpa sadar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN