"Dasar wartawan gosip kurang ajar! Bisa-bisanya mereka mengambil potoku yang sedang berciuman seperti ini." Maki Evelyn sembari memesan taxi daring menuju klub malam untuk mengambil mobilnya.
Tangannya bahkan mengepal kuat, tak menyangka jika ke mana dia pergi selalu ada orang yang mengenalnya.
"Bu Eve ... akhirnya Ibu datang juga ke kantor," ucap Merry dengan raut wajah penuh kelegaan.
"Memangnya ada kabar apa lagi selain poto-poto sialan itu?" tanya Evelyn dengan raut wajah datar.
"Orang tua Ibu ada di dalam kantor menunggu Ibu. Mereka kelihatan sedikit ...."
"Murka? Begitu maksud kamu." Sebelum Merry menyelesaikan ucapannya Evelyn sudah memotongnya, membuat gadis itu hanya dapat menunjukkan cengiran bodoh.
Evelyn mengangguk paham dan segera membuka pintu, tak ambil pusing dengan amarah yang akan diluapkan oleh kedua orang tuanya. Merry hanya dapat menghembuskan napas pasrah. Untung saja dia telah menyajikan kudapan dan minuman untuk keduanya.
"Evelyn. Dari mana saja kamu semalam? Terus kenapa bajumu kayak baju anak SMP? Kamu nggak tahu apa kalau Timoti nungguin kamu sampai ketiduran." Gina yang melihat Evelyn langsung memberondong dengan pertanyaan.
Sementara Erik-ayah Evelyn hanya terdiam melihat interaksi antara anak dan istrinya. Namun dari wajah yang tenang itu, tersimpan amarah yang coba dia redam.
"Aku ini udah 28 tahun, Mah. Jadi wajar kalau sesekali nggak pulang ke rumah. Mama nggak ngerti fashion, ya? Baju ini lagi ngetrend di kalangan sosialita muda," ucap Evelyn sembari memamerkan dress hitam yang meski tertutup tapi membungkus ketat tubuh rampingnya.
Mendengar jawaban Evelyn, membuat Gina semakin naik pitam. Wanita paruh baya itu lantas menjewer telinga Evelyn dengan sekuat tenaga. Omelan pun keluar dari bibir yang dipoles oleh gincu berwarna merah menyala.
"Dasar anak kurang ajar! Bisa-bisanya kamu bicara kayak gitu. Terus siapa pria yang mencium kamu? Cepat kenalkan sama kami, kalau memang dia itu pacar kamu!"
"Dia bukan pacar aku, Mah. Pria itu cuma orang random yang tak sengaja bertabrakan bibir denganku," elak Evelyn yang tak mau Gina terus membahas Joseph.
"Mama ... cukup. Nggak ada gunanya sekarang Mama marah-marah sama Evelyn, artikel dan poto-poto itu sudah menyebar secara masiv. Sekarang yang dapat kita lakukan adalah mengurangi dampak dari artikel itu," ucap Erik yang menghentikan perdebatan keduanya.
"Evelyn ...." Wanita itu meneguk salivanya dengan kasar, merasa ngeri saat mendengar cara Erik memanggil namanya.
"Kita akan bicara di rumah. Sekarang Papa mau ke kantor dulu, ada meeting 2 jam lagi. Mama ... mau pulang apa tetap di sini?" tanya Erik yang kini menatap sang istri.
"Oke Pah. Aku juga mau kerja dulu sekarang," ucap Evelyn setelah mengumpulkan keberaniannya.
"Mama mending pulang aja, bisa-bisa tekanan darah Mama tinggi kalau berduaan sama anak bengal ini," kata Gina dengan raut wajah masam.
Evelyn langsung menyunggingkan senyum lebar saat melihat kedua orang tuanya meninggalkan ruangan kantornya.
Beberapa menit kemudian, Merry masuk ke ruangan Evelyn dengan membawa secangkir kopi yang masih mengepulkan uap panasnya.
"Terima kasih," ucap Evelyn yang langsung menyeruput kopinya.
"Ada lagi yang mau kamu katakan, Merry?" tanya Evelyn saat melihat jika gadis itu hanya berdiri dalam diam.
"Efek dari artikel itu mulai berpengaruh pada saham perusahaan ini, Bu. Dari tadi bagian PR sibuk membuat klasifikasi bagi klien dan investor. Dan mereka mendesak Ibu untuk membuat pernyataan atas artikel itu."
Evelyn hanya terdiam setelah Merry menyelesaikan ucapannya, berpikir bagaimana cara untuk menenangkan situasi ini. Dia memutar cangkir kopinya perlahan, menatap uap yang naik dari permukaannya.
Pikirannya berputar, mencoba mencari solusi terbaik untuk menangani situasi yang semakin memanas. Tapi setelah berpikir lebih jauh, dia memutuskan untuk diam dan melihat sampai sejauh mana gosip ini akan berkembang.
"Bilang kepada tim PR untuk diam mulai sekarang. Berikan jawaban yang diplomatis kalau itu dapat menenangkan investor maupun klien," ucap Evelyn sembari menatap tajam Merry yang sempat merasa terkejut.
"Baik, Bu. Saya akan segera mengurusnya," kata Merry setelah mengangguk cepat.
Setelah Merry keluar, Evelyn menyandarkan tubuhnya di kursi, menghela napas panjang. Dia tahu bahwa artikel itu bukan hanya sekadar berita gosip, tapi adalah serangan terhadap dirinya dan reputasinya. Bahkan yang lebih buruk lagi, serangan terhadap citra perusahaannya.
Dia memejamkan mata sejenak, mencoba mengurai siapa yang mungkin punya kepentingan dalam menjatuhkannya. Bukan rahasia jika di dalam dunia bisnis penuh dengan intrik dan permainan kotor. Tapi yang membuatnya kesal adalah kenyataan bahwa ini bukan pertama kalinya dia menjadi sasaran. Hanya kali ini Evelyn lalai sehingga orang-orang itu mendapatkan buruan dari umpan yang tak sengaja dia sebar.
Tak mau berlarut-larut dalam pikirannya, membuat Evelyn mulai bekerja. Jarinya dengan lincah menari di atas keyboard, menarik wanita itu larut lebih dalam kepada pekerjaannya. Suara ponsel yang berdering memecah konsentrasinya, Evelyn mengerutkan dahinya saat mengetahui pengasuh Timoti yang meneleponnya.
"Iya ada apa, Sus?" tanya Evelyn yang kini memakai earphone wireless-nya.
"Bu Eve. Den Timoti mengamuk, tadi dia juga bertengkar dengan temannya di sekolah." Evelyn hanya dapat menghembuskan napas panjang saat menerima laporan itu. Kesal sudah pasti, tapi dia tidak mau marah tanpa mengetahui akar permasalahannya terlebih dahulu.
"Sekarang Timoti di mana, Sus?" tanya Evelyn sembari memijit pangkal hidungnya.
"Sudah pulang, Bu. Ibu Gina langsung sakit kepala waktu tahu Den Timoti bertengkar," jelas pengasuh Timoti dengan nada takut-takut.
"Saya pulang sekarang, Sus," ucap Evelyn akhirnya.
Setelah panggilan itu berakhir, Evelyn membereskan mejanya. Tak ada gunanya melanjutkan pekerjaannya di saat terjadi masalah seperti ini.
Sesampainya di rumah, Evelyn melihat seorang bocah laki-laki yang memakai rompi dan celana pendek kotak-kotak merah duduk di sofa. Sementara di sampingnya berdiri seorang gadis berpakaian khas pengasuh berwarna biru. Tampak gadis itu sedang membujuk bocah itu agar luka-luka yang ada pada wajahnya mau diobati.
Evelyn melangkah ke arah keduanya, dia menepuk bahu gadis itu dengan pelan dan mengisyaratkan untuk pergi dari ruang tamu ini.
"Timoti." Bocah itu tidak menggubris panggilan Evelyn dan tetap berada dalam posisi membelakangi Evelyn.
"Timoti." Sekali lagi Evelyn memanggilnya, tapi dengan nada suara yang lebih tegas.
Bocah itu menoleh dan menatap tajam Evelyn yang hanya merespons dengan menyilangkan kedua tangannya di depan d**a.
"Sekarang bisa jelasin sama Mami kenapa kamu berantem sama teman?" tanya Evelyn sembari menatap Timoti dengan penuh ketegasan.
Namun bocah itu hanya terdiam, tapi Evelyn mengetahui jika Timoti mencoba menahan tangisnya. Sebab dia mengigit bibirnya dengan sekuat tenaga.
Evelyn menghela napas panjang, lalu duduk di samping Timoti. Tangannya terulur, mengusap pipi bocah itu yang terdapat beberapa goresan merah samar.
“Sayang, Mami nggak akan marah kalau kamu cerita jujur. Kenapa kamu berantem?” tanyanya dengan suara lebih lembut.
Timoti menunduk, jemarinya saling meremas gelisah. “Teman-teman di sekolah ngomongin Mami ….” Suara Timoti nyaris berbisik saat berbicara.
Evelyn mengerutkan kening. “Ngomongin apa?”
“Mereka bilang Mami cewek nakal … yang suka dicium laki-laki,” ucapnya terbata-bata, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku marah, Mami … mereka nggak boleh ngomong jelek kayak gitu!”
Jantung Evelyn mencelos. Jadi efek gosip murahan itu sudah sampai ke telinga Timoti. Dia seharusnya sudah menduga, tapi tetap saja mendengar langsung dari mulut sang keponakan membuatnya terpukul.
Evelyn menarik napas dalam dan menenangkan diri. “Sayang, Mami tahu kamu marah, tapi berantem bukan cara yang benar. Lihat kamu jadi luka-luka seperti ini, 'kan? Nanti Mama Timoti yang ada di surga bisa sedih lihatnya."
“Tapi mereka jahat, Mami!” Timoti akhirnya menangis, air matanya mengalir deras. “Aku nggak mau mereka bilang Mami nakal … Mami nggak kayak gitu .…”
Evelyn menahan perih di hatinya. Dengan lembut, dia menarik Timoti ke dalam pelukannya, membiarkan bocah itu menangis di bahunya.
“Mami janji akan urus ini, oke?” bisiknya. “Mami nggak akan biarkan orang lain menyakiti kamu.”
"Lihat karena ulah kamu yang sembrono, Timoti yang jadi korbannya." Evelyn mendongak dan melihat Gina berjalan ke arah keduanya dengan koyo yang menempel pada kepala nya.
Evelyn hanya dapat menghembuskan napas panjang, karena Gina akan memarahinya sebentar lagi.