Malam ini, Sonya keluar. Bukan hanya untuk mengisi perut yang lapar, tapi untuk merayakan awal baru. Meski masih terasa pedih, Sonya tahu langkahnya kini bukan lagi demi cinta yang menyakitkan, melainkan demi cinta yang akan tumbuh dan tidak pernah menghakiminya. Udara malam memang sedikit menusuk kulit, tapi tekadnya lebih hangat dari apa pun. Dia sengaja memilih restoran yang cukup terkenal di ibu kota tanpa peduli dengan harga makanan di sana. Dia juga mengesampingkan trauma masa lalu ketika hampir celaka saat memesan ojek daring di malam hari. “Aku baik-baik saja sekarang,” ucapnya pelan pada dirinya sendiri, seolah meyakinkan bahwa keberaniannya malam ini bukan sekadar pelarian, tapi bentuk cinta untuk calon buah hatinya. Begitu tiba, dia membuka menu dan memesan apa saja yang