“MAS, KOK BUKUNYA BISA ADA DI KAMU?!” Mas Adim tidak langsung menjawab, malah tiba-tiba ikut turun dan menghampiriku. Melihat Mas Adim berjalan ke arahku, seketika aku menjauh. “La?” “Jawab dulu. Kok bisa bukunya ada di kamu, mas?” tanyaku sambil terus menghindar ketika Mas Adim terus mendekat. “Berhenti dulu makanya.” Aku menggeleng. “Nggak mau, Mas Adim jawab dulu, cepetan.” Akhirnya Mas Adim berhenti, dan akupun ikut berhenti. Lagi dan lagi, Mas Adim tersenyum padaku, kali ini jenis senyum geli. “Aku udah bawa itu sejak sembilan tahu yang lalu—eh salah, udah sepuluh tahun lebih dikit.” “SERIUS?” Mas Adim mengangguk. “Jadi udah baca apa aja isinya?” “Udah. Puluhan kali, atau mungkin ratusan? Atau bahkan ribuan? Kayak