“Terimakasih banyak, Pak Joko.” Aku dan Pak Dimas kompak menunduk dan tersenyum ketika malam itu Pak Joko pamit pulang dengan motor maticnya, setelah seharian ini beliau menemani ke Semarang. “Sama-sama, Mas, Mbak. Ditunggu undangannya!” Pak Joko tersenyum lebar, sementara aku pura-pura tidak mendengarnya. Undangan dari mana? Kami bahkan baru mulai pacaran, boro-boro lamaran. Apalagi nyebar undangan! “Siap, pak! Segera, tunggu saja,” sahut Pak Dimas sambil melirikku, namun aku langsung melengos, mengalihkan pandangan. Setelah Pak Joko pergi, aku langsung berjalan menuju motorku, sementara Pak Dimas menghampiri mobilnya. Memang, mobil pribadi Pak Dimas dengan mobil yang biasa digunakan untuk urusan kerja, berbeda. “Shil, saya antar k