Hari demi hari berlalu, perutku semakin lama semakin terlihat buncit saja. Ada perasaan bahagia yang tak bisa kujelaskan tiap kali aku berdiri di depan kaca. Terkadang saking betahnya, aku bisa menghabiskan sepuluh menit hanya untuk mengagumi perut sendiri. “La, udah siap?” tanya Mas Adim begitu dia kembali masuk kamar, setelah sebelumnya dari balkon mengangkat terlfon dari temannya. Aku menoleh, lalu tersenyum setengah meringis. “Udah. Bajunya cocok nggak, mas?” Bukannya menjawab, Mas Adim malah terdiam lama sekali, menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Mas? Nggak cocok, ya? Aku ganti deh—“ “Jangan!” Mas Adim menggeleng, lalu berjalan ke arahku. “La, gimana kalau kita nggak jadi ikut acara reuninya?” tanyanya begitu sudah berdiri di depanku. “Hah? Kenapa?” “Mal