Bab 7

1015 Kata
Jeruji besi yang dingin menyambut Sisil begitu pintu sel bergemerincing menutup di belakangnya. Bau anyir dan lembap menusuk hidungnya, membuat perutnya mual. Ia berdiri mematung di sudut ruangan sempit yang dihuni oleh tiga tahanan lain. Tatapan tajam mereka segera menyapu tubuh Sisil dari kepala hingga kaki, seolah mencari kelemahan yang bisa mereka manfaatkan. “Anak baru, ya?” Suara serak seorang wanita bertubuh kekar memecah keheningan. “Kamu pasti yang masuk gara-gara nipu bos besar, kan? Dasar perempuan licik!” Sisil menelan ludah, mencoba menahan rasa takut yang menghimpit di d**a. Tubuhnya gemetar tak terkendali. Dia tidak menyangka hidupnya akan berakhir di tempat mengerikan ini hanya karena fitnah Sarah. "Aku nggak seperti yang mereka tuduhkan!" Sisil membela diri meski dengan suara yang gemetar. "Udah, nggak usah ngelak! Kita semua disini ini sama! Sama-sama narapidana. Sekarang, karena kamu anak baru, kamu harus pijitin tubuhku. Baru setelah itu kamu boleh menempati kasur itu!" Perintah wanita bernama Maya itu. Sisil menelan ludahnya. Belum apa-apa, dia sudah dijadikan pembantu. Gimana dia bisa menjalani kehidupan disini nantinya? Setelah memijat seluruh tubuh Maya, Sisil akhirnya bisa beristirahat. Ia tidur di lantai keras beralaskan tikar tipis yang tidak mampu menghalau dinginnya lantai beton. Suara jeritan dan tawa kasar dari tahanan lain terdengar hingga dini hari, membuatnya tak bisa tidur hingga pagi menjelang. --- Beberapa minggu kemudian, Sisil melahirkan bayi yang tampan. Karena sering kelelahan, Sisil terpaksa melahirkan secara prematur. Bayi itu dia beri nama Sean. Sipir membawa bayi itu ke panti asuhan setelah beberapa minggu bayi itu dirawat di rumah sakit polisi. Pagi ini, kehidupan berat penjara semakin nyata bagi Sisil. Ia dipaksa mengikuti rutinitas kerja paksa yang melelahkan. Dengan tangan yang masih lemah karena baru saja melahirkan, Sisil harus membawa ember besar berisi air dari sumur penjara ke dapur. Saat dia telah berhasil memasukkan air ke dalam gentong dapur, Sisil merasa pinggangnya sakit. Namun, dia harus menahan rasa sakit itu karena tak ingin membuat masalah. “Halah, pelan banget! Ini penjara, bukan spa mewah!” bentak seorang sipir wanita dengan wajah masam. “Aku... aku masih belum pulih setelah melahirkan,” jawab Sisil dengan suara bergetar. “Alasan!” Sipir itu menjentikkan tongkat ke lantai. “Kalau nggak mau kerja, jangan makan!” Sisil hanya bisa mengangguk pasrah meski tubuhnya sudah hampir roboh. Setiap hari, rasa lapar dan lelah menjadi teman setianya. Namun, yang paling menyakitkan bukanlah fisik yang lelah, melainkan rasa sakit di hatinya. --- Sore ini, Sisil duduk sendirian di pojok halaman penjara yang dipenuhi lumpur. Tatapannya kosong, wajahnya suram. Dia terus memikirkan anaknya, Sean. Bagaimana kabar Sean sekarang? Siapa yang merawatnya? Apakah Keanu tidak pernah sedikitpun memikirkan dirinya dan juga anaknya? “Jangan melamun, nanti malah mati sia-sia,” suara seorang tahanan tua memecah lamunan Sisil. Wanita itu duduk di sebelahnya, membawa secangkir teh hangat yang entah darimana didapat. “Kamu kenapa bisa sampai di sini?” tanya wanita itu dengan nada lembut. “Saya difitnah,” jawab Sisil lirih. “Fitnah? Kalau aku mah jelas bersalah.” Wanita itu terkekeh. “Tapi dengar ya, Nak. Kalau mau bertahan hidup di sini, jangan jadi korban selamanya. Kamu harus bangkit dan lawan.” Sisil terdiam, kata-kata wanita itu menohok hatinya. --- Keesokannya, seorang sipir mendekatinya dengan ekspresi datar. "Sisil," panggilnya dengan nada singkat. Sisil mengangkat wajah dengan lelah. "Ada apa, Bu?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar. "Kamu ada kunjungan dari seorang kerabat," kata sipir itu tanpa ekspresi. "Tapi ini bukan berita baik." Jantung Sisil berdebar keras. Dengan langkah berat, dia mengikuti sipir menuju ruang kecil yang disediakan untuk pertemuan. Di sana, seorang pria paruh baya yang dikenal sebagai Pak RT di kampungnya berdiri dengan wajah muram. Sisil menelan ludah, perasaan tidak enak menyelubunginya. “Pak Ridwan? Ada apa?” tanyanya dengan gugup. Pria itu menarik napas panjang sebelum berbicara, “Ibumu, Nak... beliau meninggal dunia tadi pagi. Serangan jantung. Beliau sempat menyebut namamu sebelum pergi.” Tubuh Sisil gemetar. Dunia seolah berputar di sekelilingnya. “Tidak... tidak mungkin...” bisiknya dengan suara parau. Pak Ridwan mengangguk pelan. "Beliau mungkin terlalu stres karena memikirkan masalah kamu. Tetangga banyak yang bicara, dan ibu kamu nggak kuat menanggung beban malu. Kami semua berdoa buat kamu, Sisil." Sisil terdiam. Air matanya mengalir deras, tapi tidak ada suara tangis yang keluar. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Dia tidak ada di sisi ibunya saat wanita itu menghembuskan napas terakhir. Dia bahkan tidak bisa memberikan pelukan terakhir untuk satu-satunya orang yang selalu percaya padanya. “Pak, saya mau pulang... saya mau lihat makam Ibu,” gumamnya tanpa sadar. Pak Ridwan menatapnya penuh iba. "Sabar ya, Nak. Tetap kuat. Setelah kamu keluar dari sini, Bapak akan mengantarkanmu ke makam ibumu." Sipir yang berdiri di dekat pintu berdeham. "Waktu kunjungan habis." Sisil bangkit dengan tubuh lemas, berjalan kembali ke sel tanpa sepatah kata pun. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. --- Hari-hari berlalu dengan lambat. Sisil yang awalnya lemah mulai belajar untuk bertahan. Dia tidak lagi menangis di malam hari. Dalam pikirannya, dia terus mencari cara bagaimana dia bisa keluar dari sini. Dia juga belajar untuk tidak mudah tunduk pada tahanan lain yang mencoba menindasnya. Pada suatu pagi, seorang tahanan muda mencoba merampas jatah makan Sisil. “Sini, itu buat aku! Perempuan lemah kayak kamu nggak butuh makan banyak,” ejek wanita itu dengan senyum sinis. Namun kali ini, Sisil tidak tinggal diam. Dengan cepat, dia mencengkeram tangan wanita itu dan menarik nampan makanannya kembali. “Kalau lapar, ambil sendiri dari dapur,” ucap Sisil dengan suara dingin. "Dan ingat, jangan coba-coba menggangguku kalau kamu tidak ingin menyesal!" Tatapan tajam Sisil membuat wanita itu terdiam, tidak menyangka bahwa Sisil yang biasanya penurut bisa berubah menjadi sosok yang begitu mengerikan. --- Malam itu, Sisil duduk di atas tikar lusuh sambil memandang langit-langit sel. Dalam hatinya, dendam yang teramat dalam mulai tumbuh. Dia tidak hanya marah pada Sarah, tetapi juga pada Keanu yang telah membiarkannya jatuh ke jurang penderitaan tanpa mencoba menyelamatkannya. “Sarah... Keanu... kalian harus membayar mahal karena telah memasukkan aku ke dalam neraka ini,” gumam Sisil dengan suara penuh amarah. “Aku akan keluar dari sini, dan saat itu tiba, kalian akan tahu siapa aku sebenarnya!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN