Hari ini Laskar seperti biasa bersiap-siap ke sekolah. Tapi satu hal yang beda. Cowok itu persiapan 05.30. Dan saat ia turun, ia melihat pembantu rumahnya sedang menyiapkan sarapan bersama Kinan.
"Pagi Sayang." Sapa Kinan hangat.
"Pagi juga Mommy. Kok hari ini tambah cantik?" Balas Laskar lalu duduk di kursi meja makan.
"Ehm. Sepertinya ada yang berani rayu istri Daddy."
Laskar langsung terbahak saat tahu Deni, sang Daddy melangkah mendekat dengan balutan jas kantor yang melekat pada tubuhnya.
Setelah sarapan, Laskar berangkat ke sekolah, hari ini ia memilih menggunakan motor sport. Ia menancap gas motornya dengan kecepatan normal dan sesekali melirik jam tangan. 06.02. Saat ini masih jam 06.02, dan jalanan cukup sepi.
Tatkala sampai di sekolah, ia tidak langsung ke kelas, tetapi ke atap. Buat apa mengurung diri di kelas? Ia butuh ketenangan yang lebih. Saat sampai di atap, Laskar berbaring di sebuah kursi kayu panjang yang berada di sebelah kiri pintu rooftop. Namun ketika ia sudah mendapatkan ketenangan itu, sebuah suara membuyarkan suasana tenang tersebut.
Krek.
Pintu rooftop terbuka, tapi Laskar malas melihat siapa yang datang. Mengacuhkannya mungkin lebih baik.
"Sejuk banget."
Kening Laskar mengerut samar mendengar suara familier itu. Ia menegakkan punggungnya, menatap ke arah seorang gadis yang berdiri di dekat tembok pembatas. Ia memilih mendekatinya.
"Lo gak tau rumor yang beredar di sekolah ini?" Kata Laskar tepat berada di belakang Rhea.
Sontak Rhea berbalik dengan tatapan terkejut. "Lo kok di sini?" Rhea tidak bisa menutupi keterkejutannya.
"Seharusnya gue yang nanya gitu,"
Rhea terdiam.
"Lo gak tau rumor tentang rooftop ini? Gak takut?" Tanya Laskar lagi. Dia menatap lurus dengan pandangan yang kosong.
"Soal hantu?" Rhea menatap Laskar untuk memastikan. Lalu ia terkekeh. "Enggaklah kalau hantunya macam lo."
Sudut bibir Laskar berkedut. "Lo kata gue setan?"
Dengan polos Rhea mengangguk. "Iya, lo hantu penghuni rooftop."
Laskar menatap Rhea dingin. "Terserah. Dasar manusia."
Mendengar itu Rhea ngakak. Tidak menyangka ia tertawa hanya karena cibiran Laskar.
"Tumben lo dateng pagi?"
Laskar melirik Rhea. Mereka berdua kini menatap lapangan outdoor sekolah yang terlihat. "Salah?"
Rhea tersenyum. "Enggak, sih."
"Rhea."
Jantung Rhea berdegup kencang. Laskar sangat jarang memanggil namanya. Ketika cowok itu memanggil namanya, rasanya sedikit... aneh.
"K-kenapa?"
"Hari ini lo ada jam olahraga?"
"Hm."
Laskar tersenyum lebar. "Perfect. Entar sore jangan pulang dulu. Temui gue di gedung olahraga B setelah lo ganti seragam dengan kostum olahraga."
Rhea mengernyit. "Buat apa?"
"Kalo mau tau, datang sendiri ke sana." Jawabnya sebelum berbalik pergi dari rooftop.
Rhea menatap pintu rooftop, di mana Laskar menjauh, dengan pandangan penasaran. Kali ini Laskar merencanakan apa?
***
Dengan langkah lambat, Rhea memasuki gedung olahraga B. Sangat sepi, tentu saja karena semua orang sudah pulang. Lagipula Laskar benar-benar sok misterius. Merahasiakan rencananya segala. Kan Rhea jadi penasaran.
Gedung olahraga sekolah dibagi menjadi dua, A dan B. Gedung olahraga A adalah gedung yang berisi lapangan basket beserta tribun penonton. Sedangkan gedung olahraga B bisa digunakan untuk kegiatan olahraga apa pun. Bulu tangkis, voli, lari, dan lain sebagainya.
Ternyata di sana Laskar sudah menunggu. Cowok itu mengenakan kostum olahraga sepertinya dengan bola di tangannya.
"Sekarang bilang, rencana lo apa?"
Laskar mengangkat bola di tangannya sembari memasang smirk. "Mau tanding?"
Rhea menatap Laskar dan bola itu lekat. "Voli?"
"Gue udah bilang, gue ahli main voli. Nggak, bukan hanya voli, tapi juga basket, bulu tangkis, sepak bola."
Gadis itu merotasikan bola matanya. "Lo lupa? Gue juga ahli tau."
Sebelah alis Laskar terangkat. "So?"
"Gue terima tantangan lo!"
Laskar terkekeh sembari memainkan bola di tangannya. "Tapi kayaknya kurang asik kalo cuma bertanding."
"Terus lo mau apa lagi?" Rhea bersedekap, menanti apa yang akan dikatakan Laskar.
Cowok itu lagi-lagi tersenyum miring. "Gimana kalau kita buat taruhan?"
"Hah?"
"Yang kalah bakal menuruti perkataan yang menang."
Rhea termenung. "Tapiㅡ"
"Lo takut?" Pancing Laskar sengaja. "Kalau lo takut sih, ya gak papa."
"Oke, fine!"
Seringaian Laskar melebar. "Oke. Kita mulai."
Laskar dan Rhea segera mengambil posisi. Rhea menatap Laskar serius. Dia tidak boleh kalah!
"Siap?" Tanya Laskar memastikan. Kedua tangannya sudah berancang-ancang memukul bola.
"Ya!" Balas Rhea.
Dengan segera Laskar melayangkan bola ke arah Rhea, yang dengan segera dibalas Rhea. Pertandingan sangat sengit. Keringat membasahi kostum olahraga mereka. Wajah mereka pun sudah penuh dengan peluh.
Satu jam kemudian, Rhea duduk di lantai dengan napas memburu. Ia mengelap wajahnya menggunakan lengan.
"Gimana?" Laskar mendekat.
Rhea mendengus kesal. "Ya, ya. Lo menang."
Laskar terkekeh, lalu mengulurkan tangan. Rhea memberikan tangannya sehingga Laskar membantunya berdiri.
"Jadi lo mau apa?" Tanya Rhea tidak sabaran.
Laskar mengusap kedua telapak tangannya. "Gue cuma minta satu."
Sebelah alis Rhea terangkat. "Cuma satu?"
"Hm." Laskar menatap Rhea lamat. Membuat gadis itu menjadi kikuk.
"A-apa?" Sial, Rhea jadi gugup melihat tatapan Laskar saat ini.
Beberapa menit hening, akhirnya Laskar mengungkapkan permintaannya.
"Gue mau lo jadi pacar gue."