15

1134 Kata
SEPERTI yang Laskar duga. Dirinya terlambat lima belas menit dari yang seharusnya. Walau Laskar dikenal bad boy dan tukang bolos, namun ia jarang sekali terlambat datang sekolah. Lagi pula, siapa lagi yang harus disalahkan di sini selain Efa? Karena mengantarnya, kali ini Laskar harus berbaris di lapangan upacara untuk mendengar ceramah lalu menerima hukuman. Laskar mendengus malas. Sebenarnya dia hendak membolos saat tiba di gerbang sekolah yang sudah tertutup, namun aksinya gagal karena entah dari mana Mr. Rian tiba-tiba berdiri di samping motornya lalu menggiring Laskar masuk ke lingkungan sekolah. Mentang-mentang hari ini jadwal piketnya, jadi dia seenaknya. Cerca Laskar dalam hati. Beberapa guru di SMA Pratama memiliki jadwal piket untuk mengurus yang terlambat. Salah satunya adalah Mr. Rian. Kata ilmu pengetahuan, matahari pagi itu menyehatkan karena mengandung vitamin D, kan? Tapi Laskar merasa matahari pagi ini seperti panas neraka yang membakar kulitnya secara perlahan. “s**t,” desisnya malas dan tak sabaran karena Mr. Rian yang bernotabene mengajar Bahasa Inggris itu sedang mewanti-wanti dengan serius. Yang terlambat hari ini tidak begitu banyak. Ada lima orang jumlah yang terlambat, termasuk Laskar. “Kamu, bersihkan toilet lantai dua dan satu. Kamu, perempuan yang mukanya diwarnai, bersihin lapangan sepak bola....” Mr. Rian mulai membagi hukuman yang harus dijalankan oleh mereka yang terlambat. Merasa sedikit gerah, Laskar melepas jaket hitamnya membuat dua orang cewek yang ada di sana menjerit melihatnya. Tatapan Mr. Rian langsung tertuju pada Laskar. “And you! Bersihkan pinggir lapangan basket outdoor, now!” Mereka berlima masih bergeming di tempatnya. Membuat Mr. Rian menatap mereka bingung lalu berteriak sambil menepuk-nepuk tangannya keras. “C'mon! Go and do it now!” Decakan dan gerutuan pelan terdengar dari beberapa orang yang kini membubarkan diri untuk mulai melaksanakan hukumannya— atau mungkin kabur. Laskar menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal dengan malas, lalu saat ingin melangkah pergi, suara seseorang menghentikan niatnya. “M-maaf, Mr. Saya terlambat.” Suara yang terdengar terengah-engah itu membuat Laskar menolehkan kepalanya. Alis Laskar terangkat dengan heran, kurang percaya jika seseorang yang baru datang itu adalah pelajar yang dijadikan teladan baik di sekolah ini. Siapa lagi kalau bukan Rhea. “Owh, Miss Asianya. Why are you late?” “Saya bangun terlambat, Mr.” jawab Rhea sambil meringis pelan. Pernapasannya perlahan berangsur-ansur normal, tidak terengah-engah seperti awal datang. “Sayang sekali. You are a good girl but I still have to give you a punishment.” Tiba-tiba pandangan Mr. Rian beralih pada Laskar yang masih diam di tempatnya. Rhea yang baru merasa ada orang lain di sana ikut menatap objek yang tengah dilihat Mr. Rian. Matanya membulat saat melihat Laskar yang juga menatapnya lurus. Jadi... Laskar juga terlambat? Mata Mr. Rian menyipit sambil berusaha membaca name tag cowok itu. “Okay, Laskar. Kalian berdua bisa bekerja sama untuk membersihkan pinggir lapangan basket outdoor.” Tanpa mengatakan apa-apa, Laskar melangkah pergi membuat Rhea yang tak memiliki pilihan lain segera mengekori. Rhea mengambil bak sampah karena pinggir lapangan tidak begitu kotor. Paling hanya ada beberapa gelas minuman dan daun kering yang gugur dari pohonnya. Merasa bekerja sendiri, Rhea mengalihkan pandangannya. Laskar sedang duduk di pinggir lapangan sambil menatapnya. “Laskar, lo gak kerja?” tanya Rhea sedikit keras. Laskar mengedikkan pundaknya tak acuh membuat gadis itu merengut kesal. Karena tahu Laskar tidak dapat dipaksa untuk melaksanakan hukuman, akhirnya dengan pasrah Rhea membersihkannya sendiri. Belasan menit Rhea gunakan untuk membersihkan. Dan kini, dia memilih duduk di pinggir lapangan basket sambil menyeka keringatnya. Tiba-tiba Laskar duduk di sampingnya sambil mengulurkan sebotol air mineral. Rhea menatap cowok itu lekat, lalu dengan sedikit ragu menerimanya. “Makasih,” katanya pelan lalu membuka tutup botol dan meneguk isinya. Laskar menatap Rhea yang kini menghela napasnya lelah. “Lo kenapa bisa terlambat?” Tersentak pelan, Rhea menatap Laskar canggung. “Em, bangun terlambat.” “Anak teladan kek lo bisa bangun telat juga?” cibir Laskar sambil mendengus. Seketika Rhea meringis. Kalau dia seorang cewek yang berani, Rhea ingin mengatakan jika keterlambatannya ini karena cowok itu. Semalaman dia tidak bisa tidur karena memikirkan hari-harinya yang selalu terdapat kehadiran Laskar. Dan dia juga merasa aneh saja, kenapa dia terus merasa gugup saat berdekatan dengan Laskar? Apa lagi jantungnya terus berdegup kencang. Saat bersama Gio, Rhea jarang merasakannya. Gugup pun Rhea tak pernah. Tak ingin mempersulit keadaan, Rhea pun berpikir tingkahnya ini karena dia takut dengan Laskar. Bagaimana tidak, Rhea baru pertama kali berurusan dengan seseorang yang tak berperilaku baik seperti Laskar. Apa lagi sikap cowok itu yang tak mudah dia tebak. “Kalau lo? Kenapa terlambat?” “Nganterin adek gue.” Mata Rhea melebar. “Lo punya adek?” Mendengar nada antusias Rhea, Laskar meliriknya sinis. “Kenapa emang?” Dengan cepat Rhea menggeleng. Dia menunduk, menatap botol air yang sedang dia pegang. “Laskar, lo kenapa gak bergaul sama yang lain?” “Males.” Rhea yang mendengar jawaban itu menatapnya kaget. Laskar membalas tatapannya, lalu tersenyum. “Emang semua orang itu harus punya teman?” Rhea mengerjap pelan lalu seketika menunduk malu. Astaga, sudah berapa lama mereka saling bertatapan? Dua puluh detik? Tiga puluh detik? “Lo tanya gue seperti itu, emang lo punya?” Senyuman tipis terukir di bibir Rhea. Cewek itu mendongak menatap langit. “Gue itu orangnya monoton, Kar. Dari dulu, banyak yang gak suka sama gue karena gue selalu mentingin urusan sekolah daripada urusan lainnya.” Kemudian Rhea melirik Laskar yang diam menatapnya, lalu terkekeh pelan. “Gue udah diajarin dari kecil buat bahagiain bonyok. Papa gue orangnya perfeksionis. Apa lagi menyangkut disiplin dan anaknya. Kebetulan juga, gue anak tunggal. Jadi ya gitu. Dididik dengan tegas.” Melihat Laskar yang menatapnya lekat, Rhea langsung tertawa mencairkan suasana. Walaupun tawanya terasa kaku. “Jangan tatap gue kayak gitu dong. Walau Papa orangnya tegas, tapi Papa gak begitu membatasi gue selama gue bisa puasin Beliau dengan nilai dan sikap gue.” “Lo tertekan?” Pertanyaan itu lolos dari mulut Laskar. Awalnya Rhea sedikit tersentak mendengar itu. Bagaimana pun juga, dia tidak mengira jika Laskar akan melontarkan pertanyaan sejenis itu. “Em, sedikit.” Rhea mengedikkan bahunya pelan. “Tapi gue udah terbiasa.” Laskar mengerjap pelan lalu mengalihkan pandangannya ke depan. Cowok itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Lo berniat bolos, gak?” Kening Rhea mengerut. “Hah?” “Bentar lagi istirahat pertama kalo lo gak tahu.” Seketika mata Rhea melebar. “Beneran?” tanyanya kaget lalu segera mengambil tasnya yang dia simpan tak jauh dari sana. “Laskar!” Laskar menolehkan kepalanya pada Rhea yang berdiri di bawah pohon rindang yang beberapa meter jauh darinya. Rhea kembali melangkah mendekat lalu duduk di samping Laskar. Melihat itu pun Laskar menatapnya bingung. Mengerti akan arti tatapan Laskar, dia pun mengulas senyuman. “Gak mungkin gue masuk ke kelas di saat detik-detik bel istirahat bunyi, kan?” Mendengar itu, Laskar terkekeh. Manis juga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN