DENGAN memantapkan hati Rhea membuka pintu ruangan Bu Indah. Saat bel istirahat kedua baru berbunyi, tiba-tiba seorang siswa datang dan mengatakan bahwa Bu Indah mencarinya.
Rhea mengambil kesimpulan bahwa Bu Indah mencarinya karena lomba Olimpiade semakin dekat. Apa lagi seminggu ini Rhea belum menghadap Beliau untuk bimbingan. Mungkin itu yang bisa dijadikan alasan mengapa Rhea ada di ruangan ini dan duduk di hadapan Bu Indah sekarang.
“Rhea, saya sudah menyiapkan satu orang lagi dari kelas X untuk mengikuti Olimpiade nanti bersama kamu.”
Dan apa yang Rhea pikirkan benar. Bu Indah langsung membahas tentang Olimpiade sekarang. Diam-diam, ia menghela napas lega.
“Kalau boleh saya tahu, dia siapa?”
“Yunita Adriani, X-IPA 2.”
Rhea langsung manggut-manggut mengerti. Bu Indah tiba-tiba melepaskan kacamatanya, menyimpannya di atas meja lalu menatap Rhea serius.
“Berdasarkan informasi yang saya dapatkan hari ini, kamu terlambat?”
Seketika Rhea meringis. Dia kira Bu Indah tidak mengetahui hal itu. “Iya, Bu. Saya bangun kesiangan.”
“Saya juga mendapat informasi kalau kamu menerima tawaran menjadi tutor untuk Laskar?”
Tunggu, kalau tentang itu bagaimana Bu Indah tahu?
“Bagaimana Ibu tahu?” tanya Rhea tanpa berpikir lebih dahulu.
“Laskar yang memberitahu saya.” Mendengar itu, Rhea mau tak mau mengangguk. Bu Indah menatap Rhea yang sedang menunduk lekat.
“Rhea, saya senang kamu ternyata mau mengajari anak nakal seperti Laskar. Tapi saya tidak mau kamu menjadi rusak karena dia.”
Kepala Rhea langsung terangkat. Tatapannya terlihat kaget. “Maksud Ibu apa?”
“Kamu hari ini terlambat, lalu tidak mengikuti pelajaran hingga jam ketiga.” Bu Indah mengambil jeda sejenak, lalu menghela napas pelan. “Saya bisa memaklumi kalau kamu menjalani hukuman di jam pertama. Namun untuk jam kedua dan ketiga, saya tidak bisa.”
“Maaf, saya tidak akan mengulanginya.” Rhea hanya bisa mengeluarkan kata-kata itu. Dia ingin memprotes ucapan Bu Indah yang seakan menyalahkan Laskar atas kesalahannya ini, namun dia tidak memiliki nyali sebesar itu.
Hidup dengan monoton dan tak pernah membantah atau mengeluarkan pendapatnya sendiri membuat Rhea sulit menyuarakan hati dan pikirannya.
Dia terbiasa hidup menurut. Mengiyakan dan melaksanakan apa yang dikatakan orang tua dan gurunya. Rhea tidak pernah melakukan apa pun sesuai keinginannya sendiri.
Bila ditanya apa yang Rhea inginkan, mungkin dia hanya akan menjawab, “Membahagiakan orang tua.”
Ya, memang benar semua anak akan mengatakan hal itu. Namun berbeda dengan Rhea. Dia tidak ingin mengecewakan orang tuanya barang sedikit pun. Atau bisa, tidak sama sekali.
“Rhea, tidak salah kamu menjadi tutor dan dekat dengan Laskar. Namun saya harap, kamu dapat mengajari Laskar agar menjadi pelajar yang baik sepertimu, bukan malah kamu yang terjerumus dalam dunia Laskar.”
Rhea meremas jemarinya kuat-kuat. Entah kenapa dalam hati dia menolak perkataan Bu Indah ini. Tidak, itu tidak benar.
“Untuk itu, saya ingin kamu melakukan sesuatu.”
Dengan tatapan ragu, Rhea bertanya, “Apa itu, Bu?”
Bu Indah tersenyum. “Bantu ubah sikap Laskar menjadi lebih baik.”
***
Rhea menutup pintu ruangan Bu Indah dengan pikiran kosong. Percakapannya dengan Bu Indah masih mengiang di kepalanya.
Menurut pandangan Rhea, Laskar tidak seburuk itu. Mengapa mereka memandang dan mengambil kesimpulan yang sedemikian rupa?
Kalau Rhea sekarang berada di posisi Laskar, mungkin dia akan terluka mengetahuinya. Padahal dia tidak seburuk itu untuk dilihat.
Lagian kalau benar-benar mengenal seorang Laskar, dia adalah pribadi yang baik. Walaupun ucapan Laskar sering ketus, namun Rhea dapat melihat kebaikan Laskar.
“Bantu ubah sikap Laskar menjadi lebih baik.”
“Saya rasa itu hal yang sulit.”
“Itu tidak akan sulit jika kamu sungguh-sungguh melakukannya. Lagi pula saya melihat Laskar sepertinya tertarik padamu.”
“Ibu bisa aja sih.”
Bu Indah tertawa pelan. “Begini saja. Anggap Laskar adalah temanmu. Kamu pasti tidak mau temanmu semakin hancur, kan? Saya melihat kalian berdua sepertinya sama.”
Kening Rhea mengerut. “Sama?”
“Kalian sebenarnya mempunyai sifat alami yang sama. Kamu bisa jadikan Laskar teman dekatmu, bagaimana?”
Seketika Rhea mendengus saat teringat percakapan tadi. Teman dekat? Sama Laskar? Rhea terdiam sesaat memikirkannya. Mungkin, itu bukan ide yang buruk.
“Lo kenapa di sini?”
Suara itu membuat Rhea tersentak kaget dari lamunnya. Didapatinya sosok Laskar yang menatapnya heran.
“Baru menghadap Bu Indah.” jawab Rhea pelan.
Laskar manggut-manggut lalu menyandarkan punggungnya di samping pintu ruangan Bu Indah sambil bersedekap. Dia terus menatap Rhea yang masih bergeming di tempatnya.
“Masalah bolos?”
“Hm?” Rhea menaikkan satu alisnya lalu mengangguk. “Lo tahu dari mana?”
Laskar terkekeh. “Udah biasa sih gue. Paling dipanggil karena masalah.” cibirnya membuat Rhea tersenyum.
Rhea kemudian ikut menyandarkan punggungnya di sebelah Laskar. “Gue kadang bingung, Kar.”
“Soal?” Laskar menatap Rhea yang ada di sampingnya.
“Menurut lo, sekarang lo bahagia?”
“Kenapa lo? Tumbenan tanya gitu.” Kening Laskar berkerut. Heran saja mendengar pertanyaan Rhea yang menurutnya aneh itu.
Perlahan Rhea menatap Laskar dengan senyuman mengembang. Membuat Laskar tertegun beberapa saat.
“Gue seneng bisa kenal lo.” ujar Rhea lalu beranjak pergi, meninggalkan Laskar yang masih terdiam di tempatnya.
Bangke. Gue kenapa sih. Sungut Laskar dalam hati sambil mengacak rambutnya.