Perang Dingin

1166 Kata
Meeting besar digelar dengan agenda perkenalan Benjamin Miller sebagai Co. CEO resmi Cosme, perusahaan bergerak di bidang produksi berbagai macam kosmetik. Ketika Benjamin berpidato, ia disambut bak selebriti karena ketampanan dan cara bicara yang berkharisma. "Males banget, staf cewe di sini yernyata pada ganjen. Baru liat cowo ganteng apa gimana, si?" rutuk Sinola dalam hati seraya memutar bola mata. Tiba-tiba saja, dalam khayalan Sinola sosok Benjamin seolah menatapnya dan mengedipkan satu mata. Woah, tapi ... emang ganteng, si. Sinola termakan omongan sendiri. Perlahan dan pasti, dara berusia dua puluh lima tahun turut larut dalam khayal, mengagumi ketampanan pria matang yang sedang berpidato di depan. "Bagaimana Bu Nola?" Khayalan Sinola tiba-tiba terhenti karena sosok yang sedang ia fantasikan ternyata memanggilnya beberapa kali. "Uhm ... gimana, gimana?" cetus Sinola polos. "Ibu CEO belum sarapan kayaknya. Makanya kurang fokus," ledek Benjamin yang langsung disambut oleh kekehan kecil dari beberapa staf yang menghadiri meeting. Sial! Dia malah permaluin gue. "Baiklah. Saya kira cukup sampai sini. Semoga kita bisa bekerjasama dengan baik mulai hari ini. Terima kasih," tutup Benjamin. Seluruh staf pun memberi tepuk tangan meriah dan mulai beranjak satu-persatu untuk kembali ke meja masing-masing. Hanya tersisa Benjamin dan Sinola di ruangan tersebut. "Pidatonya bagus," puji Sinola yang sebenarnya ingin menguji apakah Benjamin masih marah atau tidak. "Terima kasih." Benar dugaannya, Benjamin terkesan dingin dan acuh sekarang. "Oh, iya." Benjamin tiba-tiba berseru dan langsung disambut keantusiasan oleh Sinola. "Yes, kenapa?" "Saya sudah susun daftar kerjaan yang harus kamu ikuti. Untuk insiden tadi pagi ... pegawai yang bernama Jake resmi di suspend untuk waktu yang belum ditentukan. Kalau ada yang kurang paham, silahkan ke ruangan saya." Yah, gue pikir mau ngobrol kayak biasa, taunya kerjaan. Sinola membatin kecewa nyatanya Benjamin benar-benar bersikap dingin padanya. "Satu hal lagi. Jangan lupa ketuk pintu sebelum masuk. Karena saya gak suka orang yang main nyelonong masuk." "Ben—" Kalimat Sinola terjeda kala Benjamin seolah tak memberi kesempatan bicara. Pria itu melesat cepat dari hadapan sang CEO. Ugh! Marah banget kayaknya tuh cowo. Yaudahlah, La. Positif aja dulu. Kita liat kerjaan apa yang di kasih si Om dingin itu. *** Kasian banget si lo, Jake sampe di suspend. Mana doi langsung pulang tadi. Natasha tertegun di meja kerjanya dengan pandangan sendu ke arah depan. Gadis itu sempat menguping diam-diam di sekitar ruang CEO sejak Jake dan Sinola memasuki ruangan sedari awal. Ini semua gara-gara Sinola. Udah gak becus mimpin perusahaan, malah sekarang nyengsarain Jake. Mentang-mentang anak pemilik perusahaan sok seenaknya sama staf biasa. Natasha kembali bermonolog dendam dalam hati, kesumat menyalahkan Sinola atas di suspend-nya pria yang sudah lama ia taksir. "Nona Natasha?" panggil Benjamin pada Natasha. Namun, sama sekali tak dihiraukan sang empunya nama imbas masih larut dalam lamunan. "Halo!" Benjamin terpaksa meninggikan nada bicara dan aksinya sukses membuat Natasha terhenyak. Astaga, Co CEO yang baru. Hampir aja kesan pertama gue jelek. "Selamat pagi, Pak." Natasha sigap berdiri menyambut Benjamin. Beruntung panggilan kedua kali pria itu sukses menyadarkan lamunannya. "Kamu sekretaris Manager Marketing Strategy, kan?" tanya Benjamin. "Betul. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Natasha ramah. "Karena Jake sedang di suspend, mulai sekarang kamu jadi sekretaris saya." "Baik pak," balas Natasha tanpa komplain. "Segera bawa semua laporan dan presentasikan di ruangan saya." "Siap, laksanakan." Saking tegang, Natasha sampai spontan melakukan gestur tangan hormat yang seketika langsung diturunkan setelah beberapa detik kemudian. Kenapa lu pake hormat segala, njir! Tak lama, Benjamin pun berlalu memasuki ruangan Jake. "Fyuh! Duh, serius banget bos yang satu ini. Alamat kerja keras," gumam Natasha pasrah. Tunggu aja, Jake. Gue bakalan cari waktu yang tepat buat balas perbuatan Sinola ke lo. *** Beberapa hari pun telah berlalu. Semenjak kejadian Jake, tetapi sikap Benjamin masih dingin terhadap Sinola. Tak hanya di kantor, Benjamin yang masih menumpang di Mansion milik ayah Sinola pun kerap menunjukkan sikap yang sama dinginnya bak kulkas seratus pintu. Benar-benar berkebalikan dari saat sebelum peristiwa Jake. Interaksi yang Benjamin lakukan hanya sebatas membahas pekerjaan. Sesudah itu, sang pria seolah menolak berbicara hal lain dengan Sinola. "Ben. Boleh ngomong?" tanya Sinola kepada sosok Co CEO nya yang sedang membuat kopi di dapur malam itu. "Kalau soal kerjaan, silahkan." "Iya tenang aja, soal kerjaan kok," cetus Sinola meyakinkan. Ampun dah, masih ambekan aja si Ben. "Ekhem, gue mau tanya kenapa lo ngasih agenda gue harus ngunjugin langsung pabrik kosmetik Cosme? Padahalkan cukup nunggu laporan aja dari manager produksi." "Kamu salah," sanggah Benjamin dengan sigap. "Kerjaan CEO itu bukan duduk manis aja. Mereka juga harus ikut mengawasi jalannya produksi mulai dari bawah. Gak wajib sering, kok. Tapi, kamu harus atur jadwal minimal sebulan sekali sidak langsung," jelas Benjamin panjang lebar. "Oh, gitu." "Ada lagi?" "Ada. Lo masih marah, kah?" tuduh Sinola to the point. "Sorry, La. Mending kita jangan bahas masalah pribadi. Saya akan bekerja sesuai dengan kapasitas dan kemampuan saya untuk perubahan Cosme lebih baik." Fiks, masih marah, dong. Sinola membatin dongkol, Benjamin seolah tak memberi kesempatan untuk akur seperti dulu. "Satu hal lagi. Saya punya rekan investor di perusahaan bidang modeling dari Perancis yang bakal datang ke tanah air. Saya akan coba ajukan proposal kerjasama produk Cosme ke mereka. Ini kesempatan emas. Kita akan ketemu sama investor sabtu besok sambil makan siang." "Hah, sabtu? Kok dadakan dan di hati libur? Gue gak bisa," protes Sinola. "Jangan bikin susah, La. Emang kamu ada acara?" "Ya ada, makanya bilang gak bisa." "Kemana? Clubing? Cari cowo baru buat pelampiasan?" duga Benjamin dengan tatapan menyelidik. "Heh! Kalau ngomong dijaga. Marah ya marah aja. Tapi, jangan nuduh sembarangan kalau gak tau hidup gue!" sentak Sinola bersungut-sungut imbas tuduhan Benjamin yang kelewat batas. Di sisi lain, sentakan Sinola sukses membuat sosok Benjamin bergeming dan merasa tak enak hati. Sebelumnya, Benjamin telah membaca biodata Sinola beserta kebiasaan-kebiasan putri sahabatnya itu. Dari situ Benjamin mengetahui bahwa sebelum menjadi CEO, Sinola adalah gadis yang gemar clubing dan bermain dengan pria alias playgirl. "Apapun rencana kamu, kamu tetep harus batalin. Ini klien kelas kakap. Sabtu, di Lumiere pas jam makan siang." Tanpa meminta maaf, Benjamin tetap pada pendiriannya. Sosok pria kekar nan tampan itu pun yang segera berlalu meninggalkan Sinola. "Ish, nyebelin lo, Ben!" Sinola melakukan gerakan meninju kesal saat Benjamin sudah tak terlihat lagi. Duh, mana mungkin bisa gue batalin acara hari sabtu. Apalagi sabtu ini. *** Sabtu pagi hari, Sinola sudah keluar dari kediamannya guna menghindari Benjamin. Ia pun bertandang ke rumah Atreya. "Seriusan lo gak mau nurutin Ben?" tanya Atreya yang langsung dijawab dengan santai oleh Sinola seraya berdandan di depan cermin. "Tapi menurut gue, Ben ada benernya, La. Perusahaan La Bella itu klien gede yang bakalan up produk Cosme kalau dipake sama model-modelnya," tutur Atreya memberikan pendapatan seputar bisnis. "Gak bisa, Trey. Gue udah janjian sama Ryan. Pokoknya kalau itu om-om nyatronin lu kesini. Bilang aja lo gak tau, ok." "What!" Atreya terkesiap hebat. "Gue gak jago bohong, La. Gue jagonya nyamperin cowo ganteng," sanggah cepat-cepat sang sektretaris dengan nada genit. Namun, Sinola tetap bersikeras tak bisa mengingkari janji dengan pria bernama Ryan dan Atreya tahu itu. Dengan terpaksa Atreya pasrah mengiyakan permintaan sang atasan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN