Menyadari Sinola sudah beranjak dari mansion, Benjamin tetap datang ke pertemuan dengan CEO La Bella yang kebetulan sedang liburan di tanah air sembari berharap Sinola mungkin bisa dihubungi dan datang.
"Nice Proposal, Ben. But the Problem is ... I don't like being ignored by the CEO. I have to meet your CEO before we start business."
"I'm sorry for the inconvenience. I will try to call The CEO one more time. Please, excuse me," balas Benjamin dalam bahasa asing.
Sayangnya, pertemuan yang awalnya lancar berujung sedikit canggung di akhir setelah calon klien selesai membaca proposal yang ditawarkan Benjamin. Sang klien mengaku puas dengan proposal, tapi sebagai pebisnis sejati ia ingin berhadapan langsung dengan CEO perusahaan alias Sinola untuk keafdolan kerjasama.
Benjamin lantas meminta kesedian sang klien menunggu untuk memberinya waktu menghubungi Sinola.
Kaki jenjangnya mulai beranjak dari kursi dan mencari tempat tenang untuk menelpon Sinola. Sekali lagi, pria itu sungguh kecewa, pasalnya Sinola lebih mementingkan urusan pribadi ketimbang perusahaannya.
"Please, angkat, La!" gusar Benjamin dalam hati.
Nomor yang anda tuju sedang tidak dapat dihubungi.
Sayangnya, hanya jawaban otomatis dari operator yang terdengar saat Benjamin mencoba beberapa kali menghubungi Sinola.
"CUKUP! Sinola harus dikasih pelajaran supaya dia bisa belajar menghargai dan gak seenaknya," geram Benjamin.
Seusai pertemuan dengan Klien Perancis, Tanpa pikir panjang Benjamin segera mengunjungi rumah Atreya. Benjamin yakin Atreya tau dimana Sinola berada.
TING ... TUNG!
Saat membuka pintu, Atreya spontan tersentak kala mendapati Benjamin adalah tamunya.
Waduh, si Bos kedua beneran datang ke rumah gue.
Setelah membatin penuh kekhawatiran, sebisa mungkin Atreya membenahi gelagatnya yang canggung.
"Selamat Siang Atreya."
"Si-siang, Pak Ben."
"Apa Nola di rumah kamu?"
"Uhmmm ... gak, Pak. Bukannya kalian tinggal serumah?" balas Atreya pura-pura polos.
"Dia udah pergi dari pagi dan di hubungin pun sulit. Apa kamu tau dimana dia?" tanya Benjamin semakin menyelidik.
"Ngg .. gak," elak Atreya gugup.
Namun, tentu saja Benjamin tidak percaya begitu saja.
"Tolong, Trey. Jangan main-main sekarang. Kamu tau gak, gara-gara Nola kita kehilangan klien besar." Benjamin memijat keningnya frustrasi. "Klien setuju sama proposal tapi dia gak suka kalau CEO nya langsung gak nemuin dia," tambah Benjamin lagi.
Sh*t! Maaf, La. Gue gak bisa cover aksi lo karena ini menyangkut Cosme.
"Maafin saya, Pak. Nola memang punya kegiatan setiap hari sabtu. Tapi untuk nama tempat dan alasannya, saya gak bisa cerita. Saya akan kirim share lokasinya aja, ya. Bapak bisa tanya Nola langsung." Atreya akhirnya menyerah dan memberitahukan Benjamin koordinat alamat dimana Sinola berada.
Ada jeda sebelum Benjamin meng-iyakan ucapan Atreya karena sang gadis terlihat tidak nyaman
Tak lama setelah mendapatkan koordinat dari Atreya, Benjamin segera meluncur menuju alamat tersebut.
***
"Kayaknya ini tempat yang di share Atreya," monolog Benjamin sembari sesekali memastikan lagi maps lokasi di ponselnya.
Pria yang mengenakan kemeja berwarna Maroon itu mulai melangkah perlahan menuju rumah besar yang seolah terselip, berada di antara pepohonan cemara menjulang tinggi.
Sesampainya di ruangan depan yang mirip dengan lobi, Benjamin mengucap salam, berharap ada orang di sana.
Namun, beberapa kali menyapa, tak ada satu pun yang merespon atau memunculkan presensi.
Tak lama, tiba-tiba saja suara musik pop samar terdengar kala Benjamin mendekati pintu lain mengarah ke taman belakang.
Rame banget musiknya. Apa ada yang lagi ngadain pesta?" Lagi-lagi Benjamin bermonolog.
Karena tidak ada satupun orang yang ia jumpai, akhirnya Benjamin mengikuti jejak samar-samar suara musik untuk mencari sumbernya.
Pendengarannya semakin mengarahkan langkah Benjamin ke arah belakang rumah tersebut. Benar saja, suara musik lama kelamaan terdengar jelas sekarang.
Netranya tertegun sejenak mendapati sebuah pemandangan pesta meriah tengah dihelat di area beakang rumah tersebut.
Tak butuh waktu lama, netra Benjamin menemukan sosok mirip Sinola dari kejauhan yang kini sedang menari dengan seorang pria. Gadis itu begitu melepaskan diri dalam tarian pasangan yang tengah ia lakukan.
Tak hanya Benjamin, Sinola turut terkesiap hebat kala matanya bertemu dengan Benjamin yang sedang mematung di tempat sembari memperhatikannya. Tarian yang sedang berlangsung dengan seorang pria pun otomatis terhenti.
Sh*t! Ben!
Selain Sinola, Ben melihat sekelompok orang sedang bersenang-senang, menari, dan bercengkerama riang di area outdoor yang cukup luas, dengan pepohonan cemara di sekelilingnya, mirip seperti hidden gem party di balik bukit.
Namun, tidak seperti pesta biasa, dalam acara tersebut terdapat mayoritas orang berkepala plontos alias tanpa rambut. Benjamin sungguh dibuat kebingungan dan bertanya dalam benak, pesta apa ini sebenarnya?
Tak lama, tiba-tiba saja sebuah tangan menyambangi pundak Benjamin dan lalu menyapa.
"Halo. Sepertinya kamu baru ke tempat ini. Saya Pegy. Ada yang bisa saya bantu?" tanya sosok wanita dewasa bernama Pegy dengan ramah.
"Uhm ... saya sedang mencari teman."
"Teman?" ulang Pegy.
Benjamin menganggukkan kepala singkat.
"Apa sudah ketemu?" tanya Pegy lagi.
Kedua mata Benjamin kembali menelisik ke arah keramaian pesta yang sedang berlangsung. Matanya masih mencoba mengkonfirmasi sosok Sinola di sana.
"Hmm ... saya ragu dia ada di sini. Tapi tunggu ... cewe itu seperti teman yang saya cari."
Benjamin memusatkan pandangannya kepada sosok wanita yang sedang kini menari dengan seorang pria yang tak jauh dari jangkauannya.
"Oh, Sinola temen kamu?" cetus Pegy memastikan.
"Iya."
"Apa kamu udah ada janji sama Nola sampai jauh-jauh datang ke pinggiran kota begini?
"Ya, semacam itu."
"Kala begitu ... atas nama Nola, saya minta maaf. Sabtu ini kebetulan Ryan ingin sekali menari bersama Nola," ungkap Pegy seraya mengulas senyum.
"Ryan? Maksudnya laki-laki muda yang lagi nari sama Nola itu?" tanya Benjamin mengkonfirmasi.
"Iya. Seperti yang kamu lihat. Di sini bukanlah tempat biasa. Nama tempat ini Cinta Kasih. Rumah singgah khusus teman-teman penderita kanker."
Penjelasan Pegy sontak membuat hati Benjamin tertohok.
"Pen-derita kan-ker?'
"Benar," sahut Pegy mantap.
"Maaf. Bisa Anda terangkan kepada saya apa hubungan rumah kanker ini dengan Nola?" Benjamin semakin penasaran, terutama perihal hubungan rumah singgah kanker dengan putri sahabatnya.
Pegy pun mulai menjelaskan bahwa pemilik rumah singgah ini sebelumnya adalah mama Sinola, Renata Philip.
"Ibu Renata meninggal dunia dua tahun lalu dan yang mengelola sekarang adalah putrinya, Sinola."
Kalau gak salah, Diego pernah cerita kalau istrinya meninggal akibat kanker, batin Benjamin sejenak.
"Jadi, Nola sering datang ke sini?"
Pegy sejenak terkekeh sebelum merespon pertanyaan Benjamin.
"Bukan sering lagi. Hari sabtu adalah hari rutin Nola menjenguk teman-teman di sini. Terlebih hari ini. Hari dimana bertepatan dengan ulang tahun Ryan. Salah satu teman dekat Nola." Pegy terdiam sesaat seraya mengalihkan pandangan pada sosok Ryan dan Sinola yang sedang menari-nari dengan bebas.
"Ryan sangat mengagumi sosok Nola. Ryan sendiri terdiagnosa Leukimia sejak lima tahun yang lalu. Hanya satu keinginannnya sebelum menjalani operasi besok. Yaitu bisa merayakan ulang tahun bersama Nola."
DEG!
Tubuh Benjamin membeku spontan disertai lidah yang kelu sesaat setelah mendengar ucapan Pegy.
Betapa merasa bersalahnya ia telah berpikir buruk tentang Sinola. Benjamin bahkan berharap insiden Jake tidak pernah terjadi. Pasalnya, sejak saat itu, Benjamin memutuskan tak ingin berbicara dengan Sinola kecuali membahas pekerjaan.
Stupid me! Maafin saya, La.
Benjamin hanya terdiam penuh sesal memandangi Sinola yang masih menari lepas dengan pria bernama Ryan–pria muda tanpa sehelai rambut di kepalanya alias plontos.
Tak lama, dari kejauhan Sinola kembali menatap Ben.
"Sial! Pasti dia berhasil ngulik info dari Treya. Siap-siap di marahin ini mah," gumam pasrah Sinola dalam hati.