"Tapi meski begitu, seenggaknya lo harus perlakukan gue sama seperti anggota OSIS yang lainnya, bukannya malah bersikap gak adil seperti tadi." Jun masih tidak terima dengan jawaban santai Bayu itu.
Bayu tersenyum dengan miring. Ia beranjak dari duduknya dan berdiri. Kemudian cowok itu menatap Jun dengan tatapan remeh. "Jadi ... maksudnya, lo mau gue peduliin gitu?" tanyanya dengan nada tak percaya.
Ditatapnya Jun dengan raut wajah yang menyebalkan itu. Kemudian cowok itu menyambung kembali kalimatnya. "Lo siapa mau gue peduliin?"
Setelah mengucapkan kalimat itu, Bayu tersenyum lagi dan mendudukkan dirinya di kursi itu kembali.
Seluruh orang di ruangan itu pun terkejut mendengar perkataan Bayu itu. Zaldi bahkan sampai menegur kalimat dari Bayu itu, namun sayangnya Bayu tetap keukeuh.
Jun yang sudah merasa geram sedari tadi itu kini hanya bisa mengepalkan tangannya. Ia berusaha agar tidak bertingkah aneh-aneh. Jun berusaha menahan emosinya. Sekali lagi mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia tak boleh gegabah dengan memukul Bayu.
"Hah, sudahlah. Gue mau bilangin sikap lo ke Pembina OSIS pun percuma. Karena dia bakal tetap belain lo." Jun akhirnya mencoba meredakan emosinya itu. Ia mengalihkan tatapannya dan mencoba untuk tidak meladeni Bayu lagi. Pasti jika ia meladeni Bayu lagi, maka Bayu akan tambah senang.
Karena Jun tahu bahwa sebenarnya Bayu senang sekali memancing dirinya. Maka dengan cepat Jun segera mengambil kembali tas ranselnya itu dan mengenakannya. Cowok itu memandang Rehan yang masih terdiam sedari tadi itu.
"Yuk Han, kita balik aja. Percuma lama-lama di sini. Buang-buang waktu doang." Jun mengucapkan kalimat itu sembari menggelengkan kepalanya itu. Kemudian menatap Rehan sekali lagi karena Rehan malah terdiam.
"Ayo, Han!" seru Jun dengan gemas. Ia sudah tak ingin berlama-lama di dalam ruangan itu.
Rehan langsung tersentak. Kemudian menatap Jun dengan cepat. "Oh, i- iya." Ia sampai terbata. Kemudian langsung mengikuti ajakan Jun dan dengan terburu mengambil tasnya yang langsung ia kenakan.
"Yuk." Rehan menatap Jun dan juga Bayu bergantian.
Mungkin jika ada di posisi Rehan saat ini, semua orang kebingungan seperti cowok itu. Pasalnya ruangan itu menjadi tegang. Bahkan ketika Rehan menatap Zaldi, cowok itu sama bingungnya seperti dirinya. Rehan dan Zaldi senasib.
Jun dengan cepat melangkah dengan sebelah tangan yang merangkul pundak Rehan di sampingnya. Seperti ucapannya tadi, ia hendak melangkah pergi ke luar dari ruang OSIS itu, dan Rehan dapat bernapas dengan lega setelahnya. Sayangnya kelegaan itu tidak berlaku untuk waktu lama, pasalnya Bayu segera mengucapkan kalimat selanjutnya yang langsung menghentikan langkah kaki Jun. Rehan bahkan sampai mengumpat di dalam hati setelahnya.
"Gue bakalan nyatain perasaan gue ke Jena."
Jun sontak menghentikan langkahnya sendiri ketika mendengar perkataan Bayu. Cowok itu menghela napasnya sembari menatap udara kosong di depannya. Tangan yang tadinya ia gunakan untuk merangkul Rehan, kini diturunkan. Jun lalu terkekeh dengan sumbang, berikutnya ia mentah Rehan dan berujar, "Han, lo balik duluan aja, ya. Gue masih ada urusan di sini."
Rehan sontak menarik tangan Jun kembali. "Jangan Jun, kita balik aja sekarang yuk."
Mendadak Rehan pun takut melihat wajah Jun yang sudah sangat marah itu. Rahangnya mengeras menahan emosinya.
"Enggak," ujar Jun dengan senyuman yang tampak tidak ikhlas. Ia menggelengkan kepalanya.
Setelah mengucapkan kalimat itu Jun sontak membalik badannya dan kembali menatap Bayu. Yang langsung dibalas oleh tatapan Bayu dengan senyuman miringnya.
Rehan dan Zaldi akhirnya ikut bersitatap. Mereka akhirnya memutuskan untuk ke luar dari ruang OSIS itu. Namun tak benar-benar ke luar, mereka berdiri di balik pintu untuk mengintip apa yang terjadi di dalam ruangan itu.
Kini Bayu sudah bangkit kembali dari duduknya dan menyejajarkan tubuhnya dengan Jun. Tinggi mereka yang sama itu membuat kedua cowok itu mudah untuk saling melemparkan laser dari mata masing-masing.
Rehan memandang dari balik pintu ruangan itu. Kemudian menatap Zaldi dengan panik.
"Gimana nih, Zal, mereka gak bakal tonjok- tonjokan 'kan?" tanya Rehan dengan panik.
Zaldi ikut menatap Rehan dengan tatapan yang sama paniknya. "Gue juga gak tahu!" serunya.
Rehan sontak kembali menatap ke dalam ruangan. Tiba-tiba sebuah ide melintas di pikirannya.
Oh, iya, Jena!
Ya, ide untuk menghubungi Jena.
Cepat-cepat cowok itu mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Ia hendak menelepon Jena dan dalam hati berdoa agar Jena tidak pingsan akibat serangan jantung setelah menerima teleponnya.
Jena belum kunjung mengangkat telepon darinya itu pun sampai pada dering ketiga. Barulah ketika sambungan teleponnya dengan Jena tersambung, Rehan dengan cepat mengatakan kalimatnya.
"Halo, Jen!" serunya dengan keras. Ia tak peduli bahwa ia akan ketahuan kalau masih mengintip Jun dan Bayu saat ini. Yang jelas, pasti kedua cowok itu tak akan menyadarinya.
Jena di seberang sana terdengar menjauhkan teleponnya terlebih dahulu sebelum menjawab. "Ya, Han?"
"Jen, gue minta lo buat tenang ya setelah denger omongan gue. Plis jangan sampai pingsan." Rehan berucap dengan panik.
Jena di ujung sana kebingungan. "Hah?" Gadis itu terdengar bingung meskipun masih tetap bertanya kepada Rehan. "Ada apa, Han? Siapa yang bakal pingsan?"
Gadis itu terdengar tidak paham akan ucapan Rehan.
"Lo." Rehan dengan cepat meralat. "Eh maksud gue, lo pokoknya tetap tenang ya, setelah ini."
Rehan kembali memandang ke arah dalam ruang itu sebelum menjawab pertanyaan Jena. Lalu dengan sekali tarikan napas dia berucap.
"Gue rasa bakal ada perang dunia ketiga sekarang!"
"Hah?!"
***
Jena kebingungan ketika melihat layar ponselnya berdering dan menampilkan nama Rehan. Ia bingung karena Rehan tak biasanya meneleponnya. Sungguh keajaiban jika sampai cowok itu menelepon Jena karena gabut.
Ia saat ini tengah berada di dalam ruang Ekskul Teater membahas tentang naskah untuk penampilan drama pada acara ulang tahun sekolah dua minggu lagi. Gadis itu akhirnya meminta izin pada Gilang untuk mengangkat telepon dari Rehan itu.
Jena melangkah menuju sudut ruangan ketika mengangkat telepon dari Rehan itu.
Ketika panggilan tersambung, belum sempat Jena menyapa orang di sebrang sana, Rehan justru langsung berujar dengan kerasnya sampai harus membuat Jena menjauhkan ponselnya.
"Halo, Jen!" Rehan terdengar terlalu bersemangat untuk menjawab panggilan itu.
Jena kemudian kembali mendekatkan ponselnya itu ke telinga. "Ya, Han?" tanyanya.
Setelah itu mengalir lah seluruh percakapan itu dengan Rehan yang panik di sebrang sana.
Berikutnya, Jena langsung membulatkan matanya ketika Rehan kembali menjelaskan. Sampai akhirnya Jena mengerti apa yang terjadi, dan ia harus segera menuju tempat yang Rehan maksud.
Jena cepat-cepat menutup panggilannya itu dengan Rehan dan bergegas melangkah kembali menuju kursinya di ruangan itu. Ia bergegas mengambil tas miliknya itu dan segera dikenakan.
Tanpa menghiraukan tatapan seluruh anggota ekskul Teater dan Gilang di sana, Jena terburu-buru melangkah menuju pintu dan berujar, "Gue duluan ya, sorry."
Setelah mengucapkan kalimat itu dengan cepat gadis itu ke luar ruangan dan berjalan dengan tergesa menuju ruangan yang dituju itu. Ruang OSIS. Ia harus segera sampai di sana agar bisa mencegah pertengkaran dua cowok yang dekat dengannya itu.
***