"Jen, lo mau ke mana?"
Jena tak menghiraukan panggilan dari Karina dan yang lainnya. Gadis itu masih kekeuh dengan berjalan cepat ke luar ruangan. Hal itu tentu saja membuat Karina bersedih.
Karina tadi datang ke ruang Teater bersama Jena namun nantinya harus pulang tanpa Jena.
Hal menyebalkan yang membuat Karina tak suka yaitu ia tak mengenal siapapun di ekskul Teater ini, hanya Jena.
Lagipula, ke mana sih Jena pergi?
"Apa jangan-jangan ada kaitannya dengan Jun?" batinnya bergejolak.
***
Jun masih berdiri menatap Bayu yang juga menatap ke arahnya itu. Kedua cowok itu masih memancarkan laser di matanya masing-masing. Namun ada yang berbeda di antara tatapan keduanya.
Jika Bayu menatap Jun dengan raut wajah kemenangan miliknya itu, Jun pun berbanding terbalik. Jun menatap Bayu dengan tatapan meremehkannya.
Jun bahkan tersenyum miring. Kemudian ia kembali melangkah agar dapat lebih dekat dengan Bayu. Ia berucap di depan wajah Bayu.
"Lo ... mau nyatain perasaan lo ke Jena?" tanya Jun dengan tatapan meremehkan.
Seolah-olah ucapan Bayu tentang menyatakan perasaannya itu hanyalah gelitikan di telinganya.
Bayu menatap Jun dengan senyuman penuh arti. "Iya, secepatnya gue bakal nyatain perasaan gue ke Jena," ucapnya. Cowok itu lagi-lagi tersenyum dengan santainya. Ia berpikir jika saat ini telah menang.
Suasana di ruang OSIS itu tampak tegang. Seolah dua orang yang berada di ruang itu saling memancarkan kekuatan masing-masing. Kekuatan yang jika diganggu itu akan membahayakan orang lainnya.
Jun tiba-tiba terkekeh. Ia merasa geli dengan perkataan Bayu yang sangat yakin bisa menyatakan perasaannya itu kepada Jena dan akan langsung diterima itu.
"Kenapa? Lo takut kalau gue bakal bisa cepat dapatin Jena?" Bayu yang melihat Jun yang tertawa itu kini mengerutkan dahinya. Cowok itu bingung karena Jun kini tiba-tiba terkekeh seperti itu.
Jun yang masih terkekeh tadi, kini meredakan tawanya. Cowok itu memajukan langkah kakinya dan menatap tepat ke mata Bayu.
"Asal lo tahu, Jena gak bakal terima pernyataan lo dengan secepat itu." Jun berujar dengan santainya. Cowok itu menatap tepat pada bola mata hitam Bayu.
Mendengar itu, Bayu pun terkesiap. "Maksud lo?" tanya cowok itu. Ia kebingungan setelah mendengar kalimat Jun itu.
Bagaimana mungkin Jena tidak akan menerima pernyataannya secepat itu? Bukankah gadis itu sangat menyukainya?
Jun kembali terkekeh mendengar pertanyaan Bayu. "Iya, Jena gak akan dengan cepat menerima pernyataan cinta lo itu. Karena dia bakal gak suka lagi sama lo." Jun menjelaskan panjang lebar.
Bayu yang hendak berucap pun kini tiba-tiba disela kembali oleh Jun. Maka ia tak dapat mengatakan apapun lagi.
"Apa lo gak sadar kalau bisa aja Jena capek selama ini karena selalu lo abaikan?" tanya Jun dengan cepat. Lalu ia kembali melanjutkan kalimatnya tanpa membiarkan jeda untuk Bayu bicara.
"Lo gak tahu 'kan kalau bisa aja dia lelah mengejar lo selama setahun ini?" tanyanya lagi. "Jena capek ... dan gue bisa manfaatin celah itu untuk bikin dia akhirnya gak suka lagi sama lo," sambung Jun dengan cepat.
Ia menyeringai di akhir kalimatnya.
Lihat, siapa yang sekarang bisa menang?
Bayu terkesiap. Cowok itu tampak tak bisa berkutik sedikit pun. Ia kebingungan berkata apapun lagi, karena nyatanya perkataan Jun ada benarnya.
Menyukai seseorang yang bahkan tak menyukai kita sama sekali bisa melelahkan, 'kan?
"Bayu, lo tahu kalau Jena gak akan suka lagi sama lo, makanya lo bakal nyatain perasaan secepatnya ke Jena. Tapi sayang, bro ... itu udah terlambat," ucap Jun lagi dengan seringaian di wajahnya.
Dan setelah Jun selesai mengucapkan kalimat itu, Bayu yang sudah geram itu pun dengan cepat mencengkram kerah seragamnya. Bayu menatap Jun dengan nyalang.
"Maksud lo apaan?! Jena bakal selalu suka sama gue!" serunya di depan wajah Jun.
Gigi Bayu bergemeletuk. Ia sudah hampir di ambang kesabarannya dan bisa saja langsung melayangkan bogemannya pada Jun sekarang juga. Di ruangan sepi yang hanya ada dirinya dan juga Jun itu, mereka bisa saja beradu jotos dengan mudah. Namun tetap saja Bayu memikirkan imej dirinya yang seorang Ketua OSIS.
Tidak mungkin bagi dirinya untuk mencemari nama baiknya yang telah ia jaga setahun belakangan ini.
"Kenapa?" Jun ikut mendelik. "Lo mau mukul gue? Silakan!" Ia justru menantang Bayu yang mencengkram kerah seragamnya itu. Dengan cepat cowok itu pun meremas tangan Bayu yang menarik kerahnya itu.
"Gue bakal pastiin kalau Jena bakal nerima pernyataan perasaan gue, Jun!" Bayu berseru di depan wajah Jun. Bersikap angkuh dan tidak takut pada siapapun.
Demi Tuhan, rasanya Bayu sangat ingin meninju wajah ganteng Jun yang baginya menyebalkan itu.
Jun kembali terkekeh. "Gak akan pernah. Jena gak akan pernah terima perasaan lo itu," ucapnya kembali mengulang kalimatnya.
Lalu dengan cepat cowok itu mengubah air mukanya. Ia menjadi serius dan berganti menatap nyalang pada Bayu.
"Gue tahu kalau niatan lo deketin Jena itu sebenarnya hanya demi membuat gue merasa sakit hati dan kalah. Cuma itu. Gue tahu kalau lo gak benar-benar suka sama Jena!" Jun gantian berseru di depan wajah Bayu.
Sebenarnya ... Jun pun sudah tak tahan lagi dan ingin meninju wajah Bayu saat ini juga. Tetapi, sama seperti Bayu, Jun pun memikirkan dirinya yang hanya penerima beasiswa. Tidak bisa ia membuat seluruh sekolah tahu akan pertengkarannya dengan Bayu ini.
"Ketika lo udah dapetin Jena nanti, gue tahu lo bakal langsung ninggalin dia lagi seperti dulu. Yang mana akan bikin Jena jadi makin sedih." Jun menyambung kalimatnya.
"Dan gue gak akan pernah biarin hal itu terjadi. Gue bakal bikin Jena gak suka lagi sama lo, gimana pun caranya!" seru Jun di depan wajah Bayu lagi. Ia sudah tak bisa mengontrol emosinya dan makin meremas tangan Bayu.
"Ngerti lo?!"
Dan dengan sekali hentak, Jun berhasil mendorong Bayu yang membuat cengkraman Bayu di kerah seragamnya itu terlepas. Cowok itu menatap remeh ke arah Bayu.
Bayu mundur beberapa langkah saat Jun mendorongnya. Dan hal itu membuat cowok itu berdecih. Ia hanya diam dan tak sadar membenarkan kalimat Jun itu.
Jun tahu akan niatan yang Bayu rencanakan untuk membuat cowok itu kalah. Dan Bayu tak dapat berkutik lagi jika Jun sudah memberi peringatan seperti itu.
Maka dengan terpaksa akhirnya ia harus membiarkan Jun melangkah pergi meninggalkan ruang OSIS dan dirinya sendirian di dalamnya. Ia harus puas dengan berdiri memandangi punggung Jun yang menjauh. Meskipun tangannya sudah terkepal kuat-kuat sedari tadi.
***