"Jena, lo .... suka sama gue. Ya, 'kan?"
Darah Jena berdesir begitu mendengar bisikan Jun dan melihat cowok di hadapannya itu menyeringai. Seperti tangannya yang berhasil memerangkap tubuh Jena agar tak bisa kemana-mana, mata cowok itu pun ikut Jun memerangkap mata Jena. Seolah tak membiarkan Jena melirik ke mana-mana selain wajah gantengnya itu.
Nyatanya memang benar, Jena hanya terdiam membeku di tempatnya. Dan semakin gadis itu menatap wajah Jun, semakin keras debaran jantungnya itu.
Posisi mereka masih sama, dan bisa saja akan menimbulkan kesalahpahaman bagi siapapun yang melintas dan melihat mereka.
"Bener, 'kan?" Jun kembali bertanya dengan seringaiannya itu.
Jika siswi lain yang mendapatkan tatapan seperti itu dari Jun, pasti siswi tersebut akan langsung pingsan di tempatnya detik itu juga. Sayangnya Jena seolah sudah kebal dengan wajah ganteng Jun itu. Ia tak akan pingsan sama sekali. Justru gadis itu semakin menatap Jun seolah terhipnotis dan tak akan menyia-nyiakan waktunya untuk pingsan.
"Gue ..."
Jena menggantung kalimatnya. Begitu ia hampir menyelesaikan kalimatnya, ia tiba-tiba tersentak. Gadis itu kini sepenuhnya telah sadar dan mengedipkan kedua kelopak matanya dengan cepat.
"Tunggu! Barusan gue ngapain?!" batin Jena menjerit tak karuan. Ia menatap Jun dengan panik.
"Apa barusan gue mandangin wajah Jun dengan tatapan mupeng?! Gila, lo, Jena!" Ia kembali merutuki dirinya sendiri dalam hati.
"Lo harus sadar, Jen. Lo harus inget kalau lo itu sama Jun cuman sahabat sejak kecil. OKEY?!"
Jena tak mungkin mengatakan semuanya kepada Jun. Tentang dirinya yang seharian ini menghindari Jun karena perasaannya yang mulai goyah itu. Cowok itu tak boleh tahu akan apa yang ia rasakan saat ini. Iya, gadis itu tak bisa ketahuan sekarang.
Jun rupanya tak bisa membiarkan Jena berlama-lama bergulat dengan pikirannya. "Kenapa?"
"Hah?"
Jena tersentak lagi. Ia terbangun dari lamunannya itu ketika mendengar pertanyaan Jun. Gadis itu masih terdiam memandang Jun.
"Kenapa lo gak ngelanjutin kalimat lo barusan?" tanya Jun lagi sembari mengangkat sebelah alisnya.
Jena menggeleng kuat-kuat dan dengan sekali teriak, gadis itu berseru, "Gue gak suka sama lo!" Ia mengangkat dagunya tinggi-tinggi.
Kemudian sebelum Jun membalas kalimatnya lagi, Jena bergegas mendorong tubuh cowok itu darinya. Namun sayangnya tak berhasil.
"Udah ... awas, Jun! Gue mau pergi!"
Tentu saja kekuatan Jena tak berguna sama sekali. Gadis itu kewalahan mendorong tubuh kekar Jun.
"Coba aja kalau bisa." Jun malah menantangnya. "Tapi gue gak akan biarin lo lepas dari gue sebelum lo jawab pertanyaan gue barusan, Jena!" Ia makin mencengkram dinding di belakang kepala Jena.
Jena menggeleng kuat-kuat. Ia tak akan membiarkan Jun menang kali ini. Tidak akan pernah.
Maka ketika ada sebuah ide yang melintas di pikirannya, gadis itu pun segera merealisasikannya.
"Eh, Pak Keano?" Jena menatap ke belakang tubuh Jun dan berpura-pura seolah sedang menyapa sosok guru yang dimaksud itu.
Ia sengaja memancing Jun dengan memanggil salah satu guru yang sekaligus menjadi Pembina OSIS itu, padahal tak ada siapapun di belakanga tubuh Jun. Dan dugaan Jena sangat tepat, karena Jun langsung menoleh ke belakang, menyebabkan cengkraman tangannya pada dinding pun goyah.
Hal itu tak disia-siakan oleh Jena untuk kabur dari kungkungan Jun. Gadis itu bahkan tak lupa untuk menendang tulang kering Jun yang langsung membuatnya mengaduh kesakitan itum
"s**t!" Jun mengumpat keras-keras sembari memegangi kaki kanannya itu. Ia menatap Jena dengan kesalnya.
"Sakit, Jena!" seru cowok itu dengan galak.
Tersangka yang sudah menendang tulang kering Jun itu hanya terkekeh. Kemudian memeletkan lidahnya kepada Jun sebelum berucap, "Wle! Rasain!" Ia terkekeh dengan keras.
Jun masih menunduk dan mengaduh kesakitan. "Jena ... lo bener-bener, ya! Awas lo, ya!"
Gadis berambut panjang yang menyaksikan Jun kesakitan itu bukannya menolong, justru tertawa geli menertawai Jun. Gadis itu terkekeh dan sekali lagi memeletkan lidahnya sebelum akhirnya ia berjalan cepat meninggalkan Jun dan menghilang di belokan perpustakaan. Ia tak membalik badan lagi dan makin mempercepat langkahnya itu.
Jena sampai tega seperti itu. Tega untuk meninggalkan Jun sendirian begitu. Lagipula Jena tak akan membalas dengan cara yang seperti ini jika bukan karena Jun yang pertama kali memancing-mancingnya.
Yang Jun tak tahu bahwa Jena terus saja merutuki dirinya sendiri sedari tadi dengan kesal. Tentu saja ia kesal.
Bagaimana bisa jantungnya berdebar sekeras ini karena Jun dan bukan Bayu?!
Ini aneh!
Bagaimana bisa?!
***
Ruang Teater tampak lengang. Semua anggota Teater seolah sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka memang makin sibuk dengan persiapan acara ulang tahun sekolah mereka itu. Ada yang sedang mendiskusikan tentang dialog, ada yang sedang memilih pakaian yang cocok, ada pula yang tengah merapikan ruangan.
Acara puncak pementasan drama kolosal untuk memperingati ulang tahun sekolah mereka itu hanya tinggal sepuluh hari lagi, jadi tentu saja mereka sibuk. Begitu pun dengan Jena dan Karina yang tengah mendiskusikan naskah percakapan keduanya.
Pementasan drama kali ini mengangkat tema yang lumayan berat. Tentang kisah cinta dua sejoli yang berbeda derajat. Tentang asmara sosok putri bangsawan dengan sosok pengawalnya. Banyak adegan yang menguras airmata, dan Jena harap ia dapat memeragakan tiap adegan dengan sebaik mungkin.
"Jena ... lo suka sama gue. Ya, 'kan?"
Ketika Jena tengah membaca naskah bagiannya itu, tiba-tiba ia teringat akan perkataan Jun tadi siang. Jena juga mengingat tatapan mata cowok itu yang terlihat serius. Namun tetap saja Jun terlihat seperti bercanda.
Jena sontak segera menggelengkan kepalanya itu guna menepis semua ingatannya tentang kejadian siang tadi. Memalukan jika ia mengingatnya kembali.
"Kenapa, Jen?"
Jena terkesiap. Rupanya sedari tadi Karina menatapnya. Bahkan mungkin ketika Jena menggelengkan kepalanya itu tadi. Maka dari itu gadis itu langsung bertanya kepada Jena.
"Oh, enggak apa-apa." Jena tersenyum ketika menjawab pertanyaan Karina.
Karina ikut tersenyum, kemudian gadis itu kembali membaca naskahnya.
Berikutnya , Jena pun melakukan hal yang sama. Gadis itu kembali membaca teks naskahnya dan berlatih.
Namun sebenarnya, setelah Jena kembali membaca naskah dialognya itu kembali, Karina pun kembali menatap Jena.
Sorot mata memancarkan kebencian kepada Jena. Mendadak semua ingatan kejadian siang tadi membuat hatinya memanas. Karina tak suka ketika melihat apa yang terjadi siang tadi di belokan perpustakaan yang sepi itu.
Kejadian di mana Jun dan Jena berduaan dengan posisi yang mencurigakan seperti itu.
Seperti berciuman.
Tetapi mungkinkah benar sepasang sahabat itu berciuman bahkan di siang hari begitu?
Karina tak habis pikir.
Atau mungkin ia salah lihat?
***