Jena dan Karina masih mendiskusikan tentang naskah dialog mereka. Kedua gadis itu masih fokus pada buku naskah di tangan masing-masing. Jena beberapa kali mengajak Karina untuk berpasangan ketika berlatih dialog itu.
Drama tentang kisah cinta di masa penjajahan Belanda yang terhalang restu itu benar-benar harus membutuhkan latihan yang lumayan lama.
Jena mendapatkan peran utama wanita sebagai tokoh protagonis di dalam cerita ini. Benar-benar perjuangan untuk bisa mencapai peran utama ini. Karena menjadi seorang penanggungjawab acara sekaligus peran utama wanita adalah hal yang cukup berat untuk ditanggungnya sekaligus. Meski begitu Jena tak menyerah, ia terus berlatih meskipun waktu pementasan tak lebih dari seminggu lagi.
Apalagi untuk pendalaman perannya, ia harus benar-benar menghayati kalimat demi kalimat dialog yang terucap. Jena bahkan berulang kali harus menyesuaikan intonasi dan logat bicaranya itu. Karena ia berperan sebagai bangsawan Jawa, maka ia harus bisa menggunakan bahasa Jawa yang baik dan dengan logat yang sesuai.
"Eh, gue belum bisa bagian ini deh. Menurut lo gimana?" Jena menyodorkan buku naskahnya kepada Karina dan menunjuk kalimat yang ia maksud itu. Gadis itu menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal itu dan mengerut bingung.
Mereka saat ini tengah berada di gedung aula tempat biasanya dilaksanakan pementasan drama. Jena dan Karina mendudukkan diri mereka masing-masing tepatnya pada kursi penoton di tribun. Namun mereka hanya mendudukki kursi bagian depannya, tidak berani jika harus menempati kursi di belakang. Ada banyak mitos tak bagus jika orang duduk di tribun penonton yang di bagian belakang.
"Wis, Nduk. Koe iki kudu adoh- adoh saking Guntur. Kae iki dudu anake wong nduwe kaya kita." Karina membaca kembali kalimat yang ditunjuk oleh Jena itu, lalu gadis itu mengulang dialog yang akan dikatakan oleh Mia, salah satu temannya yang akan berperan sebagai ibunda dari si tokoh utama wanita."
Jena hanya bisa mengamati cara bicara Karina yang membenarkan dialognya itu.
Karina kemudian menatap Jena di sampingnya. "Itu maksudnya si ibunda baru aja ngelarang si peran utama wanita buat jauhin peran utama prianya. Si ibunda juga bilang kalau peran utama prianya itu bukan anak orang kaya seperti mereka," jelas gadis itu. Ia tersenyum setelah mengucapkan kalimat tersebut.
Jena yang mendengarkan penjelasan Karina itu hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia segera menggarisbawahi kalimat tersebut dan langsung memberikan catatan di bawahnya, agar ia tak lupa. Lagipula ia juga bisa mempelajari kembali tentang logat yang tepat pada dialog tadi.
Sesudah itu, Jena menatap Karina dengan tatapan harunya. "Wah, gue makasih banget sama lo, Rin. Gue jadi bisa cepet belajarnya karena lo ada di sini," ujarnya sembari tersenyum lebar. Ia bahkan memeluk lengan Karina dengan tatapan penuh bahagia bercampur harunya.
Kehadiran Karina di ekskul Teater ini memang membawa Jena kepada banyak hal baik. Dan Jena harap, hal itu bukan hanya sebentar, melainkan seterusnya.
"Jena!"
Sebuah teriakan menggema memenuhi aula gedung. Gilang melambai-lambaikan tangannya itu seolah menyuruh Jena agar mendekat.
"Sini!" sambung Gilang lagi. Ia membuat simbol tangan seperti sedang menarik tambang.
Jena yang melihat hal itu langsung terkekeh namun ia tak dapat berlama-lama dan hanya memandangi aksi 'tarik tambang' Gilang itu. Gadis itu bergegas berpamitan kepada Karina yang duduk di sampingnya itu. Dan detik berikutnya ia sudah melesat menjauh dari Karina, Jena tiba-tiba dengan ajaib langsung sampai di tempat tujuannya itu.
Maka tersisa lah Karina yang hanya sendirian di kursi tribun. Ia mengamati Jena dari jauh.
Karina mengamati bagaimana Jena tersenyum, tertawa, yang sangat ekspresif itu ketika tengah membacakan dialognya itu.
Jena sangat cantik, tingginya juga pas untuk seusianya. Ditambah lagi gadis itu juga dinilai berkepribadian baik. Pasti banyak teman-teman di ekskul Teater yang menyukainya. Jena juga sangat cocok jika menjadi peran utama seperti itu. Sekali lagi, pasti Jena akan berhasil menyelesaikan pementasan drama kali ini dengan baik.
Namun entah mengapa, sekarang Karina justru kesal akan semua yang Jena miliki itu. Ia kesal karena Jena terlahir cantik dan kaya seperti itu. Ia juga kesal karena Jena yang mendapatkan peran utama seperti itu.
Akan lebih baik jika Karina yang sangat memahami Bahasa Jawa yang mendapatkan peran utamanya. Iya, ia yakin akan hal itu.
***
"Rin, yuk kita pulang!"
Jena berjalan menghampiri Karina yang sedari tadi duduk di kursi tribun penonton. Gadis itu tersenyum lebar sembari membenarkan buku naskah ke dalam tasnya.
"Yuk." Karina menganggukkan kepalanya dan berikutnya ia ikut memasukkan buku-bukunya ke dalam tasnya.
Sesudah itu, Jena langsung mengulurkan tangannya pada Karina, mengajaknya untuk bergandengan tangan sembari pulang. Karina tentu saja langsung menyambut uluran tangan Jena. Gadis itu ikut tersenyum lebar.
"Sorry ya, tadi lama," ucap Jena dengan senyum yang tak selebar sebelumnya. Gadis itu melirik Karina dari samping.
Mereka saat ini tengah berjalan ke luar dari aula gedung Teater menuju koridor lantai satu. Masih sambil bergandengan tangan, kedua gadis itu terkekeh bersamaan.
"Santai aja lagi. Tadi gue juga belajar hafalin naskah dialog milik gue." Karina mengibaskan tangannya. Matanya menatap ke depan, memperhatikan sekitar mereka. Sudah jarang orang yang melintas di koridor itu. Pasti karena saat ini jam menunjukkan pukul empat sore, sehingga sebagian besar murid di SMA HARAPAN sudah pulang ke rumah masing-masing.
"Oke kalau gitu, jadi gue gak perlu merasa bersalah lagi," ucap Jena lagi. Ia terkekeh pelan sembari mengeratkan gandengan tangannya pada Karina.
Koridor yang sepi itu memudahkan Jena dan Karina membicarakan sesuatu tanpa perlu takut suara mereka mengganggu orang- orang di sekitar mereka.
Dan hal itulah yang dimanfaatkan oleh Karina.
Masih ada yang mengganjal di hatinya tentang Jena dan juga Jun, dan ia sangat ingin menanyakan hal itu kepada Jena sekarang. Tak bisa ditunda-tunda lagi sampai besok. Maka setelah mereka sampai di koridor yang terhubung ke gerbang depan sekolah, Karina segera menatap Jena sembari melepaskan gandengan tangan mereka.
"Jen, ini random, tapi ada yang pengen gue tanyain sama lo." Karina memulai pertanyaannya itu dengan senyum tipis. Ia tak melirik ekspresi Jena dan hanya menatap ke arah gerbang sekolah yang sudah di depan mata.
"Iya, apa?" Jena menaikkan sebelah alisnya.
Karina kini mulai menatap Jena. Gadis itu melirik ekspresi wajah Jena saat ini sebelum akhirnya ia mengucapkan kalimat pertanyaannya.
"Lo tahu 'kan kalau gue suka sama Jun?" tanyanya dengan nada yang terdengar serius.
Jena sontak menghentikan langkah kakinya ketika mendengar pertanyaan itu.
"Gue ... beneran suka sama Jun, Jena."
***