Jena menatap Jun yang berjalan di sampingnya itu. Cowok itu masih terdiam, begitu pun dengan Jena. Jika biasanya Jun akan memainkan game di ponselnya, namun untuk kali ini cowok itu tak bermain game di ponselnya. Ia hanya menatap jalanan di depannya dan sesekali sengaja menginjak dedaunan kering di atas aspal.
Tak ada yang memulai percakapan terlebih dahulu, dan hal itu merupakan hal yang cukup membahayakan bagi Jena. Ia harus mengatakan semuanya kepada Jun, hari ini juga. Ya, Jena harus mencairkan suasana.
"Jun ..." panggil Jena menatap Jun di sampingnya itu.
Matanya berulang kali melirik jalanan di depannya dan Jun bergantian.
"Heum?"
Tak Jena sangka, cowok itu mau menjawab panggilannya. Maka dengan cepat Jena mencoba untuk berbasa-basi terlebih dahulu.
"Tadi siang lo ke mana?" tanya Jena sembari kembali melirik Jun di sampingnya.
Jun tampak terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab pertanyaan itu. "Ruang Ekskul Dance," jawabnya singkat.
Hal itu membuat Jena terkesiap dan bingung untuk menanyakan apa lagi.
"Oh, iya, ruang Dance." Jena menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinganya itu sebelum kembali memulai kalimatnya. "Ngapain? Beneran ada rapat? Kata Rehan lo ada rapat."
Kini Jun benar-benar sepenuhnya menatap Jena. Ia menelisik raut wajah Jena sekarang. Menerka apakah gadis itu melihat percakapannya dengan Bayu tadi siang. Namun tampaknya Jena tak mengerti apa-apa tentang kejadian di ruang ekskul itu.
Jun mulai membuka suaranya. "Enggak jadi rapat. Terus gue latihan sebentar."
"Tapi ada Bayu." Tentu saja kalimat yang terakhir itu tak dikatakan oleh Jun dan hanya diucapkan dalam hatinya saja.
Jena mengerjapkan matanya berulang kali sembari menatap Jun. "Oh ... latihan," gumam gadis itu dengan pelan.
Sesudahnya ia menatap ke arah lain. Tepatnya menatap aspal jalanan di depannya itu. Seperti yang dilakukan oleh Jun tadi, kaki Jena menginjak dedaunan kering di dekat kakinya.
Sekarang waktunya!
Jena berdoa dalam hatinya itu dan berharap agar Jun mau percaya dengannya kali ini. Ia kini mencoba memberanikan dirinya untuk menatap Jun yang lebih tinggi darinya itu.
Bibirnya terbuka perlahan seiring kalimat yang terlontar.
"Jun, seperti yang tadi gue bilang tadi pagi tentang Bayu ... gue-"
"Gue percaya."
Ucapan Jena terhenti ketika Jun tiba-tiba mengucapkan kalimat itu. Jena sontak mengerjapkan matanya berulang kali selanjutnya mengerutkan dahinya bingung. Bahkan kini langkahnya ikut terhenti. Gadis itu memandang Jun dengan kebingungan.
"Hah?" tanyanya bingung.
Apa ia tadi benar-benar mendengar Jun mengatakan bahwa cowok itu mempercayainya?
Atau ia salah dengar?
Jun pun ikut memberhentikan langkah kakinya. Jalan menuju rumah mereka masih jauh, namun mereka tak perlu mengkhawatirkan tentang waktu. Pasalnya mereka tahu bahwa percakapan kali ini akan memakan waktu yang lumayan lama.
Jun menatap Jena dengan senyum mengembang. "Emm, gue percaya sama lo."
Namun Jena masih terdiam dengan raut tercengangnya.
Maka Jun segera menyambung kalimatnya.
"Bukannya tadi pagi lo suruh gue buat percaya sama lo?"
Jena pun mengerjap. "Eng- itu-"
"Seperti yang pernah gue bilang sama lo, gue akan selalu percaya sama lo, Jena." Jun menyela kalimat Jena. Ia tersenyum sekali lagi dan makin membuat Jena kebingungan.
Bukankah mood Jun benar-benar sangat aneh?
Tadi pagi bahkan cowok itu bersikeras mengatakan bahwa tak akan mempercayai apapun yang Jena katakan tentang reinkarnasi, namun sekarang Jun dengan senyum lebarnya mengatakan bahwa ia akan selalu mempercayai Jena.
Benar-benar mood swing yang sangat aneh.
"Ee- iya."
Namun Jena tak punya pilihan lain. Gadis itu kemudian menggelengkan kepalanya untuk menepis semua pikiran tentang mood swing yang dimiliki oleh sahabat sedari kecilnya itu.
Yang jelas sekarang adalah kenyataan bahwa Jun telah mempercayainya. Ya, hanya itu yang Jena butuhkan saat ini.
"Jadi, lo sekarang udah percaya sama gue sepenuhnya?" tanya Jena pada Jun yang masih menatap ke arahnya itu. Dan cowok itu pun mengangguk.
"Bahkan tentang reinkarnasi atau Bayu sekali pun?" tanya Jena sekali lagi. Dan Jun pun melakukan hal yang sama. Menganggukkan kepalanya berulang kali.
"Iya, Jena. Gue bilang gue percaya sama lo." Jun menjawab pertanyaan Jena dengan tegas dan penuh penekanan. Lama-lama kesal juga karena Jena yang kini tidak mempercayainya.
Jena yang mendengar Jun sudah menekan kalimatnya seperti itu pun akhirnya bisa tersenyum dengan lebar. Kini gadis itu percaya bahwa Jun memang berkata jujur.
Jun mempercayainya bahkan tentang reinkarnasi atau pun Bayu. Maka Jena sudah dapat bernapas lega.
"Sekarang kita tinggal nyocokin tentang mimpi lo dan penglihatan yang gue lihat-"
"Tapi, Jen ..."
Jun lagi-lagi memotong kalimat Jena.
Ia yang tadinya menundukkan kepalanya itu, kini menatap Jena dengan seksama. Gadis itu pun tengah menatapnya, menunggu kelanjutan kalimat yang diucap Jun.
"Ya?"
Jun kini melangkahkan kakinya perlahan mendekat ke arah Jena. Tidak seperti tadi di mana ada jarak yang terlampau jauh di antara mereka, kini Jun benar-benar mengikis jarak itu.
"... kalau lo bilang semua ini ke Bayu ... apa dia bakal percaya juga?" tanya Jun dengan raut serius.
Jena mendongakkan kepalanya kian tinggi karena Jun kini tepat hanya berjarak sejengkal darinya.
"Maksud ... lo?" tanya Jena terbata.
"Seperti yang lo bilang, tentang reinkarnasi itu. Kalau lo bilang ke Bayu kalau diri lo adalah reinkarnasi dari sosok di masa lalu apa dia bakal percaya sama lo seperti yang gue lakuin sekarang?" tanya Jun dengan tegas. Ia menatap Jena dengan serius.
Sedangkan Jena tak dapat menjawab apapun. Gadis itu hanya dapat tertegun di tempatnya.
Jun pun kembali melanjutkan kalimatnya itu. "Dia gak akan pernah percaya sama lo, Jen. Dia pasti akan bilang kalau lo gila, atau lo cuma halusinasi." Jun menyeringai samar. "Cuma gue yang akan percaya sama lo dan selalu di sisi lo, Jena," sambungnya lagi.
Jena mengerjapkan matanya berulang kali. Ia masih tak bisa menjawab apapun dan hanya bisa menjerit dalam hatinya.
"Kenapa gue malah jadi kek patung gini sih?!" batinnya meraung. "Ngomong Jena ngomong! Ngomong kalau Bayu juga bakal percaya sama lo!"
Jun menunggu jawaban dari Jena, namun gadis itu hanya bisa diam. Maka berikutnya, cowok itu menatap Jena lagi dengan penuh keyakinan.
"Maka dari itu mulai sekarang, lo gak perlu sukain cowok seperti itu lagi. Berhenti suka sama Bayu, Jena. Dia cuman bisa nyakitin lo."
"Kenapa?"
Hanya satu kalimat yang berhasil lolos dari bibir Jena. Selain itu lenyap entah ke mana. Ia bagai tersihir oleh tatapan Jun saat ini.
Jun menatap Jena dengan serius ketika ia berucap, "Karena gue gak suka lo suka sama dia, Jena."
***