"Kita pulang bareng?"
Jena bertanya sembari menatap ke arah Jun yang masih terduduk di kursinya itu. Bahkan Jun tak menyadari bahwa ternyata Jena sudah berdiri di samping kursinya itu sedari tadi.
Cowok itu mendongak untuk memandang Jena yang berdiri itu sekilas sebelum akhirnya ia menatap tas ranselnya yang ia kemasi itu. "Iya, bareng. Sekalian ada yang pengen gue omongin," ujarnya dengan nada datar.
Jun sebenarnya tak marah pada siapapun di gengnya, apalagi marah pada Jena. Tidak, tidak sedikit pun. Hanya saja ia masih sangat marah semenjak percakapannya dengan Bayu tadi siang. Bahkan ketika mengingat kembali raut wajah kemenangan Bayu tadi siang itu, rasanya Jun ingin melayangkan bogeman mentah di pipi si Ketua OSIS itu.
Sungguh, bagaimana bisa Jena menyukai laki-laki seperti itu?! Bahkan Jun tidak bisa mengerti alasannya!
Jika dilihat dari segi kegantengan, jelas Jun jauh lebih ganteng dari Bayu.
"Oke." Jena menyengir lebar di depan Jun. Gadis itu menarik tas ranselnya itu dengan bersemangat.
Kesempatan pulang bersama dengan Jun ini tentu saja tak akan pernah ia sia-siakan. Ia harus membuat Jun percaya padanya. Lagipula Jena yakin bahwa semua penglihatan yang hadir padanya belakangan ini memang ada kaitannya dengan masa lalunya.
Jun hanya menganggukkan kepalanya seraya menarik resleting tasnya. Lalu dengan sekali hentak, tasnya itu sudah berada di punggungnya.
"Lo juga ikut?" tanya Jun lagi.
Mata cowok itu menatap pada seorang gadis di belakang tubuh Jena yang berdiri menatapnya. Sedangkan Jena justru tak sadar sedari tadi bahwa ada gadis lain di belakangnya.
"Ehm," gumam gadis itu. "Boleh, 'kan gue ikut?" tanyanya dengan mata lebar yang berbinar.
Jena langsung membalik badannya dan mendapati gadis itu di belakangnya. "Ah, iya, Karina ikut," batinnya. Ia mendadak lemas.
Tak mungkin mengatakan semua hal tentang reinkarnasi kepada Jun saat ada Karina bersama mereka. Apa Jena harus menolak Karina kali ini?
Ya, benar. Mungkin memang benar ia harus menolak Karina kali ini sehingga ia dan Jun dapat mengobrol dengan tenang dan punya banyak waktu.
Maka Jena harus menolak Karina agar gadis itu tidak pulang bersama mereka kali ini. Ya, harus.
"Emm, Rin-"
"Rin, kalau kali ini kita gak pulang bareng gak apa-apa?"
Bukan. Bukan Jena yang mengatakan kalimat itu. Melainkan Jun sendiri yang mengatakan kalimat itu pada Karina. Jena sontak mendelik menatap Jun, namun cowok itu tidak menyadarinya sama sekali.
"Ada yang pengen gue omongin cuma berdua sama Jena," sambung cowok itu lagi dengan raut yang tampak biasa.
Semua orang yang berada di sana sontak terkejut. Termasuk Karina. Gadis itu terlihat sekali terkejut mendengar penolakan Jun itu kepadanya. Sorot mata berbinar yang tadi Jena sempat lihat kini padam dan sangat kentara sekali bahwa gadis itu kecewa saat ini.
"Oh, gitu?" ucap Karina dengan nada yang terdengar kecewa. "Ya udah gak apa-apa." Ia menyambung kalimatnya dengan nada yang dibuat seceria mungkin. Namun tetap saja Jena tahu bahwa Karina saat ini sedih.
Tentu saja sedih. Jena sudah tahu bahwa Karina menyukai Jun dan mungkin berpikir untuk mendekati sahabat masa kecilnya itu. Namun tetap saja Jena tak punya pilihan lain. Memang benar ia juga tak ingin Karina mendengar percakapannya dengan Jun.
"Sorry ya, Rin." Jun kini mulai memasang raut bersalahnya itu. Ia lama-lama tahu bahwa Karina kecewa.
Jena pun melakukan hal yang sama. Gadis itu menatap Karina dengan cengiran penuh rasa bersalahnya. "Kita bisa berangkat bareng besok pagi, Rin. Pulangnya juga bisa bareng." Akhirnya hanya itu yang bisa Jena katakan kepada Karina.
"Iya, gak apa-apa, kok, Jen." Karina tersenyum penuh pengertian. Ia meraih tangan Jena dengan wajah yang tampak dipaksakan untuk tersenyum. "Kalian pulang aja, hati-hati di jalan."
Mendadak suasana menjadi tampak canggung di sekitar mereka. Jena dan Jun mendadak menjadi merasa bersalah. Sampai akhirnya Fina pun mencairkan suasana.
"Kalau gitu Karina pulang bareng gue sama Rehan aja." Fina merangkul pundak Karina dengan cepat. "Sekalian gue 'kan belum pernah lihat rumahnya."
Karina yang mendengar itu mendadak panik. Ia gelagapan di tempatnya.
"Iya, lo pulang bareng Pina aja." Jena menyahuti.
Fina menganggukkan kepalanya berulang kali. "Iya, Rin. Kita naik mobil gue," kekehnya.
Karina menjadi bingung menjawab dengan kalimat apa. Ia tak ingin membiarkan Fina dan Rehan akhirnya menjadi ia bohongi juga, namun juga tak mungkin untuk menolak ajakan Fina sekarang. Ia tak ingin dicap sebagai tidak punya rasa solidaritas.
"Em, gue ...," ucapnya terbata.
"Lo gak usah peduliin Rehan, dia mah nurut aja. Orang dia juga numpang." Fina terkekeh.
Rehan menganggukkan kepalanya berulang kali. "Bener. Gue cuma numpang." Ia tak bisa menolak kenyataan bahwa memang ia hanya menumpang setiap hari di mobil Fina.
Seketika semuanya tertawa. Sedangkan Karina tak bisa tertawa sepenuhnya. Ia masih bingung.
"Em ... emangnya boleh?" Karina malah bertanya seperti itu.
Yang langsung dengan cepat dijawab oleh keempat sahabat itu dengan serempak.
"Boleh dong!"
Ya, akhirnya Karina tak punya pilihan lain lagi. Ia akhirnya dengan berat hati terpaksa ikut dengan Fina dan Rehan untuk pulang ke rumahnya sore ini. Semoga saja Fina dan Rehan tidak curiga seperti Jena dan Jun.
"Kalau gitu gue, Karina, Rehan pulang duluan ya!" Fina dengan sikap cerianya seperti biasa langsung menarik lengan Karina agar ikut bersamanya.
Padahal Jena atau pun Jun belum mengatakan apa-apa lagi. Namun Fina sudah menarik Karina menjauh. Sedangkan Karina hanya bisa pasrah sembari melambaikan tangannya itu kedua temannya yang tertinggal itu.
"Dah, Jen, Jun!"
"Dah!"
"Hati- hati di jalan!" seru Jena dengan cepat sebelum ketiga temannya itu benar-benar ke luar kelas.
Ia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Fina itu.
Selepas kepergian ketiga teman Jena itu, gadis itu kini menatap Jun dengan lirikan matanya. Ia hanya tinggal berdua dengan Jun dan mendadak menjadi canggung. Padahal jika berdua saja dengan Jun, ia biasa saja.
Jun yang pertama kali mencairkan suasana. Ia akhirnya melangkahkan kakinya mendahului Jena yang masih berperang batin itu.
"Yuk."
Jena sontak tersentak dan sadar dari lamunannya itu. Gadis itu kemudian berseru dan tak menghiraukan teman-teman kelasnya yang sebagian masih di dalam kelas itu akhirnya jadi menatap ke arah mereka.
"Tungguin gue!"
Jena mengejar Jun dengan langkah kaki pendeknya.
"Lama!" Jun terkekeh dengan lirih. Ia bahkan tidak membalik badan untuk sekedar mengecek Jena yang tertinggal. Dan dengan santainya ke luar dari dalam kelas padahal Jena masih tertinggal.
"TUNGGUIN!"
***