"Lo ..."
Ucapan Jun terputus ketika Bayu kembali berucap, "Emm, gue suka sama Jena dan gue rasa gue bakal nyatain perasaan gue ke dia."
Mata Jun sontak melebar saat mendengar kalimat dari Bayu itu. "Apa?! Gak mungkin!" teriaknya. Ia melangkah maju mendekat ke arah Bayu. Hanya ada jarak sejengkal di antara mereka dan jika sudah kalap, bisa saja mereka saling memukul dengan jarak dekat saat ini.
"Kenapa gak mungkin?" tanya Bayu seolah meledek.
"Gak mungkin lo suka sama Jena! Gue yakin lo cuma pengen main-main sama dia!" Jun kini sudah tak bisa menahan emosinya.
Tangan Jun kini sudah mulai berani sampai beranjak meraih kerah seragam Bayu. Emosinya meluap, dan mungkin saja sebentar lagi akan segera meledak. Jun tidak bisa tahan jika ada kaitannya dengan Jena.
"Jangan pernah berpikir buat deketin Jena, lebih baik lo bertindak seperti kemarin- kemarin yang cuma diam," sambung Jun dengan kesal sembari melepas kerah seragam Bayu itu dengan keras. Akibatnya Bayu terdorong beberapa senti dari tempatnya berdiri semula itu.
Namun bukannya merasa takut akan ucapan dari Jun, Bayu justru tersenyum, senyumannya bahkan menyerupai seringaian.
"Bukannya lo ikut senang kalau Jena bahagia? Nah, kebahagiaan Jena itu kalau dia sama gue." Bayu terkekeh.
Jun terkesiap. Namun ia tak gentar. Matanya menatap Bayu dengan nyalang.
"Gue gak akan pernah nyakitin Jena, kok. Lo tenang aja. Justru dia bakal bahagia sama gue," sambung Bayu lagi ketika melihat Jun hanya terdiam.
Dari sorot matanya tampak sekali sangat senang melihat Jun sekarang. Bayu saat ini bisa merasa menang, karena memang benar yang cowok itu katakan. Ia memegang penuh perasaan Jena sekarang, dan hal itu lah yang membuat Jun tak bisa berkata apa-apa.
Bahkan sampai akhirnya Bayu ke luar dari ruang ekskulnya dengan raut wajah menangnya itu.
Tangan Jun mengepal. Napasnya masih berderu serta dadanya yang naik turun. Semuanya ia lakukan untuk menahan amarahnya. Beruntungnya Jun masih waras dan tak memukul Bayu. Karena jika sudah memukul cowok itu, semuanya akan rumit.
Jun kemudian mengangkat kepalanya itu dan menatap jejak kepergian Bayu, sembari terus menyorotkan sorot nyalangnya.
"Lo lihat aja, gue gak akan biarin lo dekatin ataupun nyakitin Jena lagi. Bahkan di kehidupan kali ini."
***
"Jadi ...."
Karina menatap keempat teman sekelasnya yang duduk mengelilinginya itu satu per satu sebelum akhirnya kembali mendengarkan ucapan dari Fina.
"... lo beneran udah fix jadi anak Teater?"
Dengan sekali anggukkan, Karina berhasil membuat senyuman di wajah Fina mengembang.
"Akhirnya!" seru Fina dengan suara yang menggelegar ke seisi kelas.
Akibatnya ia menjadi tontonan seluruh teman kelasnya juga guru Sosiologinya.
Ya, mereka saat ini tengah berada di dalam kelas, berkelompok untuk mengerjakan tugas rangkuman materi Sosiologi.
Fina langsung memasang wajah penuh penyesalannya itu dan menyengir lebar. Ia menundukkan kepalanya dan berucap, "Maaf." berulang kali.
"Berisik, Pin. Lo kalau mau teriak kira-kira dong, kita lagi di dalam kelas." Rehan langsung memelototi gadis itu.
Sedangkan gadis yang mendapat pelototan itu justru menyengir. "Iya, iya."
"Udah, udah. Fokus ke materi." Jena menggelengkan kepalanya seraya terkekeh pelan. Ia kemudian menatap buku paket di atas meja mereka. Dengan posisi duduk melingkar seperti ini memang membuat kerja kelompok lebih mudah.
Guru Sosiologi mereka memang termasuk salah satu guru yang tergolong "baik". Kerja kelompok bebas mencari teman sekelompok, nilai ulangan atau ujian pasti selalu tinggi, minimal mendapatkan nilai B-. Mereka juga dibebaskan untuk mengobrol selama berkelompok, asalkan tidak mengganggu kelompok lain dan tugas selesai tepat waktu.
Benar-benar baik bukan?
"Asik, Jena jadi ada temennya." Fina kembali menyeletuk. "Apa gue juga ikutan Teater, ya?"
Jena yang mendengar ucapan Fina itu sontak tergelak. Ia ingin tertawa keras namun ia masih ingat bahwa dirinya masih berada di dalam kelas.
"Lo yang bener aja dong!" Rehan langsung melempar Fina dengan serpihan kertas. "Lo aja gak bisa bedain mana tangisan kesedihan sama tangisan bahagia. Gak bisa akting, udah gak usah ikut Teater."
"Iya, Pin, lo mending jadi anak biasa aja, enak." Jena terkekeh menanggapi.
"Kenapa memangnya kalau Pina ikut ekskul Teater?" Karina bertanya sembari memasang wajah bingungnya. Ia menatap satu per satu temannya, termasuk Jun yang hanya diam sedari tadi itu, sebelum kembali berakhir menatap Fina.
"I- itu ..." Fina hendak menjawab namun bingung.
"Fina udah pernah mau nyoba ikut ekskul Teater sama Jena dulu, tapi pas lagi audisi buat peran, dia malah nangis pas disuruh adegan bahagia."
Jun yang sedari tadi diam, malah kini berbicara dengan santainya. Ia tak mempedulikan ekspresi wajah Fina yang sudah pias.
"Jun!" Fina mencicit geram sembari menahan agar suaranya tidak ke luar terlalu keras.
Tangannya sudah mengambang-ambang di udara dan hendak mencubit tangan Jun yang duduk di depannya itu, kalau saja tidak dihalangi oleh Rehan.
"Iya, Rin. Si Pina mah aneh, disuruh scene bahagia malah nangis." Rehan ikut mengompori.
Fina melongo menatap kedua cowok itu. Dan dengan cepat memberi tatapan death glare-nya. "Awas ya, kalian!" serunya. Sedangkan kedua cowok itu justru memeletkan lidahnya.
Jena terkekeh pelan. Sedangkan Karina disampingnya hanya menggelengkan kepalanya itu.
"Rin, jangan didengerin, mereka bohong!" Fina menatap Karina dengan raut malunya.
Suasana di kelas yang tadinya tenang kini mulai riuh. Keriuhan bukan hanya dari meja kelompok Jena, melainkan juga kelompok lain.
Kerja kelompok jika dikerjakan dengan orang-orang yang dekat dengan kita, memang akhirnya malah membuat fokus hilang. Kita akan keasikan mengobrol dan justru membuat tugas selesai lebih lama, bahkan tidak selesai.
Entahlah, pada akhirnya apakah guru Sosiologi mereka itu tetap baik?
"Fokus semuanya!"
Suara menggelegar itu berasal dari Sang Guru yang pada akhirnya juga tak tahan mendengar kebisingan di dalam kelasnya. Padahal ia sendiri yang mengusulkan ide tersebut.
"Selesaikan dalam sepuluh menit lagi, sebelum bel pulang berdering!" seru Guru itu lagi. Ia mengedarkan tatapannya yang galak itu ke sepenjuru kelas. Dan akhirnya kelas pun menjadi hening seketika.
Berikutnya, Guru itu kembali menatap layar monitor laptop yang ia bawa itu sembari menunggu seluruh kelas mengumpulkan tugas merangkum itu.
Jena fokus ke buku paket yang dibuka di atas mejanya itu. Namun ketika ia mencoba untuk membuka halaman selanjutnya, dari ekor matanya ia melihat bahwa ada seseorang yang tengah menatap ke arahnya dalam diam.
Dan ketika pada akhirnya Jena mengangkat kepalanya untuk melihat siapa pelakunya. Ternyata orang yang diam-diam menatap ke arahnya itu adalah Jun.
Anehnya, Jun tengah masih saja menatap ke arahnya meskipun Jena menangkap basah cowok itu.
"Ada apa?" tanya Jena tanpa suara.
Berikutnya Jun malah mengalihkan tatapannya itu dan menatap pada buku paket di atas mejanya. Tak lagi memandang Jena.
Yang tentu saja membuat Jena sontak kebingungan di tempatnya.
Aneh.
***